TURC Logo White Transparent
Svg Vector Icons : http://www.onlinewebfonts.com/icon
Search
Search
Close this search box.

Tenaga Kerja Asing: Peluang atau Ancaman?

Jakarta, 31 Januari 2017 Trade Union Right Centre mengadakan acara diskusi dengan mengundang pembicara Aknolt Kristian Pakpahan sebagai Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katholik Parahyangan dan Anis Hidayah dari Migrant Care. Tema diskusi adalah Trend Pengggunaan Tenaga Kerja Asing: Sudahkah menjadi ancaman?

Acara diskusi ini dilaksanakan dengan tujuan menjelaskan isu mengenai banyaknya jumlah tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Kabar tersebut menimbulkan respon dari kalangan serikat buruh. Pemberitaan tribunnes.com pada tanggal 8 Januari 2017 menuliskan, KSPI membuka posko pengaduan tenaga kerja asing yang ilegal di beberapa daerah. Upaya tersebut merupakan bentuk kekhawatiran karena sengitnya persaingan di dunia kerja KSPI dalam lamaan resminya mengklaim di Indonesia ada sekitar 2 juta pekerja asing. Apakah berita tersebut serbuan tenaga kerja asing  benar adanya dan menjadi ancaman bagi tenaga kerja dalam negeri?

Pricilia dari Trade Union Rights Centre (TURC), menyampaikan beberapa aturan terkait penggunaan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Kebijakaan mempekerjakan TKA diatur dalam peraturan menteri tenaga kerja No 16 tahun 2015, pasal 36 ayat 1 dan 38 tentang syarat penggunaan TKA dan izin memperkerjakan tenaga kerja asing (IMTA). Pricilia  memaparkan  jumlah TKA yang masuk ke Indonesia, menurut data Pusdatinaker, bahwa pada tahun 2014 jumlah TKA yang masuk ke Indonesia sekitar sebagian besar dari Tiongkok, sekitar 23,75 % dari total keseluruhan.  Industri yang paling tinggi menggunakan jasa TKA adalah perdagangan dan jasa. Pricilia mengutarakan berdasar pada aturan KEPMEN Nomor 40 Tahun 2012, penggunaan TKA harus mempertimbangkan pengalaman Tenaga kerja  dan posisinya pun setingkat manajer, direktur, penasehat, dan sebagainya. Jika ditemukan TKA yang bekerja sebagai operator, kemungkinan besar mereka adalah pekerja yang tidak memiliki izin kerja.

Aknolt Kristian Pakpahan menyampaikan, serbuan tenaga kerja asing berhubungan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ”. Pergerakan tenaga kerja saat sulit untuk dibendung karena tuntutan era globalisasi. Aturan yang dibuat oleh setiap negara juga memudahkan terjadinya perpindahan individu dari satu tempat ke tempat lain. Pada tahun 2015, Indonesia sudah masuk dalam komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA memiliki tiga pilar, yaitu pilar pertama membicarakan mengenai keamanan, pilar kedua sosial budaya dan pilar ketiga yakni ASEAN security economy, ASEAN socio cultural community, dan ASEAN economic community. Tiga pilar ini berkaitan erat dengan sektor ketenagakerjaan yang terwjud dalam terbentuknya pasar tunggal ASEAN. Kondisi ini mendorong masyarakat asing untuk dapat bekerja di negara lain guna mendorong pemerataan pembangunan. Harapan dari gagasan tersebut melahirkan produk dengan label Made in Asean. Kaitan dengan konteks keamanan, kedaulatan suatu Negara sisi ketenagakerjaan rawan untuk dikuasai oleh pekerja asing. Kkaitan dengan pilar kedua adalah mengenai  sosial budaya, mengkonstruksi identitas tunggal dengan moto We Asean. Yang artinya pekerja tidak hanya pada masing-masing negara, tetapi sudah menjadi lingkup ASEAN.

Hingga saat ini penggunaan tenaga kerja terampil menjadi perdebatan berbagai pihak, karena ketentuan tersebut dapat mengancam tenaga kerja lokal di tiap negara. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, muncul kekhawatiran bahwa pekerja dari Thailand atau Tiongkok akan lebih mendominasi pekerjaan di Indonesia. Kekhawatiran tersebut kurang tepat, karena ketentuan untuk bekerja di negara-negara ASEAN sudah diatur ketat oleh masing-masing Negara. Sesuai dengan kesepakatan dalam MEA bahwa ada 11 sektor yang dibuka atau boleh mempekerjakan TKA. tujuh Sektor di antaranya adalah industri argo, peralatan elektronik, automotif, perikanan, industri karet, industri berbasis kayu dan tekstil.  Sisanya, lima sektor jasa yaitu transportasi udara, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik serta industri teknologi informasi atau e-ASEAN (Tempo, 5-11 Mei 2014).

Semua sektor tersebut harus melawati serangkaian pelatihan, ujian dan sertifikasi. Sebagai contohnya, apabila seorang insinyur menginginkan untuk bekerja di negara tetangga, penting untuk mendapatkan sertifikasi terlebih dahulu yang bernama Chartered Professional Engineer (ACPE). Sertifikasi ACPE harus dilalui dengan mengikuti pelatihan di PII (Pelatihan Insinyur di Indonesia), atau BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Aknolt menerangkan, bahwa saat ini pergerakan tenaga kerja asing memang tidak bisa dipungkiri dan kita memang harus bersiap diri. Kondisi tersebut mendorong ketrampilan tenaga kerja dalam rangka menciptakan kawasan perekonomian yang terintegrasi. Fungsi pergerakan tenaga kerja terampil, bertujuan menarik investor asing agar mau berinvestasi. Dengan situasi sekarang ini, pergerakan tenaga asing ini memang sudah harus kita terima sebagai sesuatu yang sudah terjadi, ujarnya. Apalagi saat ini sulit untuk dapat membendung tenaga kerja yang berasal dari Tiongkok. Hal ini disebabkan Arknolt mengungkapkan Tiongkok memiliki klausul perjanjian untuk melibatkan tenaga kerjanya ketika memberikan dana pinjaman ke negara lain. Lalu, sebenarnya apa yang bisa kita lakukan?  Salah satu caranya adalah membendung mereka dengan visa dan izin bekerja. Kalau mereka tidak dibendung dampaknya adalah pasar tenaga kerja kita akan dipenuhi dengan TKA illegal.  Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengacu kepada ASEAN Labour Ministers’ Work Program (ALMWP) yang mengatur tentang standar penggunaan tenaga kerja, dengan standar itu juga kita bisa menjaga agar tenaga kerja ilegal tidak masuk ke negara Indonesia.

Aturan Permenaker No 16 Tahun 2015 memuat jelas syarat dan penggunaan tenaga kerja. Jika dicermati, aturan tersebut mendorong agar TKA yang bekerja benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, pada Permenaker No. 16 tahun 2015 pasal 3 disebutkan bahwa jika pemberi kerja mempekerjakan satu orang TKA harus dapat menyerap minimal 10 tenaga kerja lokal di perusahaan pemberi kerja. Kesimpulan Aknolt, pergerakan TKA ini bukanlah sebuah ancaman, melainkan dengan keikutsertaan kita dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah sebuah peluang bagi tenaga kerja Indonesia juga untuk bisa meningkatkan kualitas. Banyak pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan label pendidikan rendah karena tidak dapat memenuhi kebutuhan sektor industri

Berbeda dengan Aknolt, Anis Hidayah melihat berita hoax mengenai serbuan TKA ini sebagai isu yang kurang mendapatkan respon dari teman-teman serikat buruh. Respon yang dimaksud  dalam konteks gerakan.  Buruh harus peka terhadap isu pekerja asing. Gerakan buruh itu bersifat international, persoalan buruh di Malaysia merupakan permasalahan buruh di Indonesia dan begitu pula sebaliknya. Persoalan buruh dimana pun tidak mengenal kebangsaan karena standar gerakan buruh dunia itu sama yaitu bagiamana negara harus memastikan terpenuhi hak seluruh buruh/pekerja. Baginya, jangan sampai buruh tersegregasi oleh satu nasionalitas karena apapun entitasnya yang terpenting yaitu adalah pekerja dipastikan bisa bekerja secara layak.

Untuk peningkatan kapasitas bagi buruh, strategi yang bisa dilakukan adalah mendorong pemerintah untuk memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik. Salah satu langkahnya adalah mendesak untuk merevitalisasi balai latihan kerja (BLK) yang tersedia dengan menggunakan anggaran pendidikan. Selain itu memastikan dialog sosial berjalan dengan baik, esensinya memastikan goal SDGs No.8 tentang buruh mendapatkan kondisi kerja yang layak. (Syarifah Ratnawati / Risky Ramanda)

Penulis

Trade Union Rights Centre

Tags

-

Bagikan artikel ini melalui:

Dapatkan Informasi Terbaru Seputar Isu Perburuhan!