Kisah naas ini bermula pada tanggal 4 Juli 2019, anak Yeni kembali dirawat di rumah sakit selama 5 hari dengan diagnosis gangguan pada trombosit. Ia pun terpaksa tak masuk kerja untuk menunggui anaknya itu. Mondar-mandir di rumah sakit membuat tubuhnya ikut ambruk. Ia sakit lantaran kecapaian, terlebih sedang mengandung. Untungnya ia tak menyusul opname, seperti anaknya.
Yeni menyampaikan absennya pada HRD melalui pesan singkat bahwasanya dirinya tidak bisa masuk kerja karena menunggu anaknya yang dirawat di Rumah Sakit pesan singkat sewajarnya balasan dari HRD, ia diminta untuk membawa dan menyerahkan surat keterangan rawat inap itu saat dirinya masuk kerja nanti. Memang sudah sewajarnya pula hal itu sebagai prosedur tidak masuk kerja. Namun, apa yang terjadi selanjutnya sungguh tak masuk diakal.
Yeni tak pernah menyangka, gangguan trombosit yang dialami anaknya akan berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) dirinya. Setidaknya, ia sudah tujuh tahun bekerja di PT Pou Chen Indonesia. Namun, kini nasibnya tak lebih baik dari suaminya buruh serabutan, dengan penghasilan tak tentu. Ia diPHK tanpa pesangon. Ironisnya, Yeni di PHK dalam keadaan hamil empat bulan.
Kabar PHK ia terima melalui sambungan telepon. Personalia yang mengabari dirinya, bahwa mulai 8 Juli 2019 dirinya di PHK tanpa pesangon dantanpa kejelasan. Padahal, 9 Juli 2019 ia berangkat ke pabrik membawa surat keterangan sakit dari rumah sakit untuk memenuhi prosedur yang diminta HRD, terkait ia izinnya tempo hari.
Namun, HRD justru memberitahu bahwa dirinya mendapat cuti tahunan selama tiga hari dari tanggal 9-11 Juli 2019. Alih-alih cuti tahunan, justru HRD menuliskan bahwa Yeni tidak masuk tanpa keterangan. Hal ini berakibat pada PHK tanpa pesangon secuilpun, dikarenakan telah melanggar pasal 168 tentang kedisipilnan. Surat PHK yang seharusnya diterima sebagai prosedur hubungan kerja, juga tak pernah diterimanya.
Sejak 2006, PT. Pou Chen Indonesia telah berdiri dan memperkerjakan lebih dari 5000 pekerja/buruh. Order yang terus bertambah membuat pabrik harus menambah tenaga kerja. Rekrutmen besar-besaran terjadi di pabrik yang memroduksi sepatu olahraga dan casual merek Puma dan Asicsini sejak bulan April lalu. Terakhir, dibulan Oktober saja, ada 200-300 pekerja/buruh baru masuk di pabrik ini.
PT. Pou Chen Indonesia, berlokasi di dalam Kawasan Industri PT. Nikomas Gemilang, salah satu kawasan industri alas kaki terbesar di Indonesia. Produksi terbesarnya saat ini adalah sepatu Asics. Ia juga memvendorkan bagian-bagian sepatu lainnya, seperti rubber, outsole, logo brand di outsoleke pabrik-pabrik lain.
Misalnya saja di PT Xin Hong Tiyu Yong Pin You Xian Gongsi, PT Win Bright Technology, PT Xin Yichang Industrial, dan PT Hui Cai Indonesia. Order yang banyak kemudian dipilihlah alasan untuk memvendorkan beberapa bagian-bagian sepatu tersebut. Sehingga, efisiensi dan target produksi bisa dicapai. Mengingat target produksi dari brand yang begitu banyak.
Sehingga, sering muncul kekerasan fisik maupun verbal akibat tekanan target order produksi yang begitu tinggi. Secara tak langsung, kondisi ini membentuk rantai kekerasan dari atas kebawah. Sederhananya, atasan menekan bawahan. Bawahan menekan bawahannya terus hingga strata terendah yaitu buruh produksi. Konsekuensinya, pekerja/buruh sering menerima hukuman. Paling sering adalah cacian, dan kekerasan fisik.
Beban target produksi memang menjadi momok serius dalam dunia kerja. Di mata buruh, soal target, Asics memang menyimpan banyak masalah. Cerita-cerita kekerasan ditempat kerja bukan barang baru. Pengawas tak segan melempar box dan menghukum berdiri jika target tak tercapai dan kerjaan menumpuk. Suatu ketika, pernah operator sewing kepalanya harus mencium tembok karena jahitannya kurang bagus dan tidak mencapai target.
Tangan pengawas pun harus rela berdarah dipukul supervisor. Sebab, supervisor akan lebih marah pada pengawas jika target tak tercapai. Tak jarang pula, pengawas sampai dilempar keranjang.
Akibatnya, supervisor yang melakukan pelanggaran biasanya hanya di pindah kerjanya ke pabrik vendor. Tidak di PHK. Beda nasib dengan pengawas yang menjadi korban. Ia justru di intimidasi perusahaan. Pabrik dengan mudah memutasi pada bagian yang belum tentu mereka bisa kerjakan. Tujuannya, agar pekerja/buruh tersebut tidak nyaman.
Di Indonesia, Asics memang memberikan ordernya pada dua pabrik, PT Pou Chen Indonesia dan PT Beesco. Apa yang terjadi di PT Pou Chen kurang lebih juga terjadi di Group Beesco dengan rantai pasoknya. Group Beesco, memiliki lima pabrik, diantaranya PT Beesco Indonesia (Karawang), PT Beesfootwear (Banten), dan Beesco Vietnam. Beesco juga kini berekspansi ke Jepara dengan mendirikan PT Hwa Seung Indonesia.
Pada 2014 karena kelebihan order, PT Beesco Indonesia dan PT BesFootwear mensubcon-kan bagian produksinya untuk pembuatan rubber/outsole sepatu ke PT PA Rubber Indonesia, yang masih satu Group Bessco. Kemudian PT PA Rubber Indonesia memvendorkan order tersebut ke beberapa pabrik lain, diantaranya PT ASK, PT Myung Sung, PT Kung Kang, dan PT Adi Mitra.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketenagakerjaan di PT Pou Chen juga terjadi di Group Besco. Alasannya banyak, tercatat dari medio 2013 hingga 2019 ini. Meskipun Asics sudah menandatangani Protokol FOA, sampai saat ini PT Bessco Indonesia belum menandatangani protocol FOA.
PT Beesco Indonesia yang berlokasi di Karawang ini, pada 2013 sempat melakukan penangguhan upah. Pun kasus tersebut hingga kini belum terselesaikan. Penangguhan upah juga belum dibayarkan. Kemudian kasus ini redam, setidaknya hingga tiga tahun setelahnya.
Barulah pada 2016, Asics selaku pemberi order mengirim surat ke seluruh mitra kerjanya. Isinya adalah mengingatkan bahwa tahun 2020 nanti akan ada olimpiade Tokyo di Japan. Ia lantas meminta semua mitranya agar memperhatikan CSR perusahaan. Kiranya, ada empat point utama yang menjadi headline dari Asics dalam tulisan surat tersebut.
Pertama, tidak boleh mempekerjakan anak dibawah umur. Kedua, jam kerja. Ketiga, kualitas, dan keempat soal distribusi. Namun, dalam surat yang tertuju ke PT Beesco Indonesia, terdapat lampiran penilaian dari Asics. Jika nilainya “C” atau “D” maka kontrak akan diputus.
Pihak perusahaan menyebut, ada dokumen yang berisikan laporan penilian CSR PT Beesco mendapatkan nilai “D”. Nilai berdasarkan penilaian Asics yang menandakan kualitas CSR PT Beesco buruk. SP/SB GSBI curiga, jika surat yang disampaikan bukan laporan resmi Asics. Sebab, meski penilaian “D” namun pada tahun yang sama order Asics di PT Bessco tinggi, bahkan cenderung terus meningkat. Menurut SP/SB GSBI hal ini untuk memenuhi pesanan Olimpiade.
Hasil-hasil penilaian dari Asics justru dijadikan alasan oleh pabrik untuk semakin sewenang-wenang terhadap pekerja/buruhnya. Hal itu dapat dilihat dimana pada Juli 2019 lalu, PT Bessco melakukan PHK 400 orang pekerja/buruhnya, dengan alasan putus kontrak. Padahal, jika merujuk hasil pengawasan dan surat balasan dari dinas ketenagakerjaan tidak boleh menggunakan buruh kontrak.
Mendengar rencana tersebut, SP/SB GSBI menolaknya. Terlebih pengurus SP/SB juga menjadi list dalam rencana PHK. Dalam prosesnya, pihak pabrik menunda, tetapi SP/SB lain mengizinkan PHK asal hak-haknya dibayar.
Proses advokasi PHK belum selesai. Tapi Oktober 2019, pabrik melalui Presiden Direktur justru menambahkan bahwa akan ada PHK terhadap 2000 pekerja/buruh. Hal itu disampaikan pada saat rapat dengan SP/SB. Pada saat rapat, pihak pabrik tidak menyinggung rencana PHK 400 buruh, namunmenceritakan situasi perusahaan dan rencana PHK 2000 buruh pada bulan November-Desember 2019. Alasannya Asics mengurangi ordernya 30-40% pada tahun 2020, yang akan dimulai pada bulan Januari-Juli 2020.
Masuknya Asics ke PT PA Rubber justru menambah beban bagi buruh, bukannya membaik. Sejak 2014 lalu, sahamnya dibeli oleh Beesco Group dan kemudian memroduksi rubber/outsole sepatu Asics. Hal itu pula yang mendasari terbentuknya SP/SB Garteks. Awal perjuangan yang dilakukan oleh SP/SB Garteks yaitu status kerja. Beberapa bulan sebelum pembelian saham.
Mengingat status kerja buruh PT PA Rubber Indonesia tidak jelas, sehingga SP/SB memperjuangkan nasib buruh agar diangkat menjadi buruh tetap. Tuntutan buruh tidak disetujui, jusru masa kerja buruh diperbaharui. Dihitung ulang dan menjadi terhitung sejak pembelian saham tersebut, yaitu tahun 2014. Hingga pada 2016, juga sempat terjai penangguhan upah selama satu tahun, akibat kenaikan upah yang dirasa terlalu tinggi.
Pabrik juga melakukan pemutihan pada 2017. Massa kontrak kerja yang harusnya selesai dan pekerja/buruh diangkat menjadi karyawan tetap, justru diputihkan tanpa kesepakatan. Caranya, pabrik mengganti nomor induk karyawan (NIK) menjadi tahun 2017 semua. Pekerja/buruh yang terhitung bekerja sejak 2014 harus rela diakui dari awal lagi yaitu 2017. Artinya masa kerjanya hilang. Dalihnya karena ada perubahan sistem.
Dua bulan setelah perubahan NIK, pabrik kemudian menginformasikan bahwa buruh akan menerima dua kali gaji, dan langsung dikirim ke rekening pekerja/buruh secara langsung. Hal ini tentu disambut sorak sorai para pekerja/buruh. Ada yang kaget, ada pula yang senang. Namun, baru diketahui jika dua kali gaji tersebut merupakan uang pengganti pesangon, dan buruh dipaksa menandatangani nota kesepakatan dengan pihak pabrik, yang isinya PHK.
Separuh pekerja/buruh semuanya di PHK pada September hingga Oktober. Alasannya tetap sama, yaitu efisiensi dan order yang terus berkurang. Kali ini modus yang dipakai adalah pabrik mengirim surat pengunduran diripekerja/buruh. Pun didalamnya akan dijanjikan akan mendapat dua kali PMTK. Meski pada kenyataannya pekerja/buruh hanya mendapatkan satu kali PMTK. Pabrik beralasan klasik. Tak mampu membayar karena merugi.
Proses perubahan NIK itu tentu bukan tanpa maksud buruk. Hitung-hitungan pabrik matang, bahwa kebijakan itu akan memperkecil nominal uang pesangon. Jika ia akan melakukan PHK. Sebab, rata-rata pekerja/buruh sudah bekerja sejak 2009 hingga 2011. Jadi, pengiriman dua kali gaji dan merubah NIK adalah siasat licik.
Seperti halnya tidak memberikan bukti surat pengunduran diri. Akal-akalan ini ditengarai intrik perusahaan. Buruh seolah-olah mengundurkan diri. Sebab, jika mengundurkan diri maka pabrik tidak perlu membayarkan uang pesangon.
Pun saat terjadi PHK, ada 18 pekerja/buruh yang sedang hamil. Delapan diantaranya masih bekerja dan 10 lainnya sedang cuti melahirkan. Menurut SP/SB ini jelas melanggar ketentuan. Pabrik tidak boleh PHK pekerja/buruh yang sedang hamil.
Apa yang menimpa Yeni dan teman-temannya yang sama-sama di PHK memang aneh. Pasalnya, pabrik selalu berkilah, jika order Asics terus merosot. PHK besar-besaran yang ini juga berdampak pada kondisi buruh yang bekerja untuk vendor-vendor PT Beesco Indonesia ini. Mereka ikut juga PHK buruhnya secara massal.
Beberapa bulan setelah PHK, Yeni mendapatkan kabar dari rekannya. bahwa dirinya terhitung PHK pada 20 Juli 2019. Dengan alasan tidak masuk terhitung dari tanggal 11-20 Juli. Pabrik juga beralasan bahwa sudah mengirim surat panggilan dua kali, pada tanggal 12 dan 17 Juli 2019.
“Ini aneh. Padahal aturannya, surat panggilan harusnya lima hari setelah buruh tidak masuk”, ketus Yeni.
Akan tetapi merujuk surat PHK tersebut, Yeni tidak masuk selama sehari namun pabrik sudah memberinya surat peringatan. Dirinya juga mengantongi surat izin. Disisi lain, pabrik mengumumkan, jika Yeni sudah di PHK sejak tanggal 8 Juli 2019.
Ketidakjelasan ini tentunya membuat posisi Yeni semakin terperosok. Terlebih surat paklaring yang seharusnya bisa diakses untuk memproses pesangon dan jamsostek tidak jelas keberadaanya. Padahal pesangon dan jamsostek tersebut adalah harapan satu-satunya agar bisa mengakses uang pension. Rencananya, uang itu akan digunakan untuk proses persalinan. Koperasi perusahaan ternyata masih menahannya. Alasannya, Yeni masih menanggung tanggungan cicilan hutang selama 6 bulan.
Bagi Yeni, kejadian ini membuat dirinya bingung, mengingat bayi di perutnya akhir tahun lahir dan butuh biaya. Ia tak tahu lagi harus mencari tambahan biaya kemana. (Mohammad Setiawan)