Sudah lebih dari satu bulan, masyarakat Indonesia tinggal berdampingan bersama pagebluk Coronavirus Disease – 19 (COVID-19). Sejak 2 Maret 2020 lalu, pemerintah memberitahukan dua warga negara Indonesia (WNI) yang positif COVID-19. Namun, tiap hari angka semakin meningkat. Baik itu yang positif, sembuh atau meninggal. Pasien Dalam Pengawasan (PDP) juga semakin meningkat. Tak hanya itu, Orang Dalam Pemantauan (ODP) juga semakin banyak jumlahnya.
Sampai saya membuat tulisan ini, total positif COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 2.738. Sedikitnya ada 2.313 orang dirawat. Sedangkan sisanya, masih menjalani isolasi mandiri di rumah. Angka kematian pun sudah mencapai 221 orang. Sedangkan yang sembuh mencapai 204 orang. Hampir dari setengah penderita covid-19 ini ada di wilayah ibukota Indonesia, DKI Jakarta. Jadi, jangan heran jika Jakarta kini sepi total. Sudah jarang yang beraktifitas di luar. Banyak pegawai yang melakukan bekerja dari rumah atau kita sebut dengan istilah work from home. Karena memang anjuran dari pemerintah untuk berada di rumah saja.
Tidak hanya Jakarta, banyak kota-kota di Indonesia yang juga mulai sepi. Karena menerapkan anjuran dari pemerintah untuk di rumah saja. Tidak menjadi masalah jika pegawai di rumah saja dan bekerja dari rumah. Mereka masih diberikan gaji. Mungkin ada yang penuh dan ada juga yang dipotong. Tapi, setidaknya masih bisa mendapatkan penghasilan. Sehingga masih bisa untuk membeli bahan makanan. Bersyukurlah.
Tapi, ada yang mengganjal jika kita melihat ke fenomena COVID-19. Anjuran di rumah saja sepertinya cocok untuk yang memiliki ekonomi berkecukupan. Meskipun penyakit ini tidak melihat status sosial ekonomi. Siapapun bisa terdampak virus mematikan ini. Namun, bagaimana mereka yang berada di sektor kerja informal ? bagaimana nasib karyawan yang terpaksa dirumahkan atau PHK?
Nasib Pekerja Informal
Mungkin, bagi kita yang bisa work from home, tetap digaji, tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, wabah COVID-19 tidak begitu berdampak pada kehidupan ekonomi kita. Tapi bagi para pekerja informal seperti, pedagang asongan, pedagang keliling, driver ojek online, buruh harian, akan merasa kesulitan secara ekonomi akibat COVID-19.
Demi alasan kesehatan, memang sebaiknya tidak keluar rumah dan melakukan physical distancing. Tapi hal ini tidak bisa dilakukan bagi sebagian orang. Jika tidak keluar rumah, keluarganya akan makan apa ? Kalau kita perhatikan para pedagang keliling, omset menurun karena dagangannya sepi. Pasti sepi karena orang-orang tidak beraktifitas di luar rumah. Jadi siapa yang beli dagangannya ?
Selain pedagang keliling, ada juga driver ojek online yang sepi orderan. Alih-alih masyarakat pada di rumah saja, mereka jadi susah mendapatkan penumpang. Pendapatan menurun, sedangkan harus tetap menafkahi keluarga, serta membayar cicilan motor, mungkin.
Meskipun begitu, mereka tetap saja bekerja di luar rumah. Mau tidak mau. Daripada tak bisa makan. Karena sesungguhnya kelaparan lebih menyeramkan dibanding corona. Meskipun untuk saat ini terasa sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
Berada di luar rumah pun seharusnya mereka menggunakan masker untuk melindungi diri. Tapi, mengakses masker, handsanitizer pun sekarang sulit. Ada tapi harganya tak wajar. Jadi jangan heran kalau melihat para pedagang atau driver ojek online tak membawa kedua hal itu.
Karyawan Dirumahkan dan PHK
Covid-19 ternyata juga membawa dampak pada perusahaan besar. Jadi bukan hanya pedagang yang turun omset. Perusahaan juga bisa turun omset. Namun yang akan paling berdampak tentu pada karyawannya. Sebagai masyarakat kecil dan bukan pemilik modal.
Jawa Barat merupakan kasus COVID-19 terbanyak kedua setelah Jakarta. Sehingga, banyak perusahaan yang terdampak. Berdasarkan data dari Disnakertrans di Jawa Barat ada 40.433 pekerja yang dirumahkan. Tak hanya itu, 3.030 pekerja juga harus di-PHK. Sedangkan, di Jakarta ada 162.416 pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK. Rinciannya, ada 132.279 pekerja yang dirumahkan sementara, Sedangkan 30.137 pekerja terkena PHK. Tentu hal ini diakibatkan oleh wabah corona saat ini.
Di tengah wabah seperti ini mereka harus menderita bertubi-tubi. Kehilangan pekerjaan, susah mendapatkan penghasilan, susah memenuhi kebutuhan hidup, tapi tetap harus menjaga kesehatan dan waspada supaya tidak terpapar virus COVID-19.
Perusahaan memilih jalan merumahkan pekerja atau PHK pekerjanya karena mereka kesulitan akses bahan baku, produktifitas menurun, masalah pada distribusi dan turun omset. Hal inilah yang tidak bisa dibendung perusahaan. Sehingga kembali lagi yang harus menjadi korbannya ialah pekerjanya yang hanya masyarakat biasa. Kemiskinan serta kelaparan menjadi ancaman mereka.
Jadi, bersyukurlah kalian yang masih bisa bekerja secara aman dari rumah dan mendapatkan penghasilan. Di luar sana, banyak masyarakat yang justru harus mati-matian berada di luar rumah demi mendapatkan sesuap nasi. Dan, mereka juga membutuhkan perhatian kita serta pemerintah. Tanpa adanya wabah saja mereka sudah mendapat tekanan hidup yang luar biasa. Hidup bersusah-susah di bawah ketiak kapitalisme. Apalagi ditengah adanya wabah COVID-19. Rakyat yang hidupnya sudah susah jadi semakin susah.
Semoga bencana ini segera berakhir. Amin. (Ghea Nurhanifah)
***
Ghea Nurhanifah adalah penulis lepas yang berdomisili di Cirebon. Selain menjadi penulis lepas, Ghea juga kini berprofesi sebagai frontliner disebuah Bank milik salah satu BUMN di Indonesia. Ia tertarik pada isu-isu sosial masyarakat yang berkembang di Indonesia. Segala ketertarikannya itu ia tuangkan dalam tulisan di blog pribadinya, wonderwomennotes.blogspot.com