Setelah webinar pertama selesai terselenggara, webinar kedua pun kembali digelar pada Sabtu (27/6/2020). Pada sesi kedua ini, membahas tentang kondisi pekerja perempuan dan pelaku UMKM dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Kegiatan ini didukung penuh oleh Program MAMPU, Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Pada sesi ini, ada beberapa mitra Program MAMPU yang turut serta mendukung keberlangsungan webinar tersebut, diantaranya Trade Union Right Centre (TURC) Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia, Migrant Care, Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), dan Komnas Perempuan.
Editor In Chief ASUMSI.CO, Lisa Siregar, pada sesi webinar kali ini masih dipercaya untuk memandu jalannya diskusi. Lisa membuka diskusi dengan penjelasan singkatnya mengenai alasan pelaksanaan webinar ini. Dalam sambutannya tersebut, ia menjelaskan bahwa Presiden Jokowi menerapkan omnibus law guna melancarkan iklim investasi di Indonesia. Namun, jika dicermati ada banyak pasal-pasal yang perlu menjadi pertimbangan. Oleh karena itu, webinar ini diadakan dengan tujuan antara lain menganalisis pengaruh RUU Cipta Kerja terhadap pekerja perempuan, pekerja rumahan, dan advokasi perlindungan pekerja informal di daerah.
Direktur Eksekutif Yasanti, Amin Muftiyanah menjadi pemateri pertama. Amin menyebut bahwa ada beberapa tantangan perempuan pekerja rumahan UMKM dampingan Yasanti saat ini di Yogyakarta dan jawa Tengah. Untuk itu, maka Yasanti membuat pengorganisasian sistem advokasi guna menguatkan pekerja informal. Harapannya, ketika mereka bergabung dengan serikat, perempuan pekerja informal tersebut bisa terdaftar di dinas tenaga kerja, dan berjejaring. Mereka dapat terlibat dalam kerja peningkatan kapasitas.
“Pekerja memiliki wadah untuk menyalurkan aspirasi dan haknya terkait pekerjaan mereka, hingga akhirnya bisa mendorong Peraturan Gubernur dan Peraturan Daerah.” kata Amin
Amin menambahkan, UMKM sebagai pekerja rumahan memiliki potensi untuk berkembang. Namun, mereka memiliki kendala akses informasi terkait program dan fasilitas dari pemerintah. Pekerja rumahan merasa kesulitan terlibat karena ketidaktahuan akan adanya program ini dan bagaimana cara mengaksesnya. Tantangan lainnya bagi pekerja rumahan adalah kurangnya rasa percaya diri dalam membuka ataupun mengembangkan bisnis dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan keahlian dalam berbisnis. Selain itu, akses permodalan juga menjadi tantangan bagi pekerja rumahan.
Dalam perkembangannya, kini pekerja informal perempuan di Yogyakarta dan Jawa Tengah dibawah bimbingan Yasanti sudah mendapat perizinan dan mereka selalu berinovasi dalam menciptakan produk-produk. Perempuan pekerja rumahan dibawah bimbingan Yasanti kini dapat mengorganisir diri, membangun pemahaman bersama terkait dengan usaha yang akan dilakukan, penguatan kapasitas untuk peningkatan keahlian dan pemahaman, mengembangkan potensi lokal yang ada, melakukan lobby/dialog dengan pengambil kebijakan, dan membangun jaringan.
“Dukungan finansial maupun non finansial dari segala sumber akan sangat membantu pekerja rumahan di Yogyakarta dan Jawa Tengah ini untuk berkembang,” tutup Amin.
Apa yang dialami oleh BITRA Indonesia tak jauh berbeda dengan Yasanti. BITRA Indonesia kini mendampingi 1,500 pekerja rumahan di 4 kabupaten/kota. Para pekerja ini memiliki masalah utama seperti upah rendah, tidak ada jaminan kesehatan, tempat kerja tidak layak, dll. BITRA bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Peduli Pekerja Rumahan, seperti Organisasi Masyarakat Sipil, pekerja rumahan, dan aliansi buruh mendorong terbentuknya Rancangan Peraturan Daerah ketenagakerjaan 2016 yang terdiri dari 10 pasal, yakni Pasal 31-40 tentang perlindungan pekerja rumahan. Namun sayangnya, fasilitasi Kemendagri malah menghasilkan penghapusan pasal-pasal tersebut dikarenakan dapat mengganggu investasi. Adanya pergantian DPRD mendorong BITRA untuk mengirimkan surat keberatan atas hasil fasilitasi tersebut kepada DPRD Provinsi Sumatera Utara (Komisi E), melalui Kabiro Hukum pada 17 Juni 2020.
Direktur BITRA Indonesia, Rusdiana Adi menyampaikan hasil analisis yang telah BITRA Indonesia lakukan terhadap RUU Cipta Kerja, bahwasanya RUU Cipta Kerja lebih fokus pada tujuan peningkatan ekonomi namun abai terhadap peningkatan kompetensi sumber daya manusia. Menurutnya RUU ini banyak mengatur tentang efisiensi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, namun tidak dibarengi dengan pelatihan kerja atau peningkatan kapasitas. Banyak ketentuan yang perlu diterjemahkan dan diatur lebih lanjut, seperti 17 pasal dalam Bab Ketenagakerjaan yang perlu diatur dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah.
“Adanya penghapusan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan menyerahkan kesepakatan kepada para pihak, ini mengkondisikan peran pemerintah menjadi lemah dan tidak bisa mengintervensi.” kata Rusdiana.
Rusdiana menambahkan, jika nanti akan ada perubahan ketentuan upah minimum yang ditentukan oleh Gubernur berdasarkan upah minimum provinsi (UMP). Sehingga upah minimum kota/kabupaten (UMK) tidak berlaku. Hal ini menurutnya akan mengarah juga kepada istilah “No work, no pay”yang tertulis pada pasal 93 (2) UU Ketenagakerjaan. Padahal dalam pasal ini juga menyebutkan jika “pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan.” Terakhir, perubahan konsep Pemutusan Hak Kerja (PHK).
BITRA Indonesia berupaya menciptakan UMKM yang mandiri, dengan membangun kelompok simpan pinjam dalam bentuk Credit Union (CU) yang memiliki konsep dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Saat ini, anggota CU ini berjumlah 300 orang yang berasal dari 30 kelompok di 4 wilayah. Total simpanan/saham yang mereka miliki berjumlah Rp250,000,000,- yang dimanfaatkan untuk usaha dan kebutuhan produktif lainnya.
Menyambung pembahasan dari Bitra Indonesia tentang RUU Cipta Kerja, peneliti TURC Andi Misbahul Pratiwi membahas tentang apakah RUU Cipta Kerja telah mengakomodasi pekerja informal-UMKM. TURC sudah membantu pekerja rumahan di Sukabumi untuk memiliki BPJS Ketenagakerjaan yang berguna sebagai proteksi bagi pekerja informal, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Permasalahan muncul ketika para pekerja ini harus membayar premi BPJS Ketenagakerjaan, sementara penghasilan mereka sendiri kecil dan tidak menentu, sehingga pembayaran asuransi ini sangat memberatkan bagi pekerja.
Apa yang bisa dilakukan oleh TURC adalah mendorong adanya hubungan kerja yang jelas agar pemberi kerja memberikan jaminan sosial kepada pekerja, sehingga pekerja tidak perlu membayar sendiri asuransi kerjanya. Andi juga menyebut bahwa ada catatan kritis terkait RUU Cipta Kerja ini. Kaitannya dengan sektor informal, TURC kini menyoroti bagaimana pengakuan pekerja sektor informal sebagai pekerja? Bagaimana dengan kelayakan upah mereka dan akses terhadap K3? Apakah mereka juga mendapatkan jaminan sosial? Dan bagaimana mekanisme jaminan kehilangan pekerjaan bagi mereka?
Menurut Andi, sektor informal ini adalah sektor abu-abu karena sebagian besar pekerja tidak memiliki kontrak kerja tidak tertulis, pekerjaan tidak tetap atau berpindah-pindah. Upah yang mereka terima juga tidak layak dan rawan kehilangan pekerjaan. Kedudukan mereka sendiri sebagai pekerja belum diakui. Terlebih lagi pengawasan ketenagakerjaan di sektor informal lemah dan tidak adanya sanksi bagi pemberi kerja yang melakukan eksploitasi kerja, kekerasan, dan pelanggaran.
Pada tahun 2015, International Labour Organisation (ILO) dan MAMPU melakukan survei terhadap 3,010 pekerja rumahan perempuan perempuan di 6 provinsi. Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa hampir semua pekerja rumahan perempuan tidak memiliki kontrak tertulis, tetapi 47 persen memiliki perjanjian lisan. Upah rata-rata yang diterima oleh pekerja rumahan berkisar dari Rp 377,331 hingga Rp 1,200,000 per bulan yang disurvei dengan sebagian besar memiliki upah rata-rata 40 bulanan antara Rp 377,000 dan Rp 569,000,-. Terakhir, hanya 1 dari tiap 30 pekerja rumahan memiliki akses ke program-program perlindungan sosial ketenagakerjaan.
Satyawanti menjelaskan dampak RUU Cipta Kerja terhadap pekerja perempuan dan UMKM, yaitu menurunnya standar perlindungan, lemahnya perlindungan hak maternitas, situasi pekerja yang rentan, dan terbatasnya kesempatan berorganisasi dan berserikat. Komnas Perempuan dalam hal ini melihat dari dua sisi, konstitusi dan hak asasi manusia (HAM). Yang paling dasar, komnas perempuan melihat pada hak normatif terlebih dahulu yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja dan hal ini telah diatur oleh perundang-undangan. Menurut Setyawati, jika mengacu pada hak normatif maka ada hal yang diatur secara financial maupun non financial. Pun jika dibedakan lebih luas lagi, ada hal yang dibedakan menjadi hak ekonomis, medis, dan sosial. Hal inilah yang sedang coba ia telaah lebih lanjut, sebab Komnas Perempuan pun saat ini baru membahasnya.
“Sebanyak apapun konvensi yang sudah di ratifikasi, kita melihat berbagai kekurangan dalam implementasi. Komnas perempuan harus memantau dengan implementasi itu.” Kata Setyawati.
Ia menambahkan jika melihat CEDAW, negara-negara partisipan harus menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan khususnya hak bekerja. Sehingga ketika berbicara hak mendapatkan imbalan, perlindungan yang layak, dan jaminan sosial hal ini harus dilindungi penuh. Maka, jika salah satu produk hukum tidak melindungi secara penuh dan mengakomodir hak tersebut, berarti produk hukum tersebut harus dilihat dan ditinjau ulang. Kemudian, jika dilihat juga dari perspektif kesetaraan gender, hal itu juga harus dilihat pada sustainability Develeopment Goals (SDG’s). Menurutnya, pada goal ke lima, didalamnya tercantum kesetaraan gender.
“Kalau dilihat di RUU ini, ini ada potensi untuk melanggengkan posisi perempuan, dan juga mengurangi perlindungan standar kerja”. kata Setyawati.
Selain goal SDG’s nomor lima, goal delapan juga perlu dilihat dalam hal ini. Karena, tujuan perkembangannya pada ekonomi inklusif, dorongan penuh, produktif, pekerjaan yang layak bagi semua dan pembangunan berkelanjutan. Inklusif juga harus dipandang pada pekerja rentan, dalam hal ini disabilitas misalnya. Dimana hal ini masih membutuhkan pemikiran yang lebih jauh kalau Indonesia memang mau serius dalam menyelesaikan goals SDG’s delapan ini khususnya pada sektor informal.
“Ini berpotensi membuat diskriminasi juga terhadap perempuan”. ujarnya.
Tak hanya yang ia jabarkan diatas, ia juga menjelaskan dampak-dampak lain yang kemungkinan muncul dari RUU Cipta Kerja terhadap perempuan pekerja. Diantaranya adalah standar perlindungan yang menurun, melemahnya perlindungan hak maternitas, kerentanan pekerja sektor informal dan UMKM, serta kesempatan berorganisasi dan berserikat. Menurutnya hal-hal ini tidak bisa dianggap persoalan yang enteng.
Dalam melemahnya perlindungan hak maternitas misalnya, penetapan upah per jam juga mengancam. Karena perempuan bisa saja kehilangan haknya untuk mengajukan cuti, hingga akhirnya cutinya tidak dibayar. Padahal menurutnya, jika dilihat pada realitas saat ini komnas juga banyak menerima aduan dari pekerja perempuan. Ia mengadu didampingi serikat pekerja jika dalam pengajuan cuti melahirkan mereka tidak diberikan, justru mereka mendapat ancaman untuk di PHK. Padahal, ini sudah ada didalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya. Kemudian, ada aduan juga kalau ia diberi cuti, maka perusahaan tidak membayar cutinya.
“Tugas dari perempuan juga kan menciptakan generasi yang akan datang, sehingga ketersediaan tenaga kerja ini juga bergantung pada perempuan. Jika perempuan dalam menjalani masa reproduksinya itu mengalami hal yang demikian, maka hal ini yang harus menjadi catatan.” Kata Setyawati.
Dalam UU Ketenagakerjaan dijelaskan, jika upah adalah bentuk kesepakatan dari pemberi kerja dan pekerja. Maka, jika dilihat apakah kerentanan pekerja sektor informal dan UMKM I nantinya di RUU Cipta Kerja, ini memang akan berpotensi jika upah tidak akan berpegang pada kebutuhan hidup layak manusia. Hasil riset komnas perempuan menunjukan, bahwa yang paling terdampak adalah perempuan pekerja pada rentan usia 30-45 tahun dan dia pekerja informal, penghasilannya dibawah Rp 2 juta per bulan. Kalau dilihat saat ini, ada ralitas yang mengharuskan perempuan bekerja atau bahkan menjadi pencari nafkah utama karena berbagai hal.
Kekhawatiran akan terbatasnya berorganisasi dan berserikat muncul, karena jika dilihat dari satuan waktu dan hasil yang isinya kontrak dan sebagainya. Maka, para perempuan pekerja merasa bahwa waktunya akan habis, jika secara ekonomi tidak memenuhi maka akan sibuk mencar tambahan sehingga kesempatan untuk berserikat dan berorganisasi menjadi terbatas. Padahal, pemerintah juga menganjurkan para pekerja untuk berserikat dan berorganisasi.
Komnas perempuan melihat, jika secara garis besar perempuan dan UMKM, maka hasil pengamatannya pada data yang dirilis oleh Sakernas BPS menunjukan dari 133,56 juta orang penduduk yang bekerja, jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja laki-laki sebanyak 83,13 persen. Sementara angkatan kerja perempuan mencapai 41,89 persen. Lebih dari separuh angkatan atau 70,49 juta atau 55,72 persen bekerja pada sektor informal dimana ada 61 persen diantaranya adalah pekerja perempuan. kerentanan pekerja juga terlihat dalam pengupahan untuk pekerja karya dan UMKM yang diatur diluar standar upah minimum. Namun, berdasarkan pada kesempatan kerja para pihak atau pemberi kerja dan pekerja. Selain itu, juga ada kasus menunjukan bahwa pada usaha mikro. Di antaranya adalah penggunaan rumah sebagai tempat produksi, dan rentan pekerja anak. Belum terpenuhinya kesehatan dan keselamatan kerja (K3) juga menjadi persoalan tambahan, dilihat dalam situasi terkini dalam perspektif new normal. (Siti Mahdaria)