Sejak tahun 1996, sedikitnya ada sembilan kasus kematian jurnalis di Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat enam diantaranya tidak terungkap. Diantaranya adalah kasus Fuad Muhammad Syafruddin wartawan Harian Bernas pada Agustus 1996, Naimullah Jamaludin RCTI 2003, Ersa Siregar RCTI 2003, Muhammad Jamaludin RCTI 2003, Herliyanto Tabloid Delta Pos Sidoarjo 2006, dan Alfred Mirulewan Tabloid Pelangi 2010.
Kasus demi kasus menimpa jurnalis, hingga beberapa diantaranya gugur dalam menyuarakan kebenaran untuk publik. Kasus kekerasan terhadap jurnalis bukannya berhenti namun meningkat pada tahun 2019 ini, meski tidak menyebabkan kematian. Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) pada tahun 2019 ini setidaknya ada 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis saat meliput sejumlah peristiwa terutama unjuk rasa. Baik di Ibukota maupun di berbagai daerah di Indonesia.
Kekerasan yang menimpa jurnalis dilakukan oleh berbagai pihak baik individu, organisasi sipil hingga oknum aparat kepolisian. Namun, hampir semua kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak diproses hukum. Kasus tersebut justru dibiarkan saja dan menjadi preseden buruk serta ancaman bagi pers Indonesia.
Sabtu, 2/11/2018 lalu, bertepatan dengan Hari Internasional untuk mengakhiri Impunitas atas kejahatan terhadap Jurnalis UNESCO meluncurkan Observatory of Killed Journalists. Observatory adalah database online yang menyediakan informasi tentang status penyelidikan yudisial terhadap setiap pembunuhan seorang jurnalis atau pekerja media yang dicatat oleh UNESCO sejak 1993.
Sedikitnya ada 1.293 pembunuhan sejak tahun 1993. Kemudian, setelah setahun berlalu, tahun ini sudah tercatat sebanyak 1.360 kasus pembunuhan jurnalis. Dimana sedikitnya ada 43 jurnalis yang terbunuh di tahun ini. Catatan itu berdasarkan informasi yang diberikan oleh negara tempat pembunuhan itu terjadi.
Data ini tentu saja mengingatkan kita bahwa semakin hari, dunia menjadi semakin berbahaya bagi jurnalis. Selain UNESCO melalui Observatory, Committee to Protect Journalists (CPJ) menyebutkan bahwa rata-rata 30 jurnalis di dunia terbunuh tiap tahunnya. Sembilan dari sepuluh kasus pembunuhan terhadap jurnalis tersebut berakhir tanpa ada hukuman kepada pelaku. Kekerasan, ancaman dan pelecehan terjadi pada ratusan jurnalis setiap tahunnya.
Pun intensitas kekerasan yang berbeda-beda setiap tahunnya. Bukan karena tingkat pembenci kebebasan per situ berubah, tetapi ada kemungkinan lain bahwa kekerasan ekstrim seperti pembunuhan semakin sempit. Sebab, orang main terbuka, semakin berani, dan ditambah adanya media sosial.
Untuk itu, KKJ ingin mendorong semua pihak memberi perhatian khusus terhadap kekerasan terhadap jurnalis atau pers. Selain itu, KKJ juga mendesak negara terutama aparat penegak hukum untuk mengusut kasus kekerasan yang dialami jurnalis tanpa pandang bulu siapa pelakunya. Komite ingin bahwa TNI – Polri untuk menghormati dan memahami kerja pers, sehingga kedepan tidak ada lagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan aparat.
Sebab, kasus kekerasan ini juga berkaitan dengan pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi dalam mengejar target capaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya goals 16.10.1 agar menjadi keseriusan pemerintah. Dimana pada kenyataannya, goal 16.10.1 tidak dibahas dalam mendata laporan SDGs yang disusun oleh Bappenas. Padahal data kekerasan jurnalis selalu dirilis oleh Dewan Pers maupun asosiasi jurnaslis. Salah satunya AJI.
Dukungan dunia untuk akhiri kekerasan terhadap jurnalis juga terus muncul. Salah satunya datang dari Inggris. Melalui Owen Jenkins, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste menyampaikan bahwa pihaknya mendorong pemerintah Indonesia mempertimbangkan rencana aksi nasional untuk perlindungan terhadap jurnalis Indonesia. Ia juga menyampaikan Inggris siap mendukung Indonesia dalam hal tersebut.
“Negara tak akan pernah memiliki demokrasi yang efektif tanpa adanya kebebasan media”, sebut Owen Jenskin dalam Seminar Nasional mengakhiri kasus impunitas kekerasan terhadap jurnalis di Kampus Atma Jaya Jakarta, Sabtu (2/11) lalu.
Lebih lanjut, Owen juga menyebut bahwa ada tumpeng tindih yang mencolok terhadap negara-negara dengan tingkat korupsi yang rendah dan negara-negara dengan media paling bebas. Media adalah elemen terpenting dari demokrasi yang sehat, maka jurnalis disebut juga pilar keempat dari demokrasi. Sehingga media memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyampaikan informasi, mendidik masyarakat dari berbagai fakta, menampilkan bukti, menganalisis dan evaluasi opini masyarakat dan pencari kebenaran berbasis objektivitas sebuag berita.
“Wartawan sudah banyak menghadapi banyak tekanan didalam melaksanaan tugasnya. Mereka harus bisa berpikir dan bertindak bebas tanpa merasa takut,” lanjut Owen.
Juli tahun ini kata Owen, Pemerintah Inggris dan Kanada menjadi tuan rumah penyelenggaraan konferensi global kebebasan pers untuk pertama kali di London. Dimana konferensi tersebut bertujuan untuk memobilisasi sebuah konsensus global untuk melindungi jurnalis di seluruh dunia sehingga mereka bisa menjalankan tugasnya tanpa ada rasa takut dan tekanan dari pihak manapun.
Tantangan Jurnalis Pada Era Digital: Kekerasan dan Persekusi
Jurnalis yang tidak tergabung ke dalam organisasi profesi jurnalis lebih rentan menerima kekerasan, dibandingkan dengan mereka yang tidak tergabung wadah organisasi profesi jurnalis. Hal itu terjadi karena perusahaan media dimana tempat ia bekerja justru tidak memberikan kepastian hokum terhadap keselamatan jurnalis ketika berada di lapangan. Meski, keselamatan dan mendapatkan perlindungan adalah hak, bukan sebuah kemewahan. Artinya, lingkungan dimana dia bekerja harus mendukung hal tersebut.
Namun yang terjadi saat ini, jurnalis seperti merasa tidak dijaga oleh negara maupun aktor negara. Sehingga ketika melakukan peliputan dengan isu yang sedikit berbahaya, jurnalis belum merasa aman. Penelitian yang dilakukan oleh Gilang Parahita, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada (UGM) menyebut dalam … bahwa terkadang, tidak hanya kekerasan secara fisik yang didapat oleh jurnalis ketika meliput isu yang berbahaya. Jurnalis kerap kali mendapatkan doxing bahkan pernah data-data pribadinya disebar diranah daring.
Misalnya saja pada kasus yang pernah dialami oleh Alfred Mirulewan, jurnalis Tabloid Pelangi. Ia ditemukan tewas pada 18 Desember 2010 di Kabupaten Maluku Barat Daya. Alfred yang juga seorang pemimpin redaksi Tabloid Pelangi Maluku, saat itu sedang membuat liputan investigasi secara mandiri. Ia melihat di Kepulauan Kisar setiap saat ada distribusi bahan bakar minya (BBM) yang sangat banyak ke Pulau Kisar. Namun, masyarakat harus rela menikmati jawaban bahwa BBM sedang kosong di pompa bensin, pun jika tersedia masyarakat harus membeli BBM dengan harga sangat tinggi.
Maka, Alfred terpanggil untuk mengetahui kemana larinya BBM tersebut. Ia menemukan bahwa BBM tersebut dijual ke kapal-kapal ikan atau kapal milik Timor Leste yang sedang melaut disekitar laut Kupang. Warga sekitar biasa menyebutnya dengan istilah kencing dilaut. Benar saja, semua itu ada kaitannya dengan keterlibatan anggota kepolisian. Sebagai putra daerah Kepulauan Kisar, peristiwa ini menurut Alfred hal tersebut harus dipublikasikan kerja-kerja illegal semacam ini.
Tabloid Pelangi Maluku bukanlah media besar seperti Kompas, ataupun Tempo. Ia hanyalah tabloid kecil yang terbit hanya seminggu sekali. Sehinnga tidak ada cukup anggaran untuk sebagai perlindungan khusus terhadap para jurnalisnya, pun Alfred. Hingga pada akhirnya jenazahnya ditemukan mengambang di laut, ia bisa dikenali dari kartu pers yang terselip disakunya.
Pola-pola tersebut diatas bukanlah pola tunggal dalam kekerasan yang terjadi kepada jurnalis. Ada bentuk lain yang tak kalah penting untuk diingat. Misalnya, seperti kita tahu bahwa pemblokiran akses internet hal itu juga masuk kedalam kategori kekerasan. Ketika terjadi pemblokiran, kerja-kerja jurnalis akan terhambat, tidak ada litigasi bagaimana kebebasan pers harus berjalan. Sehingga potensi kedepan, pola pemblokiran adalah pembatasan yang tidak sah. Direktur eksekutif LBH Pers menyatakan hal tersebut.
Kemudian, terkait dengan pola-pola kekerasan secara umum LBH Pers melakukan monitoring jumlah kasus paling banyak di periode Jokowi. Sebab, dalam satu tahun ini saja terjadi beberapa demonstrasi besar di bulan Mei dan September lalu dimana banyak korban yang berjatuhan dan berasal dari kalangan jurnalis. Pelakunya paling banyak adalah aparat penegak hukum. Meski, hal ini bukanlah pelaku yang baru, meski jurnalis juga telah menunjukan dirinya kepada aparat yang bertugas bahwa dirinya adalah jurnalis.
“Itu tidak dianggap, dan akhirnya terjadi perintah penghapusan, penganiayaan, dibawa ke mobil tahanan. Maka dengan ini kami menyimpulkan bahwa kekerasan itu terjadi dengan sengaja,” kata Ade.
Ade menjelaskan, bahwa hal itu bisa jadi memang aparat tidak tahu aturan, atau memang perintahnya menganjurkan seperti itu ketika terjadi hal demikian di lapangan. Hal ini yang sangat disoroti terkait perilaku aparat ketika menghadapi jurnalis di lapangan. Pun hal itu terjadi di beberapa daerah, bukan hanya di Jakarta. Misalnya di Makasar, hal itu sangat jelas terlihat bahkan ada bukti foto yang menyebut ada kekerasan terhadap jurnalis yang 21 pelakunya kini sudah dihukum etik oleh Polda Makasar. Namun proses hukum terkait adanya tindak kekerasan hingga kini masih tersendat-sendat dan tidak pernah tersiarkan.
Jika bicara tindak kekerasan terhadap jurnalis, ada dua. Pertama dari perusahaan pers dan kedua dari jurnalis itu sendiri. Konteks kepemilikan perusahaan pers yang hanya merujuk pada beberapa orang di Indonesia, bahkan dikuasai partai politik tertentu hal itu membuat pelarangan peliputan pada media tertentu. Misalnya saat elektasi politik pemilihan presiden (Pilpres), maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada). Sehingga, hal ini menjadikan publik tidak percaya kepada media. Karena, pemimpinnya mencontohkan untuk tidak mempercayai media tertentu. Maka di lapangan, media menjadi sasaran para simpatisan. Karena diangkap penyebar framing yang tak benar.
“Padahal, media adalah satu-satunya penyebar informasi yang bisa dipercaya dan dipertanggung jawabkan,” tegas Ade.
Kemudian, faktor internal dari jurnalis adalah tentang kesadaran kode etik jurnalistik dan solidaritas. Sebab, dalam aksi-aksi tertentu atau dalam peliputan hal tersebut sangat dibutuhkan. Sebab, sejauh ini ada hambatan dalam penyelesaian kasus kekerasan adalah karena kekurangan alat bukti. Solidaritas antar sesama wartawan diperlukan namun sejauh ini belum ada, misalnya ketika terjadi kekerasan terhadap salah seorang rekan maka antar sesame wartawan bisa memotretnya sebagai pembuktian nantinya di pelaporan.
Terkait dengan mitigasi sebelum turun ke lapangan, dalam beberapa kasus misalkan ketika dalam situasi chaos si jurnalis sendiri harus menyiapkan diri dengan setidaknya kacamata google atau masker untuk keamanan diri. Namun banyak jurnalis yang tidak menyiapkan itu. Akhirnya, kekerasan terjadi lagi karena memang dia tidak mengantisipasi membawa alat-alat keselamatan.
“Mitigasi ini sangat kurang, tentu saja seharusnya perusahaan persnya yang memiliki SOP terhadap keselamatan jurnalis saat meliput demonstrasi,” kata Ade.
Hambatan lainnya juga datang dari eksternal. Dalam kasus kekerasan jurnalis pada September lalu, ada enam jurnalis di Jakarta yang menjadi korban kekerasan. Empat diantaranya bersedia melaporkan ke pihak kepolisian untuk proses tindak pidana Undang-undang Pers. Namun, polisi dalam penyelesaiannya masih melempar-lempar. Di SPKT memang ada kriminal khusus, dan kriminal umum. Dalam konsultasinya, kriminal khusus dan kriminal umum saling oper. Padahal, sudah 20 tahun UU Pers berjalan namun pada pelaksanaannya masih belum optimal.
“Ini bukan kewenangan saya UU Pers, karena krimum adalah KUHP. Ketika konsultasi di krimsus, tidak ada di krimsus UU Pers. Perdebatan ini menjadi persoalan serius. Setingkat Polda Metrojaya di Jakarta bingung, ini harus di kriminal umum atau di kriminal khusus. Terlepas yang kita laporkan adalah anggota,” kata Ade.
Akibat Pekerjaan, Jurnalis Justru Menjadi Target Kekerasan Utama
Pemerintah dan tokoh-tokoh politik adalah dua penentu terbesar impunitas atas kekerasan terhadap jurnalis yang tak kunjung usai. Faktor utamanya adalah buruknya penanganan tindakan kekerasan terhadap jurnalis, baik secara pidana maupun perdata.
Bagaimanapun, jurnalis juga pekerja yang dilindungi UU profesi, keselamatannya ketika bertugas wajib ditegakkan dan mendapat keadilan. Sebab tercatat pada 10 tahun terakhir, 58 orang jurnalis dikabarkan dibantai, termasuk 32 jurnalis di Maguindanao, Filipina Selatan, yang hingga kini masih belum ada keadilan bagi korban dan keluarga mereka. Filipina juga salah satu dari lima negara yang didampingi oleh IFJ untuk fokus pada kampanye globalnya, yaitu mengakhiri impunitas.
Nonoy Espina, Ketua NUJP mengatakan bahwa, \”sementara vonis pada pembantaian Ampatauan akan sangat disambut, itu tidak akan menjamin keadilan lengkap dengan banyak tersangka yang masih hidup setelah satu dekade, dan masih sulit membuat rekor buruk yang menyedihkan dari 186 wartawan yang terbunuh di Filipina sejak 1986, yang semuanya telah dipecahkan.”
Di Indonesia sendiri, kata Abdul Manan selaku Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, “ semakin hari, apa yang dihadapi wartawan semakin brutal. Ini ironi, otoritas yang seharusnya melindungi jurnalis justru adalah pelakunya.”
Manan melanjutkan jika saat ini, jurnalis tidak bisa boleh berhenti dalam upaya meningkatkan dan mengingatkan pemerintah untuk mendorong agar menjamin keselamatan jurnalis. Manan juga menuntut pihak berwenang untuk membawa para pelaku ke pengadilan dan mengakhiri budaya impunitas. Tidak hanya kepada pemerintah Indonesia tetapi juga terhadap pemerintah di wilayah yang paling banyak ditemui kasus kekerasan terhadap jurnalis. Salah satunya adalah Filipina.
IFJ mengatakan, \”serangan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap kebebasan kita. Bersama dengan afiliasi Asia Tenggara kita, hari ini kita memanggil pihak berwenang untuk mengambil tindakan segera dan memastikan kebebasan dan keamanan jurnalis dan mengakhiri semua upaya untuk membungkam jurnalis.\” (Wean Guspa Upadhi)