TURC Logo White Transparent
Svg Vector Icons : http://www.onlinewebfonts.com/icon
Search
Search
Close this search box.

Catatan dari Lapangan: Mengatasi Kesulitan Pengorganisasian Buruh Muda

“Kenapa ya, Mang, anak-anak milenial dan Gen Z pada gak minat gabung serikat?”
(Tanya seorang kawan dari serikat)

Belakangan ini, sering kali kita mendengar keluhan tentang menurunnya keanggotaan serikat buruh (union density). Semakin sedikitnya pekerja, terutama pekerja muda, yang bersedia bergabung dalam serikat buruh, terutama melalui metode pengorganisasian langsung kepada para pekerja tersebut.

Langkah-langkah pengorganisiran langsung kepada pekerja muda memang telah dilakukan oleh hampir semua serikat yang saya temui. Namun, hasilnya sering kali tidak memenuhi harapan.

“Kenapa ya, Mang, anak-anak milenial dan Gen Z tidak tertarik gabung serikat? Padahal kerjanya sama-sama berat,” keluh seorang kawan dari serikat buruh di Jawa Barat.

Namun, di tengah kebingungan yang ada dalam mengorganisir buruh muda, muncul fenomena menarik di Jawa Tengah, di mana pabrik-pabrik baru hasil relokasi dan ekspansi bermunculan. Di daerah tersebut, serikat-serikat baru yang diisi oleh buruh muda–baik pengurus maupun anggotanya–mulai terbentuk

Fakta ini diakui oleh seorang pengurus serikat buruh lama setempat. “Kini, mengorganisir buruh muda itu susah, tapi serikat-serikat baru terus muncul,” ungkapnya.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan reflektif: mengapa buruh-buruh muda ini mau berserikat?

Pengorganisasian Berbasis Komunitas

Berdasarkan hasil diskusi dan kunjungan ke teman-teman serikat, terlihat bahwa pengorganisasian langsung ke buruh-buruh muda yang mendatangkan optimisme, bukan pesimisme, adalah mungkin, tetapi memerlukan metode yang tepat dan kontekstual.
Peran buruh muda yang bergabung dalam serikat-serikat baru bercerita mereka sudah lelah bekerja. Oleh sebab itu, ajakan masuk ke dalam serikat hendaknya diawali dengan langkah yang lebih santai, seperti membentuk komunitas berbasis hobi. Pengorganisasian dapat dimulai melalui berbagai hobi yang dimiliki oleh para pekerja muda, seperti futsal, memancing, masak, ngegame, dan lainnya. Pendekatan ini lebih efektif dilakukan oleh anggota serikat yang sebaya, karena seringkali terdapat rasa segan dari pekerja muda terhadap pekerja yang lebih senior. Dengan kata lain, organiser serikat buruh harus memposisikan diri sebagai teman sebaya yang memiliki pengalaman serupa sebagai buruh.

Komunitas berbasis hobi ini dapat terus dipertahankan setelah para buruh mudah bergabung dengan serikat. Ruang sekretariat atau tempat berkumpul serikat dapat dijadikan sebagai salah satu tempat untuk melepas penat dari kesibukkan pekerjaan.

Seorang kawan dari salah satu serikat di Jawa Barat juga melihat kecenderungan generasi Z atau milenial yang memiliki semangat untuk meningkatkan keterampilan dan kapasitas diri. Artinya, organiser dari serikat buruh juga dapat memanfaatkan semangat belajar para buruh muda dengan menjadi fasilitator bagi mereka sembari mengorganisir dengan pendekatan yang egaliter.

Dengan kata lain, serikat sebisa mungkin menjadi ruang bagi buruh muda untuk dapat istirahat dari kelelahan dan kepenatan kerja dan meningkatkan kapasitas diri. Tak lupa, serikat juga harus menjadi tempat untuk berbagi keluh kesah tentang suasana kerja dan menyusun agenda bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Pengorganisasian Berbasis Keluarga

Dalam beberapa kasus, hambatan dari keluarga juta tampak jelas. Banyak buruh, terutama buruh perempuan, yang dilarang oleh suami mereka untuk bergabung dengan serikat. Hal ini bisa disebabkan oleh ketidakpahaman tentang serikat, tuntutan untuk menyelesaikan pekerjaan domestik, atau rasa cemburu dari pasangan buruh perempuan terhadap anggota serikat dengan jenis kelamin karena intensitas pertemuan yang rutin..

Secara garis besar, ada dua hambatan yang membuat keluarga tidak mendukung anggota keluarganya berserikat. Pertama, belum paham apa itu fungsi serikat. Kedua, beban pekerjaan domestik yang dianggap tidak terselesaikan karena pasangan/anggota keluarga sibuk berserikat. Ketiga, rasa cemburu berlebih dari laki-laki yang membuatnya merasa memiliki power lebih jika bisa mengontrol aktivitas perempuan.

Dua hal tersebut merupakan masalah yang timbul dari dua hal struktural yang memiliki sejarah panjang. Pertama, depolitisasi sejak orde baru yang membuat orang tak paham bahwa organisasi bisa memiliki agenda politik untuk memperbaiki kesejahteraan anggotanya dan masyarakat luas. Kedua, budaya patriarki yang membuat laki-laki memiliki kekuatan besar untuk mendisiplinkan kehidupan pasangan seturut dengan kepentingannya semata.

Hambatan ini adalah masalah konkret yang juga harus menjadi agenda pengorganisasian di serikat, terutama di tengah keluhan sulitnya mengorganisir pekerja muda. Oleh karena itu, pengorganisasian keluarga memiliki peran penting dalam proses ini, karena mempengaruhi keterlibatan pekerja dalam serikat. .

Langkah awal dapat dimulai dengan mengajak anggota keluarga yang kerap melarang pasangan atau anaknya terlibat dalam serikat untuk menikmati secangkir kopi bersama di sekretariat serikat buruh. Alternatif lain, mengunjungi rumah-rumah anggota serikat atau pekerja yang partisipasinya dihalangi oleh keluarganya sendiri.

Di ruang yang hangat tersebut, tim yang bertugas dapat a berdialog secara empatik, menyampaikan esensi dan pentingnya serikat dalam kehidupan pekerja. Sebelum melakukan ini, alangkah baiknya melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan anggota serikat yang yang mengalami hambatan dari keluarganya, karena merekalah yang paling mengerti cara menghadapi situasi tersebut.

Di tengah perubahan zona di beberapa daerah dari agraris menjadi industri, dimana pabrik-pabrik baru berdiri, ritual-ritual keluarga buruh menjadi momen penting dalam komunitas keluarga buruh. Dalam komunitas yang masih kental dengan tradisi dan ritual seperti aqiqahan, selamatan kelahiran, pembaptisan, syukuran panen atau renovasi rumah, hingga kunjungan pada orang sakit, serikat buruh dapat memainkan peran untuk melakukan intervensi. Momen dalam ritual tersebut bisa diintervensi oleh serikat.

Saat hadir dalam acara-acara tersebut, serikat dapat memberikan bingkisan kecil sebagai simbol kepedulian, yang membuat keluarga merasa terikat secara emosional dengan serikat. Seorang anggota serikat yang saya temui menyampaikan bahwa kehadiran serikat dalam acara-acara keluarga memberikannya rasa diperhatikan, menjadikan keanggotaan di serikat bukan hanya tugas, melainkan suatu kegiatan yang membangkitkan keguyuban dalam bayangan komunal.

Pentingnya Pendidikan dalam Serikat

Langkah-langkah yang telah disebut tidak mengurangi esensi pentingnya pendidikan dalam serikat untuk meningkatkan kapasitas kolektif. Pendidikan mengenai dinamika perburuhan dan, bila memungkinkan, kewarganegaraan, menjadi hal yang krusial.

Pendidikan menjadi langkah vital dalam pengorganisiran buruh muda, terutama bagi mereka yang lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau universitas namun tumbuh dalam kultur yang “apolitis”. Banyak di antara mereka tidak memahami hak-hak mereka dalam dunia kerja. Mereka dibesarkan dengan pemahaman bahwa mendapatkan pekerjaan saja sudah cukup, atau dengan ungkapan “asal dapat kerja saja sudah senang”.

Pandangan ini valid, namun hanya mencerminkan separuh dari realitas. Menyiratkan bahwa opsi untuk mendapatkan kehidupan yang layak terbatas, sehingga mereka harus menerima kerentanan yang dihadapi. Kegagalan dalam industrialisasi dan reforma agraria yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah justru membatasi kesempatan kerja di Indonesia di saat populasi terus bertambang.
Diperlukan suatu model pendidikan yang membangkitkan kesadaran para pekerja mengenai hak-hak dan kerentanan mereka sebagai buruh. Mengingat para buruh tidak tumbuh dalam ruang kosong dan selalu berada dalam konteks sejarah, sosial, budaya dan ekonomi tertentu, maka konten pendidikan yang menyentuh aspek-aspek tersebut pun vital.
Dengan memahami konteks sosial, ekonomi, dan budaya, kawan-kawan serikat dapat mengidentifikasi langkah-langkah konkret yang relevan dan terukur untuk perjuangan mereka . Jika serikat buruh merasa kesulitan melakukan sendiri, mereka dapat berkolaborasi dengan jaringan LSM, mahasiswa, aktivis, atau peneliti yang peduli pada isu ini. Dengan demikian, interaksi antar gerakan sosial bisa terbangun dan terjalin, yang jika dikelola dengan baik dapat memperluas dan memperkuat gerakan buruh

Memperkuat Kapasitas Pendidikan & Perluasan Isu Kesejahteraan Warga Negara

Model pendidikan yang relevan adalah gabungan antara aspirasi, kemunculan kesadaran, dan pengalaman. Pendidikan harus satu tarikan nafas dengan advokasi dan agenda yang ditawarkan oleh serikat. Pendidikan yang ideal mencakup pengalaman hidup yang nyata dan pengetahuan yang mendalam.

Misalnya, teman-teman buruh dapat diminta untuk berbagi kisah mereka sebagai buruh dengan ragam identitas masing-masing. Pengalaman ini dapat disebarluaskan melalui ragam bentuk medium seperti buku atau film yang bisa diakses melalui jaringan gerakan rakyat di wilayah setempat.
Pendidikan kewarganegaraan bisa dimulai dengan berbagi i pengalaman yang tidak mengenakan, seperti kesulitan mengendarai kendaraan di jalan yang rusak. Pengalaman ini kemudian dikaitkan dengan advokasi advokasi untuk pemenuhan hak-hak warga negara oleh pemerintah, termasuk pembangunan jalan yang berkualitas dan aman..

Advokasi juga bisa dilakukan untuk menggalang dukungan terhadap BPJS Kesehatan PBI bagi keluarga serikat atau kenalan yang tidak bekerja di pabrik. Dengan demikian, efek advokasi dapat dirasakan manfaatnya oleh semua orang, bukan hanya anggota serikat. Kita bisa mengangkat masalah nyata menjadi perjuangan abstrak: keadilan sosial dan pemenuhan hak-hak warga negara.
Cerita-cerita tersebut bisa disebarkan melalui media sosial ataupun media massa yang pro buruh dengan framing yang positif. Dengan cara ini, citra buruh di mata masyarakat non-serikat menjadi positif, dan proses pengorganisasian pun berjalan lancar karena masyarakat juga merasakan efek positif dari kehadiran serikat.

Anggota Malas Ikut Pendidikan: Perkara Pendekatan dan Waktu

Dalam sebuah percakapan di tengah makan siang pada sebuah warung di dekat pabrik, seorang pengurus serikat buruh di Jawa Tengah mengeluh , “Udah diajak pendidikan, tapi susah, pada males.”

Keluhan ini valid. Jam kerja panjang membuat buruh yang sudah berkeluarga lebih memilih pulang ke rumah menemui anaknya. Sementara buruh muda yang belum menikah lebih memilih nongkrong santai di warung kopi.

Tak heran, bila biasanya di awal proses yang berjalannya pendidikan hanya diikuti oleh sedikit anggota. Kawan-kawan buruh muda bercerita, mereka enggan ikut sesi pendidikan karena dianggap sebagai kegiatan yang terlampau serius.

Namun, dari hasil obrolan dari berbagai serikat buruh di sekretariat atau pun melalui telepon, jika pendidikan dilakukan dengan konsisten dan ada kepastian pengalaman serta aspirasi semua orang didengar, maka semakin lama jumlah peserta akan bertambah. Di samping itu, agenda pendidikan juga bisa berjalan rutin jika ada tim penanggung jawab acara yang bersedia menjalankan tugasnya.

Orang-orang yang semula datang ke serikat hanya untuk menekuni hobinya, seperti bermain game, pada akhirnya bisa berminat ikut berdiskusi. Tentu, serikat harus tetap memperhatikan advokasi hak-hak normatif yang terjadi di pabrik agar kepercayaan dari anggota tetap terjaga.

Logika Tim Kerja: Efektif, Efisien, dan Menghadirkan Rasa Aman

Langkah-langkah ini tentu tak mudah dilakukan karena membutuhkan energi, waktu, dan logistik yang mencukupi. Oleh sebab itu, tim kerja yang efektif dan efisien dalam tiap model pendekatan dibutuhkan. Dengan tim kerja yang efisien dan efektif kegiatan ini bisa berkelanjutan tanpa mengandalkan satu dua sosok di dalam serikat.

Kawan-kawan serikat buruh juga harus memastikan bahwa orang yang tergabung dalam tim kerja serikat buruh terutama tim pengorganisasian merasa aman dari ancaman pemutusan hubungan kerja atau memiliki jaring pengaman sosial,terutama bagi mereka yang berperan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Langkah ini penting agar tim kerja pengorganisasiaan di serikat buruh merasa aman dalam menjalankan tugasnya.
Proses ini tentu tidak bisa instan. i Ada proses pembelajaran yang harus dilalui. Dibutuhkan kerendahan hati dan sikap demokratis untuk terus belajar serta mendengar sebagai kawan.

Penulis

Tags

Bagikan artikel ini melalui:

Dapatkan Informasi Terbaru Seputar Isu Perburuhan!