TURC Logo White Transparent
Svg Vector Icons : http://www.onlinewebfonts.com/icon
Search
Search
Close this search box.

Candaan Tak Lucu: Ketika Lelucon Menjadi Pelecehan

Oleh: Ayu Sri Rejeki

Aku tidak pernah membayangkan bahwa tempat kerja yang seharusnya menjadi ruang mencari nafkah, justru menjadi tempat di mana aku merasa dipermalukan.

Sudah lima tahun aku bekerja di sebuah pabrik garmen. Setiap hari, aku datang pagi-pagi, mengenakan seragam biru yang mulai lusuh, dan menghabiskan waktu di antara suara mesin yang terus berdengung. Bekerja di pabrik tidak mudah, tapi aku selalu mencoba menikmatinya, sampai candaan itu mulai menghantui hari-hariku.

Ketika Candaan Berubah Menjadi Pelecehan

Awalnya, aku tidak terlalu memikirkan kata-kata Pak Ilham, leader di lantai produksi. Aku hanya berpikir mungkin memang begitu caranya bercanda.

“Bu Sri, kalau shift malam sendirian, hati-hati lho! Jangan-jangan ada yang nemenin,” katanya suatu hari dengan nada menggoda.

Beberapa buruh pria tertawa, sementara aku hanya tersenyum kaku. Aku tidak ingin memperkeruh suasana, jadi aku diam.  Namun, candaan itu tidak berhenti.

Di kantin, saat aku sedang antre mengambil makan siang, Pak Ilham kembali berceloteh.

Bu Sri, jangan makan banyak-banyak, nanti tambah montok. Takut banyak yang godain,” katanya, lagi-lagi disambut tawa beberapa rekan kerja laki-laki.

Di grup WhatsApp tim produksi, mereka sering mengirimkan stiker atau meme yang merendahkan perempuan. Kadang-kadang, namaku ikut disebut.

Cocok nih buat Bu Sri! tulis salah satu pekerja laki-laki sambil mengirim gambar yang menjijikkan.

Aku merasa risih, tapi aku masih memilih diam. Aku takut jika aku membalas atau menunjukkan ketidaknyamanan, aku akan dicap sebagai perempuan yang “gampang baper.”

Lama-lama, aku mulai merasa tidak nyaman datang ke tempat kerja. Setiap hari, aku merasa semakin kecil. Aku ingin protes, ingin mengatakan bahwa semua ini tidak lucu. Tapi, bagaimana caranya?

Pak Ilham adalah atasan. Dia bisa dengan mudah membuat pekerjaanku lebih sulit. Aku takut, kalau aku melawan, aku bisa dipindahkan ke shift malam terus-menerus, atau lebih buruk lagi, kontrakku tidak diperpanjang.

Aku memilih bertahan dalam diam, sampai aku mendengar sesuatu yang mengubah pikiranku.

 

Ketika Aku Menemukan Dukungan

Suatu hari, saat menghadiri pertemuan serikat pekerja, aku mendengar Rina, seorang pengurus serikat, berbicara dengan tegas.

Kita punya hak untuk bekerja tanpa takut dilecehkan. Ini bukan cuma soal fisik, tapi juga perkataan dan candaan yang merendahkan kita,” katanya.

Saat itu, aku merasa ada yang menghangat di dadaku. Ternyata, aku bukan satu-satunya yang mengalami ini. Aku melihat beberapa buruh perempuan lain mengangguk pelan. Ada yang tampak ragu-ragu, ada yang menunduk, mungkin merasa hal yang sama denganku.

Aku memberanikan diri untuk berbicara dengan Rina setelah pertemuan. Aku menceritakan semua yang terjadi komentar-komentar Pak Ilham, pesan di grup WhatsApp, candaan yang membuatku merasa kotor.

“Aku takut, Mbak,” kataku lirih.

“Aku tahu,” jawab Rina, “tapi kamu tidak sendirian.”

Serikat pekerja membantuku mengumpulkan bukti. Aku menyimpan tangkapan layar pesan di grup WhatsApp, meminta beberapa teman untuk menjadi saksi atas komentar-komentar Pak Ilham. Aku tidak lagi sendirian. Ada orang-orang yang mendukungku.

Ketika Diam Bukan Lagi Pilihan

Serikat pekerja membawa laporan ini ke manajemen. Awalnya, mereka menganggapnya remeh.

Ah, itu kan cuma bercanda. Jangan terlalu serius,” kata salah satu supervisor.

Tapi serikat pekerja tidak tinggal diam. Mereka menekan perusahaan, bahkan mengancam akan membawa kasus ini ke dinas tenaga kerja.

Dengan tekanan yang cukup kuat, akhirnya perusahaan memberikan sanksi kepada Pak Ilham. Ia dipindahkan ke bagian lain dan mendapat peringatan keras. Tidak hanya itu, perusahaan mulai menerapkan kebijakan anti-pelecehan di tempat kerja, termasuk pelatihan untuk semua karyawan tentang pelecehan berbasis gender.

Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, aku merasa sedikit lega. Luka yang kuterima mungkin tidak bisa hilang begitu saja, tapi setidaknya, aku tahu bahwa aku telah melakukan sesuatu untuk menghentikan candaan yang tidak lucu itu.

Mengapa Banyak Korban Memilih Diam?

Aku menyadari bahwa banyak pekerja perempuan yang mengalami hal yang sama, tetapi banyak yang memilih diam karena takut tidak dipercaya karena banyak orang menganggap candaan sebagai sesuatu yang normal dan menuduh korban terlalu sensitif. Jika pelaku adalah atasan atau orang berpengaruh, korban khawatir akan kehilangan pekerjaannya dan pelecehan dalam bentuk candaan sering kali dikemas dengan kata-kata ambigu sehingga sulit dikategorikan secara hukum. Kerapkali ketika rekan kerja lainnya ikut tertawa, korban merasa terpaksa menerimanya sebagai sesuatu yang wajar.

Saatnya Menghentikan Candaan Seksis di Tempat Kerja

Pengalamanku mengajarkan satu hal “DIAM BUKAN PILIHAN“. Jika aku membiarkan ini terjadi, maka akan ada lebih banyak perempuan lain yang mengalami hal yang sama.

Lingkungan kerja seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua pekerja. Jika sebuah lelucon hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, maka itu bukan lagi candaan itu adalah pelecehan.

Hari ini, aku tidak lagi tersenyum pada lelucon yang merendahkan martabatku. Aku tahu sekarang bahwa aku punya hak untuk menolak, untuk berbicara, dan untuk melawan.

Dan jika ada perempuan lain yang mengalami hal yang sama, aku ingin mereka tahu satu hal bahwa “kamu tidak sendirian“.

 

{Editor:Venda}

 

Penulis

Trade Union Rights Centre

Tags

Bagikan artikel ini melalui:

Dapatkan Informasi Terbaru Seputar Isu Perburuhan!