Kesejahteraan Buruh Tidak Hanya Dari Upah Minimum, Pemerintah Berkewajiban Pula Meningkatkan Kesejahteraan Buruh.
Sebagai pelayan publik, dalam konteks upah minimum, dapat dikatakan pemerintah (Gubernur) hanya berperan sebagai “pengetok palu” penetapan upah, yang membayar upah tetaplah perusahaan. Kemungkinan adanya lepas tanggung jawab dapat terjadi dengan cara pemerintah menetapkan upah minimum setinggi-tingginya demi kepentingan buruh atau menetapkan upah serendah-rendahnya sesuai dengan pesanan perusahaan dengan alasan investasi atau hal lainnya.
Jika hal tersebut terjadi, maka konflik real hanya akan terus terjadi antara pengusaha dan buruh. Pemerintah yang sesungguhnya memiliki budget sosial untuk digunakan sebagai peningkat kesejahteraan buruh, tidak akan menjalankan kewajibannya.
Mungkin kita lupa, mudah-mudahan bukan karena tidak tahu, bahwa kesejahteraan buruh tidak hanya didapat dari upah minimum semata, ada banyak anasir lain sebagai peningkat kesejahteraan buruh. Diantaranya yang dapat disampaikan yakni mengenai transportasi dan perumahan. Dua komponen tersebut sesungguhnya jika dilihat dari kebutuhan hidup buruh cukup banyak pengeluaran yang dikeluarkan.
Disisi lain, pemerintah juga dapat berperan lebih untuk meminimalisir pengeluaran “boros” yang sesungguhnya tidak perlu dikeluarkan oleh perusahaan. Beberapa diantaranya yakni penghilangan pungutan liar yang sering “menjarah” pendapatan perusahaan dan memininalisirkan pengeluaran logistik perusahaan.
Menurut Sekretaris Jendral (Sekjen) Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), M Akbar Johan menuturkan, biaya pengiriman logistik Indonesia berada pada kisaran 24%-27%dari harga produk. Jumlah tersebut terbilang besar mengingat di negara ASEAN yang lain biaya logistik hanya di bawah 10%. Dari kondisi ini tentu selain membebani pengeluaran perusahaan juga menurunkan daya saing dalam berkompetisi dengan perusahaan internasional.
Tidak banyak perusahaan yang menyediakan transportasi untuk buruhnya. Masih banyak buruh yang tidak mendapatkan fasilitas transportasi dari perusahaan. Pengeluaran buruh untuk bekerja dari rumah kekantor sesungguhnya cukup besar dan akan banyak menggerus keuangan buruh dari upah yang diterima. Dari situasi demikian, sesungguhnya buruh dapat menuntut lebih peran pemerintah dalam hal ini. Pemerintah misalkan diminta tanggung jawabnya untuk menyediakan bus gratis untuk buruh.
Yang kedua, perumahan. Bagi sebagian besar buruh di Indonesia yang belum memiliki rumah sendiri, pengeluaran untuk biaya kos ataupun sewa rumah per bulan dapat mencapai 20-30 % dari upah yang diterima atau lebih. Padahal pemerintah sesungguhnya memiliki budget dan tanggung jawab untuk menyediakan perumahan murah atau bahkan gratis untuk buruh.
Pemerintah provinsi DKI, pada tahun 2013 telah berjanji untuk menyediakan unit rumah untuk buruh. Saat itu dikatakan Pemprov DKI sedang mempersiapkan 500 hunian di Rusun Marunda. Ratusan hunian itu juga khusus untuk buruh itu agar akses menuju pabrik atau industri menjadi lebih dekat.[1] Apakah ini telah ditindaklanjuti oleh buruh?[2] Nampaknya belum optimal. Padahal jika bisa dikawal oleh gerakan buruh, kemungkinan alokasinya akan lebih tepat sasaran dan banyak buruh akan terkurangi pengeluaran hidupnya. Jika peran dan tanggung jawab pemerintah dengan dua model tersebut jalan, maka pemerintah dapat peran lebih guna meningkatkan kesejahteraan buruh.
Cerita Berhasil Mengenai Kemenangan Kecil dari Sukoharjo dan Kabupaten Semarang[3]
DPC Serikat Pekerja Nasional (SPN) di Kabupaten Sukoharjo melihat bahwa fungsi pengawasan pada Dinas Tenaga Kerja menjadi salah satu pilar utama dalam penegakan hukum dalam perburuhan dan mencapai kesejahteraan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya. Seperti diketahui, pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengawasan ketenagakerjaan. Di daerah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Disnakertrans. Ada beberapa instrumen hukum yang menegaskan hal itu. Sebut saja UU 3/1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Pengawasan Perburuhan 1948, hingga UU No 21/2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan.
Pengawasan ketenagakerjaan ini berfungsi untuk melakukan pemeriksaan dan atau pengujian di perusahaan terhadap hak normatif buruh. Jika ditemukan adanya pelanggaran hak buruh, maka petugas pengawas bisa menindaklanjuti dengan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 UU No. 13 Tahun 2003. Alasan klise yang dikemukakan hampir di setiap Disnakertrans termasuk di Kabupaten Sukoharjo yaitu minimnya anggaran untuk pengawas dan jumlah pegawai pengawas yang tak sebanding dengan jumlah perusahaan. Joko Sucipto, Sekretaris DPC SPN Kabupaten Sukoharjo memilih untuk mengadvokasi Disnakertrans dengan harapan setelah kendala anggaran yang minim itu teratasi, Disnakertrans bisa melaksanakan fungsinya dengan baik.
Diawali dengan mempelajari proses penyusunan anggaran di Kab Sukoharjo, Joko dkk kemudian merumuskan sebuah rencana strategis melalui tim advokasi yang salah satunya adalah melakukan audiensi dengan pejabat terkait mulai dari Kadisnakertrans, DPRD hingga Bupati. Di saat bersamaan, juga tetap berjuang melalui aksi demonstrasi sebagai bentuk tekanan massa. Upaya DPC SPN Kabupaten Sukoharjo menghasilkan kemenangan kecil yaitu kenaikan anggaran Disnakertrans Sukoharjo yang pada 2006 sebesar Rp2 miliar, meningkat menjadi Rp2,2 miliar pada 2007. Hal ini sangat berdampak pada kinerja pengawas Disnakertrans yang menjadi lebih sering melakukan pengawasan ke perusahaan.
Lain hal pada SPN Kabupaten Semarang yang menyasar Anggaran Pendidikan pada APBD Kabupaten Semarang. Hal ini didasari pada fakta bahwa sebagian besar penghasilan buruh ternyata akan bermuara untuk membiayai pendidikan keluarganya. Berbagai strategi advokasi dilakukan oleh SPN Kabupaten Semarang yang antara lain aksi demonstrasi dan audiensi dengan pemerintah daerah. Perjuangan SPN Kabupaten Semarang lagi-lagi menuai kemenangan kecil yaitu Pemda Kab Semarang merespon dengan mengeluarkan SK Bupati yang melarang pihak sekolah memungut biaya gedung. (Ar/Fan)
[1] http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/09/03/ahok-janjikan-rumah-saat-buruh-tuntut-kenaikan-upah
[2] April 2014 beberapa elemen forum buruh DKI mengeluarkan pernyataan sikap bersama untuk dilibatkan lebih jauh dalam pembangunan rumah untuk buruh agar tepat sasaran dalam acara yang difasilitasi oleh TURC
[3] Sumber diolah dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18724/menilik-strategi-alternatif-perjuangan-buruh