Pandemi Covid-19 di awal tahun 2020 di dunia mulai menggucang perkonomian global, termasuk Indonesia. Di Indonesia, industri manufaktur merupakan sektor andalan dalam menyumbang nilai ekspor dan berkontribusi terhadap PDB. Pada 2018 nilai ekspor industri pengolahan sebesar USD125 miliar. Angka tersebut memberikan kontribusi tertinggi hingga 76% dan total nilai ekspor Indonesia yang mencapai USD168.73 miliar. Salah satu sektor industri manufaktur yang memiliki kontribusi signifikan terhadap besaran pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sektor industri tekstil dan pakaian jadi, mencatat pertumbuhan tertinggi pada kuartal IV/2017, sebesar 6,39%[1]. Bahkan industri ini merupakan kontributor terbesar kelima untuk ekspor manufaktur di sektor non-migas dalam kurun waktu 2014 hingga 2017, tumbuh rata-rata 1,1% selama periode itu.[2]
Industri manufaktur memberikan kontribusi penting dalam penciptaan dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pada 2018 tenaga kerja di industri manufaktur tercatat sebanyak 18,25 juta orang. Dari tahun 2015 ke 2018, terjadi kenaikan 17,4 persen. Enam besar sektor industri manufaktur yang menyerap tenaga kerja banyak, yakni industri makanan dengan kontribusi hingga 26,67 persen, disusul industri pakaian jadi (13,69%), industri kayu, barang dari kayu dan gabus (9,93%). Selanjutnya, industri tekstil (7,46%), industri barang galian bukan logam (5,72%), serta industri furnitur (4,51%).[3]
Dalam situasi penyebaran Pandemi Covid-19 yang semakin meluas, salah satu sektor formal yang paling terancam ialah sektor industri padat karya seperti tekstil dan pakaian jadi. Sebab pertama, industri tekstil dan pakaian jadi mayoritas berpusat di pulau Jawa yang mana penyebaran Covid-19 masif terjadi. Berdasarkan data tahun 2016, sebanyak 85% industri tekstil, berlokasi di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan DKI Jakarta[4]. Kedua, proses produksinya sangat tergantung pada pesanan brand—di negara-negara maju.
Dalam konteks rantai pasok global, industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia yang berperan sebagai pemasok (supplier), sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi ekonomi di AS dan Eropa, merupakan negara asal dari para pembeli (buyer/brand Internasional) dan tujuan utama pasar untuk produksinya. Sebagaimana diketahui bahwa AS dan beberapa negara di Eropa termasuk dalam 5 besar Negara dengan kasus Pandemi Covid-19 terbanyak di dunia.[5] Situasi ini tentu memberikan hantaman keras terhadap kinerja pasar khususnya industri fashion di AS dan Eropa. Praktis tidak ada konsumen yang membeli barang produk fashion seperti pakaian dan sepatu ditengah situasi saat ini, dan banyak gerai (outlet) penjualan barang tutup.
Kondisi tersebut otomatis memberikan dampak langsung terhadap jumlah pesanan yang diterima oleh berbagai perusahaan pemasok (supplier) di Indonesia, dan tentu mempengaruhi kinerja ekspor industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan keterangan Rizal, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), banyak pembeli (buyer/brand) yang kini mengurangi dan bahkan membatalkan pesanan produk sehingga berdampak pada menurunnya produksi industri tekstil dan pakaian jadi di Indonesia. Akibatnya banyak perusahaan supplier di Indonesia kini mengalami permasalahan arus keuangan. Situasi ini tentu mengancam keberlanjutan kerja para pekerja yang bekerja di industri tersebut.
Berdasarkan data per 5 April 2020, di DKI Jakarta sebanyak 132.279 dari 14.697 perusahaan pekerja diliburkan/dirumahkan tanpa upah dan 30.137 pekerja dari 3.348 Perusahaan mengalami PHK. Di Provinsi Jawa Barat sebanyak 132.279 dari 1.384 perusahaan pekerja diliburkan/dirumahkan tanpa upah dan sebanyak 5.047 pekerja dari 813 Perusahaan mengalami PHK. Di Provinsi Jawa Tengah per tanggal 6 April 2020 ada sebanyak 148.791 diliburkan tanpa upah dan 24.240 pekerja dari 191 Perusahaan alami PHK. Hingga saat ini belum ada data pasti yang dapat menggambarkan keseluruhan jumlah pekerja yang mengalam PHK atau dirumahkan per sektoral.
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Lembaga Pusat Studi dan Advokasi Ketenagakerjaan, Trade Union Rights Centre dari mitra serikat pekerja, praktik PHK, diliburkan, dirumahkan, hingga cuti tidak dibayar mulai masif terjadi di industri tekstil dan pakaian jadi. Di Kabupaten Sukabumi, salah satu wilayah sentra industri tekstil dan pakaian jadi, per tanggal 14 April 2020 tercatat sudah sebanyak 6.510 pekerja dari 9 perusahaan diliburkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja, dengan rincian 3.330 pekerja dari 3 perusahaan dirumahkan/diliburkan dan 3.180 pekerja dari 6 perusahaan di PHK.
Kerentanan Berlapis Pekerja Perempuan
Praktik merumahkan pekerja dan PHK yang masif akibat Covid-19 ini secara nyata memiliki dampak yang besar bagi pekerja perempuan. Pada tahun 2018, tercatat total jumlah pekerja di industri tekstil dan pakaian jadi mencapai 1,36 juta, 78% atau lebih dari 1 juta orang diantaranya adalah perempuan.[6] Dari seluruh kategori jenis pekerjaan di industri ini, 92,5% adalah pekerjaan-pekerjaan operasional seperti operator produksi, pekerja produksi, dan operator transportasi. Pekerja berada pada posisi pekerjaan operasional atau sebanyak 95% dari total pekerja perempuan. Sedangkan laki-laki cenderung menempati posisi manajemen senior[7].
Dalam hal status kerja, hanya 68,4% dari total pekerja perempuan di Industri tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki dengan status karyawan tetap. Sedangkan 75,5% dari total pekerja laki-laki memiliki status kerja tetap. Artinya perempuan di industri ini cenderung tidak memiliki status kerja tetap. Tingkat casualization lebih tinggi untuk pekerja perempuan (8,1 persen) daripada laki-laki (3,5 persen) pada tahun 2016[8].
Dengan komposisi jumlah kerja dan status kerja perempuan di atas maka perempuan adalah kelompok paling rentan di PHK, dirumahkan paling pertama, dan mengalami ketidakadilan ekonomi karena, 1) Perempuan mayoritas berada pada pekerjaan-pekerjaan operasional yang mana bergantung pada jumlah produksi perusahaan. Bila produksi menurun maka para pekerja inilah yang paling rentan di PHK. Terlebih pekerjaan operator tidak membutuhkan kualifikasi skill dan pendidikan tinggi. Perusahaan relatif tidak khawatir akan resiko kesulitan untuk mencari pekerja baru, jika kelak Pandemi Covid-19 sudah mereda. Demikian perusahaan relatif dapat melakukan PHK terhadap pekerja perempuan tanpa harus berpikiran panjang. 2) Pekerja perempuan banyak yang berstatus kontrak di industri tekstil dan pakaian jadi, sehingga perusahaan akan dengan mudah melakukan PHK dan cuti tidak berbayar tanpa memberikan jaminan sosial atau kompensasi apapun seenaknya pada mereka.
Lebih jauh, faktor kultural juga membuat kerentanan pekerja perempuan akan berlipat ganda. Di masyarakat patriarkal, ada anggapan bahwa perempuan bukanlah pencari nafkah utama di keluarga sehingga sebuah pekerjaan di sektor publik bagi perempuan bukanlah hal yang utama. Anggapan seperti ini, membuat pekerja perempuan cenderung akan di PHK lebih dahulu daripada pekerja laki-laki. Padahal banyak kasus menunjukkan bahwa pekerja perempuan yang bekerja di sektor tekstil dan pakaian jadi adalah para perempuan yang berada pada kelas ekonomi rendah—artinya kebutuhan sehari-hari/keluarga mereka tidak cukup dipenuhi bila hanya satu orang (laki-laki) yang bekerja. Banyak kasus juga menunjukkan bahwa perempuan justru adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Pada keluarga-keluarga miskin, motivasi perempuan bekerja yang paling kuat adalah faktor ekonomi, bukan untuk mengisi waktu luang atau aktualisasi diri. Maka pekerjaan yang berupah bagi perempuan di kelas sosial ini sangatlah penting dan signifikan bagi ketahanan keluarga.
Tanggung Jawab Renteng antara Supplier, Pemerintah, dan Pemegang Merek (Brand)
Ditengah Pandemi, pekerja di industri tekstil dan pakaian jadi, terus dihinggapi oleh berbagai perasaan khawatir dan takut yang kerap kali muncul menyelimuti pikiran. Setidaknya kekhawatiran yang ada di depan mata yakni resiko terinfeksi Covid-19, seiring dengan perusahaan yang masih berproduksi meski kebijakan social distancing dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sudah diterapkan di beberapa wilayah. Kedua, ketidakpastian pekerjaan. Meski masih bekerja, tidak ada jaminan mereka akan terus dipekerjakan. Semua bergantung pada daya tahan perusahaan ditengah Pandemi. Ketiga, sudah pasti hilangnya pendapatan.
Kurangnya permintaan dari pembeli konsumen telah menyebabkan lebih banyak ketidakpastian dalam rantai pasok global di industri ini. Meskipun beberapa pembeli (buyer/brand) internasional telah berkomitmen untuk membayar pesanan yang telah diproduksi atau sedang diproduksi, namun beberapa merek lainnya telah membatalkan pesanan tanpa ada jaminan pembayaran yang telah membebani pemasok secara tidak proporsional. Bahkan, beberapa merek telah mengajukan klausul Force Majeure, padahal di dalam kontrak tidak menetapkan pandemi sebagai alasan untuk dapat melakukan gagal bayar.[9] Hal ini tentu dapat berpotensi merugikan pemasok.
Laporan baru-baru ini dari negara tetangga yang juga sebagai pemasok atau produsen dalam rantai pasok global di industri tekstil dan pakaian jadi, seperti India, Bangladesh dan Sri Lanka mengungkapkan bahwa pemegang merek menuntut diskon hingga 30% dari pemasok. Hal yang tidak masuk akal karena keuntungan yang selama ini telah mereka dapatkan ketika situasi normal dan penjualan tinggi, tidak pernah benar-benar dibagi secara proporsional kepada pemasok atau pekerja di negara-negara produksi.[10]
Selain itu, faktor penjualan seharusnya tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menegosiasikan kembali harga barang yang akan dikirim saat ini atau dalam waktu dekat. Mengingat, tidak ada kepastian kapan permintaan konsumen dan penjualan dapat kembali meningkat pasca pandemi. Ketidakpastian ini tentu secara signifikan mempengaruhi keuangan perusahaan skala kecil dan menengah yang beroperasi dengan margin keuntungan-tipis dengan modal kerja rendah. Akhirnya menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan mereka untuk dapat bertahan dalam jangka pendek hingga menengah.
Beberapa perusahaan pemasok asal Indonesia (supplier) sebagaimana disampaikan oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), telah berupaya bernegosiasi dan mendesak merek dan pengecer (retailer) untuk menghormati kontrak pembelian serta kewajiban untuk membayar barang yang sudah diproduksi atau sedang dalam produksi. Hal ini penting agar perusahaan pemasok tetap dapat menjaga arus kas keuangan dan membayar kewajibannya, khususnya kepada para pekerja. Jika tidak, maka kebijakan untuk merumahkan dan PHK adalah opsi yang mau tidak mau harus diambil oleh perusahaan pemasok.
API menuntut pemerintah untuk merancang paket khusus termasuk dukungan finansial untuk mengatasi kesengsaraan yang harus dihadapi industri, diantaranya pemotongan pajak PPh Badan (perpajakan), keringanan pembayaran cicilan kredit perbankan, insentif tarif listrik untuk industri, hingga penundaan kewajiban pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja.[11]
Pemerintah telah berupaya turun tangan, berbagai paket kebijakan insentif ekonomi telah diumumkan baik untuk pelaku usaha maupun pekerja. Salah satunya kartu pra kerja. Sayangnya kartu pra kerja belum menjawab seutuhnya kebutuhan pekerja saat ini. Ditengah pendapatan yang hilang, prioritas utama yang dicari oleh pekerja adalah pendapatan alternatif, alih-alih mengikuti berbagai pelatihan. Insentif dalam bentuk uang sebesar Rp 600.000/bulan tentu dirasa kecil dan tidak sebanding dengan pendapatan sebelumnya guna memenuhi kebutuhan keluarga. Maka, pemerintah baiknya mempertimbangkan untuk melakukan re-alokasi anggaran biaya pelatihan 5,6T untuk kartu pra kerja. Sebagian besar anggaran lebih baik dipergunakan untuk meningkatkan insentif dalam bentuk uang tunai. Terlebih saat ini, akan segera memasuki masa bulan suci Ramadhan, dimana kebutuhan bahan pokok pada umumnya akan mengalami kenaikan harga. Pekerja lebih membutuhkan uang tunai saat ini dibandingkan dengan pelatihan.
Pada industri tekstil dan pakaian jadi, pertanggung jawaban untuk melindungi pekerja dapat dilakukan secara tanggung renteng diantara perusahaan pemasok, pemerintah, dan pemegang merek (brand). Perlindungan dapat dilakukan dengan pembagian kontribusi dalam hal pengupahan. Beberapa kesempatan pelaku usaha mulai menyuarakan untuk boleh membayar upah dibawah upah minimum saat ini. Hal ini tentu akan mengundang reaksi penolakan dari serikat pekerja. Maka dari itu, dapat dipertimbangkan agar kewajiban pembayaran upah pekerja dari perusahaan pemasok bisa di subsidi oleh pemerintah dan pemegang merek. Setidaknya dengan menggunakan acuan upah minimum. Sebagai contoh, perusahaan pemasok menanggung upah pekerja sebesar 50%, pemerintah memberikan subsidi sebesar 20%, dan selanjutnya pemegang merek berkontribusi sebesar 30%. Untuk mewujudkan hal ini, tentu Pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap perusahaan pemasok melalui Asosiasi dalam bernegosiasi dengan pemegang merek.
Hal lainnya yang dapat dilakukan adalah memberikan subsidi pembayaran premi jaminan sosial untuk 4 program BPJS Ketenagakerjaan yakni jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan pensiun. Pemerintah dapat menggunakan dana hasil keuntungan dari pengelolaan investasi BPJS Ketenagakerjaan yang bersumber dari program jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Memberikan subsidi kepada perusahaan dengan cara membebaskan biaya iuran dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Jika hal ini, dapat dilakukan tentu akan meringankan beban pelaku usaha dan menyelamatkan hidup jutaan pekerja di industri ini. Yang artinya juga, menyelamatkan hidup pekerja perempuan.
[1] https://kemenperin.go.id/artikel/18780/Industri-Pengolahan-Nonmigas-Tumbuh
[2] Fair Wear Foundation, Indonesia Country Study, 2018.
[3] https://topcareer.id/read/2019/10/27/11407/industri-tekstil-serap-tenaga-kerja-terbanyak-nomor-dua/
[4] https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_625194.pdf
[5] https://www.worldometers.info/coronavirus/
[6] Lina Stotz, Facts on Indonesia Garment Industry, Clean Clothes Campaign.
[7] https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_625194.pdf
[8] https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_625194.pdf
[9] https://www.workersrights.org/wp-content/uploads/2020/03/Abandoned-Penn-State- WRC-Report-March-27-2020-1.pdf
[10] Asia Floor Wage Report, The Emperor Has No Clothes, Garment Supply Chain Ditengah Pandemi.
[11] https://www.beritasatu.com/ekonomi/621557-relaksasi-industri-tpt-temui-jalan-buntu