Sejak pagi, perempuan pekerja rumahan dampingan Trade Union Rights Centre (TURC) berkumpul di kantor Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (13/05/2020). Hari itu, mereka akan membagikan masker secara gratis dan menghadiri pelaksanaan pembukaan kegiatan sosialisasi Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) bersama pemerintah dan petugas pusat kesehatan masyarakat setempat (Puskesmas). Semangat para pekerja rumahan yang tergabung dalam Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI) ini begitu terasa, meski sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Mereka juga saling bertukar informasi terkini perihal kondisi di lingkungan RT masing-masing.
“Di RT saya, Bu, jemuran berjejer semua, yang digantung itu ya APD seperti itu!” kata salah satu anggota JPRI, sembari menunjuk sederet alat pelindung diri (APD) yang digantung di halaman belakang kantor kelurahan.
Anggota JPRI lainnya menyebut, bahwa dalam sepekan telah terjadi penambahan 10 kasus positif COVID-19 di salah satu lingkungan RT tempatnya tinggal. Informasi ini kemudian menjadi data tambahan dan sebagai pengaturan ulang titik tujuan distribusi masker, hingga sosialiasi PHBS. Titik-titik strategis yang dipilih ini adalah lokasi yang dirasa masih cukup aman, namun semua diingatkan untuk harus waspada saat kegiatan berlangsung. Peserta kegiatan diberikan sarung tangan sebelum naik angkot dan dipastikan memakai masker serta membawa hand sanitizer.
Sebelum pandemi ini terjadi, pekerja rumahan telah mengalami kerentanan luar biasa. Mereka bekerja tanpa kontrak, dibayar murah, dan berbagai hak sebagai pekerja tidak didapatkan seperti layaknya pekerja formal lainnya. Kini pendapatan mereka menurun cukup drastis, dan tidak sedikit diantaranya kehilangan pekerjaan. Akhirnya, para pekerja rumahan ini merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi keuangan bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi. Kondisi kesehatan juga masalah selanjutnya kini memerlukan perhatian serius. Sebab, bagaimana memenuhi kebutuhan kesehatan jika untuk makan saja masih sulit.
Banyak pula warga yang kehilangan pekerjaan atau mendapat kebijakan pengurangan intensitas dan durasi kerja, sehingga menjadikan waktu di rumah semakin senggang dan mudah berkerumun dengan sesama warga, tanpa masker. Penggunaan sarana mandi, cuci, kakus (MCK) komunal pun dapat memperbesar risiko. Kondisi ini juga diperparah dengan minimnya sarana cuci tangan pakai sabun (CTPS). Barang tentu belum mampu memastikan hiegenitas warga. Berbagai kondisi inilah yang membuat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan protokol kesehatan begitu sulit diterapkan di permukiman kumuh padat penduduk. Maka tidak heran jika penambahan kasus COVID-19 di lingkungan padat penduduk cenderung memiliki potensi besar.
Sampai di Jl. Marlina, peserta sosialisasi PHBS meneruskan berjalan kaki dan memasuki jalan yang menyempit. Gang ini masih bisa dilalui motor, namun berbagai perabotan rumah serta kendaraan motor pribadi milik warga juga memadati jalan. Situasi tampak tidak jauh beda dengan masa sebelum COVID-19 hadir. Warga masih tampak berkerumun, mengobrol satu sama lain di ujung gang atau di depan teras rumah. Sementara itu, anak-anak bermain, berkejaran ramai-ramai tanpa peduli jarak fisik yang aman. Waktu bermain barangkali menjadi lebih lentur dan cenderung sulit dikendalikan mengingat pembelajaran sekolah kini masih menggunakan metode belajar dari rumah.
Inisiatif, Solidaritas, dan Jaringan
Ajakan tegas dan penuh semangat dari Een serta anggota JPRI lain yang juga kader posyandu mampu menggerakkan warga sekitar untuk seketika berjaga jarak dan langsung memakai masker yang dibagikan secara gratis. Masker ini adalah hasil dari penggalangan dana bantuan yang dikumpulkan oleh JPRI secara daring. Mereka juga menerima membuka kesempatan bagi para donatur lain untuk memberikan derma pada mereka yang terdampak pandemi COVID-19 ini. Selain masker, warga yang sedang berkumpul juga diberikan informasi mengenai pandemi ini melalui flyer yang dibagikan dengan.
“Langsung dipakai, Bu. Di kampung saya, RT 04 sudah 10 orang positif, kami pendampingnya. Ini gak main-main, Bu. Gak cuci tangan, gak pakai masker terus sering ngobrol. Kita kan gak tahu tetangga kita positif atau negatif. Yuk dipake yuk ! Kenakan masker atau kena. Kita tunjukin ke dunia luar, bahwa warga Marlina pakai masker! ”, seru Een.
Tidak kalah semangat, anggota lainnya juga mengampanyekan betapa penting dan mudahnya cuci tangan pakai sabun. Munajar salah satunya, ia mempraktikkannya secara berulang menggunakan lagu “6 Langkah Cuci Tangan” yang sudah populer namun bisa jadi belum cukup akrab di telinga warga setempat. Anak-anak juga mengangguk tanda memahami anjuran bersih-bersih setelah bermain di luar.
Sosialisasi dilanjutkan di wilayah lain, yakni Kapuk Muara. Di wilayah tersebut, ada lebih banyak pekerja rumahan yang dapat ditemui. Beberapa warga setempat turut membantu menempel poster pengetahuan PHBS di titik-titik strategis. Inisiatif warga dalam penyediaan sarana PHBS di sini sudah bisa ditemui, seperti inisiatif penggunaan botol plastik bekas sebagai sarana CTPS sederhana di depan rumah. Botol air bersih dan botol berisi sabun digantung dengan tali rafia dan dapat dibalik posisinya saat tidak digunakan. Dalam keterbatasan, warga dapat menggunakan kreativitasnya untuk menerapkan protokol kesehatan. Meskipun, masih sedikit warga yang mencoba memanfaatkannya. Artinya kesadaran PHBS di lingkungan tersebut juga masih kurang.
Sepanjang perjalanan, kami menemui beberapa pekerja rumahan terdampak yang mayoritas adalah pekerja perempuan. Dzaini salah satunya, ia biasa mengerjakan pengeleman sepatu merek terkenal dengan upah Rp. 50 ribu untuk 200 pasang sepatu semalaman. Padahal harga sepatu ini dapat mencapai satu juta rupiah satu pasang jika kita beli di pusat perbelanjaan di Ibukota. Namun, pandemi seperti sekarang ini membuatnya tidak lagi menerima pekerjaan. Maka kini ia sangat kesulitan menghidupi delapan anggota keluarganya.
Perjuangan serupa dialami oleh Miyati. Di usianya yang tidak muda lagi, ia tetap harus bekerja ekstra karena anaknya baru saja dirumahkan dari tempatnya bekerja.
“Biasanya saat gak ada kerjaan lem sepatu, saya mulung. Tapi sekarang udah nggak bisa, kemarin-kemarin ditangkap satpol PP,” jelasnya.
Tinggal dalam sebuah rumah petakan tidak lega, dengan banyak anggota keluarga di dalamnya yang tidak bisa makan, sungguh menjadi kabar yang menyedihkan. Kegiatan sosialisasi ini juga dimanfaatkan oleh ibu-ibu JPRI Jakarta untuk melengkapi data asesmen mereka mengenai siapa saja yang paling membutuhkan bantuan, setidaknya untuk tetap hidup beberapa hari ke depan dalam masa sulit ini.
Ketua JPRI Jakarta, Muhayati menyebut jika mengandalkan pemerintah saja tidak cukup. Banyak praktik yang tidak sesuai jika ditemui di lapangan. Bantuan tidak tepat sasaran dan ketidaksesuaian bantuan antara yang diumumkan dengan diterima membuatnya merasa harus turun tangan untuk memastikan kesejahteraan sesama warga, tak terkecuali pekerja rumahan yang sangat terdampak. Empati serupa juga dimiliki Munajar. Baginya, menengok tetangga pekerja rumahan terutama kelompok lansia adalah keharusan. Tiada artinya mampu makan sahur dan berbuka setiap hari dalam rumah bersama keluarga lengkap apabila masih ada orang terdekat yang bahkan tidak punya makanan untuk berbuka puasa nanti sore.
Solidaritas ini menjadi semakin terasa ketika kegiatan sosial lanjutan diputuskan secara spontan siang itu. Di sela sosialisasi, anggota JPRI bermusyawarah untuk merencanakan apa lagi yang perlu dilakukan dalam merespon kondisi pekerja rumahan yang kurang beruntung atau terdampak pandemi ini. Menurut ibu-ibu pekerja rumahan, yang dibutuhkan saat ini adalah pembaruan data terkait penerima program bansos pemerintah. Sadar akan perannya, mereka berupaya memiliki pendataan terbaru setiap harinya bahkan dengan mengetuk pintu per pintu demi akurasi data dan ketepatan sasaran bantuan. Dengan data dan organisasi yang apik ini – menurut mereka – bantuan bisa diperoleh dari lebih banyak sumber eksternal sehingga lebih besar pula dampaknya.
Potensi Modal Sosial dan Mendesaknya Pengakuan
Pandemi membawa mimpi terburuk bagi masyarakat yang tinggal di pemukiman padat penduduk. Kombinasi kerentanan yang ada – kondisi finansial dan kesehatan – justru semakin memperparah ketidakpastian setiap hari. Pada kasus pekerja rumahan, ketidakpastian dialami setiap hari bahkan sebelum pandemi datang. Menyelesaikan produksi di rumah petakan sempit dengan belasan pekerja lainnya, mengerjakan sebagian proses produksi berkarung-karung makanan ringan seharian untuk upah Rp. 20 ribu saja, juga kecelakaan kerja yang dampaknya tidak ditanggung perusahaan, telah menjadi cara hidup yang terpaksa dipilih. Kini, datangnya pekerjaan semakin sedikit bahkan hilang, sementara urusan perut keluarga tetap harus dipenuhi.
Lebih lanjut, warga tentu tidak memiliki keleluasaan dalam menerapkan protokol kesehatan dengan sempurna. ‘Bekerja dari rumah’ di masa ini hanya menjadi kenikmatan segelintir pekerja dan tidak tersedia pada jenis pekerjaan mayoritas warga setempat. Risiko terpapar virus juga menjadi semakin mudah lewat kegiatan interaksi warga sehari-hari yang tempat tinggalnya tidak memiliki sekat berarti. Minimnya pengetahuan PHBS dan tidak tersedianya sarana pendukung pun memperburuk derajat kesehatan masyarakat.
Kini, modal sosial lah yang membuat masyarakat masih dapat bertahan hidup hingga saat ini. Modal sosial menjadi modal paling berharga yang tersisa. Solidaritas masyarakat (bonding capital) khususnya berkat rasa empati sesama pekerja, mampu memperpanjang keberlangsungan hidup keluarga lain lewat bantuan bahan makanan. Satu per satu pintu diketuk demi memastikan semua tetap sehat dan cukup makan. Pemanfaatan sumber daya pengetahuan dan motivasi kelompok pada JPRI Jakarta pun berpengaruh pada upaya peningkatan kesadaran warga lainnya dalam perilaku hidup bersih dan sehat.
Tidak hanya itu, jaringan eksternal yang dimiliki oleh JPRI sebagai linking capital mampu menghadirkan aksesibilitas pada sumber daya yang lebih banyak. Hubungan baik dengan berbagai lembaga dari mulai pemerintah, non-governmental organization (NGO), hingga donatur perorangan menjadi modal berharga untuk mengakses bantuan sosial bagi masyarakat, khususnya pekerja rumahan yang paling terdampak.
Modal sosial, meskipun cukup menolong, tidak bisa menjadi satu-satunya strategi yang diandalkan. Menuju “New Normal” yang ditawarkan pemerintah, tentu dibutuhkan penguatan di berbagai aspek penting lainnya. Kehadiran pemerintah dalam asesmen mendalam pada masyarakat permukiman padat kumuh, berikut tantangan hidup pekerja rumahan di dalamnya, menjadi semakin mendesak. Bukan tidak mungkin, dengan mengakui potensi modal sosial yang ada serta melalui pengakuan keberadaan pekerja rumahan lewat undang-undang ketenagakerjaan, kesejahteraan masyarakat setempat menjadi semakin rasional untuk dicapai. (Nadia Himmatul Ulya)