TURC Logo White Transparent
Svg Vector Icons : http://www.onlinewebfonts.com/icon
Search
Search
Close this search box.

Apakah Aku Salah Bila Aku Janda?

Apakah Aku Salah BIla Aku Janda?

Oleh : Adelia (nama samaran)

Menjadi seorang janda acap kali bukan pilihan hidup yang direncanakan. Banyak perempuan menyandang status ini karena himpitan situasi. Sialnya, ketika perempuan tidak lagi memiliki suami karena perceraian atau kematian, status sosialnya berubah menjadi lebih rendah. 

Di lingkungan yang masih kental dengan pandangan tradisional dan patriakal, janda kerap dipandang sebagai individu yang tidak lagi utuh dan dicurigai sebagai penyebab permasalahan bagi lingkungan di sekitarnya–seperti teman kerja dan teman sejawat lainnya. Tak jarang pula, ia dikucilkan atau diperlakukan tidak adil hanya karena statusnya. Dalam banyak kasus, janda merasa terasing dari komunitas mereka. 

Mereka tidak dilibatkan dalam acara-acara sosial atau tidak diundang ke pertemuan-pertemuan keluarga. Banyak  majikan yang cenderung meragukan kemampuan janda untuk bekerja, terutama jika mereka memiliki anak. Hal ini menyebabkan janda kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lebih dari itu, isolasi sosial dan ekonomi yang kerap diterima oleh para janda membuat mereka mengalami gangguan dalam hubungan sosial seperti perasaan terasing dari lingkungan sekitar.   

Isolasi ini dapat menyebabkan dampak psikologis yang serius, seperti depresi atau kecemasan. Bentuk ketidakadilan yang dialami oleh janda bukan isolasi sosial dan ekonomi–terutama bagi para janda yang memiliki anak. Berbagai macam pelecehan dalam bentuk verbal, fisik, seksual dan psikologis adalah hal yang lumrah dialami oleh para janda, termasuk di dalam serikat pekerja.  

Baca Juga: Catatan dari Lapangan: Mengatasi Kesulitan Pengorganisasian Buruh Muda

Contohnya pelecehan verbal yang pernah dialami oleh anggota serikat pekerja dari ketuanya seperti, 

“Tidur sama aku yuk, kan kamu udah lama nggak berhubungan, nggak usah jaim kan kamu udah nggak segel.” 

Di tengah semua tekanan ini, kerap muncul pertanyaan yang menyakitkan dari para janda seperti:  “Apakah salah menjadi janda hingga harus menerima perlakuan buruk?.”

Pertanyaan tersebut muncul dari kegelisahan dari para janda yang merasa tidak dihargai di lingkungannya. Seolah-olah mereka adalah orang asing atau alien bagi lingkungan sekitar mereka sehingga tidak perlu dijaga perasaanya. 

Selain itu, pertanyaan itu juga mencerminkan rasa bersalah  dari para janda. Perasaan yang bertendensi menyalahkan diri sendiri ini bisa timbul akibat stigma sosial yang negatif dari masyarakat. Stigma sosial ini menyiratkan status janda bisa tercipta akibat kesalahan pribadi, yang membuat mereka merasa bertanggung jawab atas perceraian yang mereka alami.   

Ketika janda menjadi korban pelecehan verbal maupun fisik banyak yang terjebak dalam dilema. Di satu sisi, mereka ingin melawan dan memperjuangkan hak-haknya, namun, tekanan sosial membuat banyak korban pelecehan memilih untuk berdiam diri daripada berbicara, karena mereka merasa malu dan tidak ada yang akan mendukung atau percaya pada mereka. Mereka yang menjadi korban justru dipersalahkan dan dianggap “memancing” tindakan tersebut. 

Pelecehan seperti itu juga akrab dialami oleh beberapa anggota serikat buruh di basis. Anggota perempuan dengan status janda yang pintar, kritis, dan mau berkontribusi bagi organisasi kerap digosipkan memiliki hubungan kedekatan emosional bahkan kedekatan seksual dengan ketua serikatnya yang laki-laki hanya karena mereka sering mengikuti pendidikan bersama. Ini menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi janda. Seolah-olah dengan menjadi janda, segala kebaikan, prestasi, dan kerja kerasnya hilang begitu saja di mata orang-orang. 

Padahal, tidak ada satu pun individu yang pantas menjadi sasaran pelecehan, terlepas dari status pernikahannya. Stigma ini membuat janda lebih rentan terhadap diskriminasi dan pelecehan. Beberapa dari mereka bahkan merasa perlu diam atau tidak melaporkan pelecehan yang mereka alami karena takut akan cemoohan atau penilaian buruk dari masyarakat.  

Melulu Dicurigai dan Tidak Dianggap sebagai Individu Utuh

Stereotip yang melekat pada janda sangat beragam dan banyak yang merugikan komunitas janda itu sendiri. Ada yang menganggap janda sebagai ancaman bagi rumah tangga orang lain, ada yang mengasihani mereka dengan berlebihan, atau menganggap mereka sebagai beban sosial membuat mereka sering tidak dilibatkan dalam keputusan-keputusan penting dalam hidupnya dengan alasan dia butuh ditolong dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatur hidupnya sendiri. Padahal, seorang janda tetaplah individu yang memiliki hak untuk dihormati, dihargai, didengarkan pendapatnya, diberi pilihan dan diperlakukan setara dengan orang lain.

Pandangan tradisional yang patriakal sering kali menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki, dan ketika seorang perempuan menjadi janda, dia seolah-olah kehilangan perlindungan dan dukungan yang selama ini melekat pada sosok suami.  Imbasnya, ketika seorang perempuan menjadi janda, dia seolah-olah kehilangan sosok yang memberi perlindungan dan dukungan yang melekat pada suami semata. 

Baca Juga: Pembentukan Pos Unit Kesehatan Kerja untuk Pekerja Rumahan di Kapuk Muara, Jakarta Utara

Pertanyaan seperti, “Kenapa bercerai?” atau “Kenapa tidak menikah lagi?”  kerap muncul dari kerabat dekat dan teman sekitar, seakan-akan kebahagiaan seorang perempuan hanya bisa diukur dari ada atau tidaknya seorang suami. 

Selain tekanan sosial yang membuat janda merasa tidak utuh sebagai individu karena belum bersuami, tidak jarang juga mereka menghadapi pelecehan verbal seperti “enak ya jadi janda udah bebas“, “Dia kan janda jadi nggak ada yang perlu dijaga“ atau “Dia gampanglah, dia kan udah janda“ efeknya banyak janda yang mau tak mau harus menghadapi berbagai tantangan hidup dengan kepala tegak sembari menahan rasa sakit di hatinya. 

Di tengah situasi yang tidak mengenakan seperti itu, mereka bekerja keras untuk menghidupi keluarga, menjadi figur ayah dan ibu sekaligus, serta berjuang untuk menjaga kesejahteraan emosional dan finansial anak-anak mereka. Masalahnya, di tengah perjuangan mereka yang berat, para janda masih sering perjuangan diabaikan atau dipandang sebelah mata oleh sebagian orang yang terjebak dalam prasangka yang merendahkan martabatnya.

 Tidak Hina Menjadi Janda

Yang lebih menyedihkan, terkadang janda merasa harus membuktikan diri lebih dari yang lain hanya untuk mendapatkan sedikit penghargaan atau pengakuan dari masyarakat. Mereka berjuang keras, tetapi tetap saja dianggap “kurang” dan “gampangan“ karena status janda yang mereka sandang.

Status janda tidak seharusnya menjadi alasan untuk merendahkan seseorang. Setiap perempuan berhak mendapatkan rasa hormat, dukungan, dan kesempatan yang setara, terlepas dari status pernikahan mereka.  Alih-alih, mempertanyakan pilihan atau status mereka, kita harus belajar untuk menghargai perjuangan dan pencapaian mereka sebagai individu.

  Lalu, “Apakah aku salah bila aku janda?” 

Tidak, sama sekali. Tidak salah menjadi seorang janda. Status janda tidak menentukan nilai atau harga diri seseorang. Setiap orang memiliki perjalanan hidupnya masing-masing, dan menjadi janda adalah bagian dari perjalanan tersebut. Apa yang lebih penting adalah bagaimana kita menjalani hidup dengan keberanian, kasih sayang, dan ketulusan, terlepas dari status atau label yang mungkin diberikan oleh masyarakat. Para perempuan layak mendapatkan penghargaan dan kebahagiaan, apa pun status pernikahannya.

 

 

Penulis

Trade Union Rights Centre

Tags

Bagikan artikel ini melalui:

Dapatkan Informasi Terbaru Seputar Isu Perburuhan!