TURC Logo White Transparent
Svg Vector Icons : http://www.onlinewebfonts.com/icon
Search
Search
Close this search box.

Aku dan Serikatku Melawan Kekerasan Seksual dari Atasan Kesayangan Manajemen

Kata Bisa Melukai

Oleh: Queen Azzahra (nama samaran)

Namaku Rima Ratnasari, biasa dipanggil Rima. Aku adalah pribadi yang periang, ceria, dan mudah beradaptasi. Nilai plus ini membuatku memiliki banyak teman. Lebih-lebih, banyak yang bilang wajahku mirip dengan artis Desy Ratnasari.

Aku lahir di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang dikenal sebagai daerah pengirim TKW terbanyak di Jawa Barat. Kawan-kawanku sendiri banyak yang memilih bekerja sebagai TKW karena dianggap bisa mendatangkan banyak rejeki seperti membangun rumah di kampung. Orang Sunda di daerahku biasa menyebutnya dengan mahmur (imah jeng sumur) atau rumah dan sumur.

Akan tetapi, setelah lulus SMA pada tahun 2009, aku tidak tertarik menjadi TKW
seperti teman-temanku. Aku justru mencari lowongan pekerjaan di Cianjur, baik di instansi pemerintah maupun pabrik. Namun, pada tahun 2009, pabrik di Cianjur belum banyak, sehingga peluang kerja di pabrik masih sulit.

Sebenarnya Ingin Kuliah

Sebenarnya bekerja di pabrik atau institusi pemerintahan juga bukan impian
terdalamku, sesungguhya aku ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu kuliah di Bandung. Namun, keadaan ekonomi orang tuaku tidak memungkinkan. Oleh sebab itu, mau tak mau aku dan keluargaku harus mempersiapkan diri untuk bekerja.

Singkat cerita, orang tuaku mengajakku bersilaturahmi ke adik ibuku yang tinggal di Purwakarta, yaitu Bi Asih. Bi Asih menawarkanku untuk tinggal di rumahnya dan berjanji akan membantuku mencari pekerjaan di Purwakarta.

Proses administrasi untuk pindah ke Purwakarta ternyata tidak mudah. Semuanya memerlukan uang pelicin agar berkas cepat diproses, mulai dari tingkat desa hingga Disdukcapil. Akhirnya, aku resmi pindah ke Purwakarta dan dimasukkan dalam Kartu Keluarga (KK) Bi Asih. Aku mulai menyiapkan berkas-berkas untuk melamar di beberapa perusahaan di Purwakarta, yang saat itu lebih banyak memiliki pabrik.

Setelah beberapa bulan, Bi Asih memberiku kabar baik. Aku diterima di salah satu perusahaan tekstil melalui jalur orang dalam. Namun, aku harus mengeluarkan uang pelicin sebesar 1,5 juta rupiah, yang merupakan pinjaman dari orang tuaku di kampung. Aku mengikuti masa training selama tiga bulan, yang menentukan apakah aku akan menjadi karyawan tetap atau tidak. Selama training, kami diwajibkan tinggal di mess yang disediakan perusahaan. Mess tersebut memiliki banyak peraturan, termasuk larangan pulang selama masa training.

Di masa training, kami diajarkan oleh instruktur tentang proses produksi tekstil, mulai dari mesin backproses, carding, comber, ringframe, hingga winding. Aku mulai memahami proses-proses tersebut berkat bimbingan instruktur. Aku juga mulai akrab dengan beberapa senior, termasuk Pak Jon, manajer training yang ramah dan baik.

Setelah lulus training, aku diangkat menjadi karyawan tetap dan ditempatkan di bagian winding. Aku mulai bekerja dalam shift, yang terdiri dari shift pagi, siang, dan malam. Aku juga mengenal Teh Iyan, leader perempuan di grup A, yang sangat membantu dan menjadi pendengar setia. Ia juga pengurus serikat di tempatku bekerja. Namun, masalah mulai muncul ketika Pak Jon mulai memberikan perhatian yang tidak wajar. Ia sering mengirimiku pesan melalui BBM, yang isinya semakin tidak pantas. Kira-kira begini isi chatnya:

Jon: Selamat pagi, Rima yang cantik.

Aku hanya membaca pesannya dan tidak membalas.

Jon: Kok gak balas? Apa sedang sibuk, cantik?

Jon: Rima, terus terang saja, saya setiap hari kangen pengen lihat kamu terus. Apalagi, saya selalu terbayang saat kamu belum pakai kerudung. Rambut kamu bagus, dan senyum kamu begitu manis.

Jon: Rima, hari Sabtu malam minggu, saya akan mengajak kamu untuk menginap di Ciater. Kita berendam bareng, kamu mau kan?

Rima: Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Takut nanti disuruh masuk kerja overtime. (Padahal, itu hanya alasan saja. Sejujurnya, aku takut terjadi apa-apa di sana.)

Jon: Gak akan, Rima. Kamu tolak saja OT-nya. Bilang saja ada acara keluarga di Cianjur. Rima harus mau, ya. Nanti Rima mau apa saja, saya belikan.

Aku bergidik ngeri membaca chat tersebut. Aku pun tak membalasnya, lalu karena merasa tidak nyaman aku curhat kepada Teh Iyan. Teh Iyan menyarankanku untuk mengabaikan pesan-pesan tersebut. Namun Pak Jon tidak berhenti menerorku. Suatu hari, Pak Jon memanggilku ke kantornya dengan alasan membahas pekerjaan. Namun, ternyata ia hanya ingin mengobrol dan merayuku; bahkan dalam beberapa kesempatan ia memegang tubuhku tanpa izin. Untungnya, Teh Iyan menyelamatkanku dengan memanggilku kembali ke kantor leader.

Setelah kejadian itu, aku semakin yakin untuk tidak membalas pesan-pesan Pak Jon. Namun, ia semakin intens mengirim pesan yang tidak pantas seperti ajakan shopping, jalan-jalan, bahkan mengajakku untuk berendam di Ciater. Ia juga bertindak lebih jauh dengan memintaku menjadi simpanannya dengan iming-iming sejumlah uang.

Aku merasa ngeri dan semakin takut, apalagi posisi Pak Jon adalah manager yang
memiliki posisi tinggi. Ia juga dikenal sebagai orang pintar oleh orang-orang manajemen karena menguasai metode efficiency saving cost, sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mengurangi biaya operasional tanpa mengurangi kualitas dengan cara meningkatkan efisiensi produksi komponen penunjang seperti bahan baku, energi, dan buruh pembuat komoditas.

Metode ini dianggap bisa meningkatkan keuntungan perusahaan dan masih jarang dikuasai oleh orang lain di pabrik sehingga posisi tawar Pak Jon sangat kuat, bahkan melebihi HRD yang selama ini ditakuti oleh para pekerja. Oleh sebab itu, aku khawatir jika aku bercerita justru aku yang disalahkan dan di-PHK oleh manajemen.

Tawaran Mutasi dan Dukungan dari Pimpinan Perempuan di Serikat

Setelah hampir satu tahun bekerja, aku diminta untuk mutasi ke departemen training sebagai admin Center For Learning (CFL). Tawaran ini datang dari bu Ani, pengurus serikat tempatku bekerja yang juga bekerja di gedung tersebut. Teh Iyan mendukung keputusan ini. Ia bilang kesempatan tidak datang dua kali. Namun, aku masih merasa takut untuk bekerja di sana karena pengalaman buruk dengan Pak Jon yang juga bekerja di gedung CFL. Akhirnya, aku menunjukkan chat-chat tidak pantas dari Pak Jon kepada Teh Iyan dan Bu Ani.

Kasus ini akhirnya dibawa ke serikat pekerja dan disidangkan oleh serikat bersama manager dan direktur. Teh Iyan dan serikat pekerja meminta Pak Jon di-PHK secara tidak hormat tanpa pesangon karena telah melakukan pelecehan seksual. Namun, tidak disangka, Pak Jon meraung-raung menangis dan mengiba. Istrinya bahkan turut ia ajak ke ruang sidang. Ia beralasan bahwa ia sangat membutuhkan pekerjaan ini karena anak-anaknya masih kecil, dan istrinya sedang hamil.

Akhirnya, tim manajemen menanyakan kepadaku, “Rima, apakah kamu memaafkan perbuatan Pak Jon?”

Saat itu pengurus serikat yang sebelumnya meminta Pak Jon di-PHK memintaku untuk memaafkan Pak Jon, karena merasa tidak tega. Lebih-lebih saat meraung-raung Pak Jon membawa istrinya ke dalam ruang sidang. Hanya teh Iyan dan bu Ani pengurus serikat yang memintaku untuk tidak memaafkannya. Melihat ini semua membuatku yang pada dasarnya adalah tipe orang yang mudah kasihan, memutuskan untuk memaafkannya dengan syarat: aku tidak ingin bertemu lagi dengan Pak Jon.

Aku kemudian tidak jadi pindah ke divisi CFL, karena aku masih ditempatkan di bagian winding, namun letak gedung tempatku bekerja dijauhkan dari kantor Pak Jon–sebagai bayangan dari kantor Pak Jon ke tempatku para pekerja harus naik angkot..

Kekecewaan Teh Iyan

Sebenarnya Teh Iyan kecewa dengan keputusan ini. Harapannya adalah Pak Jon
sebaiknya dipecat agar tidak ada lagi korban selanjutnya. Menurut Teh Iyan, banyak korban lain yang tidak berani speak up seperti aku, sehingga kesempatan ini harus dipakai sebagai pembelajaran terhadap orang yang memiliki kuasa lebih. Teh Iyan berharap kasus ini bisa ditangani seperti kasus ekspatriat India sebelumnya, yang dideportasi karena kasus pelecehan seksual terhadap operator.

Terima Kasih teh Iyan

Tak bisa kusangkal aku bisa berani menyuarakan semua ini berkat dorongan Teh Iyan. Terima kasih kepada Teh Iyan. Berkatmu aku dan kawan-kawan perempuan sekarang jadi lebih tangguh dan berani speak up dalam menghadapi kasus-kasus kekerasan seksual, bahkan berlanjut ke kekerasan berbasis gender di pabrik seperti pelanggaran hak atas cuti melahirkan.

Penulis

Trade Union Rights Centre

Tags

Bagikan artikel ini melalui:

Dapatkan Informasi Terbaru Seputar Isu Perburuhan!