Sudah saatnya K3 yang selalu dianggap sebagai isu non-prioritas di kalangan Serikat Buruh (jika dibandingkan dengan isu yang sifatnya lebih powerfull semacam upah dan hak-hak normatif lain) ditinjau kembali dalam agenda kerja perserikatan. Kita perlu memahami bahwa dalam kerangka kausalitas, penerapan K3 berjalan seiring dengan tingkat kecelakaan kerja yang terjadi di suatu Negara.
Dalam laporan riset yang dilakukan oleh tiga peneliti senior[1] dalam buku bertajuk Potret Kebijakan K3 di Indonesia yang mengutip data ILO tahun 2008, dipaparkan bahwa Indonesia dalam kurun waktu tersebut, Indonesia memiliki jumlah total kasus kecelakaan kecelakaan sebesar 65.474, tertinggi kedua setelah Rusia. Dari angka tersebut, 5.326 diantaranya cacat permanen dan 1.451 buruh meninggal dunia, di tahun 2007. Kondisi ini disinyalir merupakan efek langsung ketiadaan Sistem Jaminan Nasional yang selama bertahun-tahun telah turut diperjuangkan oleh elemen Serikat Buruh.
Tiga tahun selepas data ILO tersebut dirilis, UU BPJS disahkan dan mulai diterapkan sejak tahun 2014. Lalu, apa kabar Isu K3 bagi buruh di Indonesia selepas momentum ini? Apakah keberadaannya masih diabaikan secara sistematis seperti situasi sebelum diterapkannya UU BPJS?
Setahun berjalan, BPJS Ketenagakerjaan mulai membuka statistik jumlah kasus kesehatan yang telah tertangani.[2] Di akhir tahun 2015, jumlah kecelakaan kerja meroket menjati 105.182 kasus dengan korban meninggal dunia 2.375 kasus, dengan peningkatan tren sebesar 5%-10% kasus setiap tahunnya. Terlepas dari jumlah angkatan kerja yang mengalami peningkatan secara parallel sebagai salah satu penyebab kenaikan tren ini, semua pihak tetap perlu secara kritis mempertanyakan popsisi implementasi K3 di dalamnya (yang semestinya lebih menekankan aspek promotif dan preventif jika bicara mengenai kerangka kebijakan terkait kesehatan).
Pemerintah menyatakan sudah terapat upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki kondisi perlindungan K3 di Indonesia[3] sekalipun diakui masih belum maksimal di sektor jasa konstruksi. Kementerian Transmigrasi & Ketenagakerjaan juga telah mencanangkan Bulan K3 sebagai upaya membumikan K3, dari yang awalnya bersifat teknis sertifikasi dan standardidsasi, menjadi gerakan kebudayaan.[4] Kampanye ini hanya dilakukan selama satu bulan, terhitung mulai 12 Januari hingga 12 Februari 2016.
\”Pelaksanaan kegiatan K3 diharapkan mampu meningkatkan kesadaran dan ketaatan pemenuhan norma K3, meningkatkan partisipasi semua pihak untuk mewujudkan budaya K3 secara optimal serta meningkatkan penerapan K3 menuju masyarakat mandiri berbudaya K3,\” ungkap BPJS.
Sederet upaya peningkatan kesadaran dan ketaatan pemenuhan norma K3 dan peningkatan partisipasi semua pihak untuk mewujudkan budaya K3 menuju masyarakat mandiri berbudaya K3 ini sepertinya belum ‘nyambung’ dengan pihak pelaksana K3. Melalui ngobrol santai yang kami lakukan dengan petugas K3 di lapangan, mereka menyatakan bahwa keberadaan BPJS Ketenagakerjaan yang menjamin pengobatan dan perawatan korban kecelakaan kerja, justru akan membuat pihak perusahaan justru semakin abai terhadap kewajiban mereka memenuhi standar K3 di tempat kerja.
Di sisi lain, ada pula anggota serikat buruh, yang dengan sigap membantu masyarakat mengadvokasi kasus-kasus penyimpangan dalam implementasi BPJS di lapangan. Hal ini perlu diapresiasi, karena banyak dari mereka yang ‘merelakan’ diri mengurus hal-hal di luar entitas perburuhannya—seperti Agus Riyadi, anggota FSPMI Semarang yang turut tergabung dalam BPJS Watch. Ia mendampingi kasus bayi penderita luka bakar akibat tersiram air panas, hingga menuntut kepada pihak KPAI untuk mengeluarkan surat bebas biaya (jumlahnya mencapai puluhan juta rupiah) bagi bayi yang berasal dari keluarga miskin ini.
Namun tetap saja, penanganan kasus-kasus kecelakaan di tempat kerja oleh serikat buruh sendiri masih kurang banyak terangkat. Padahal, isu K3 bisa menjadi jalan masuk strategis untuk mengetengahkan daya tawar kolektif di antara serikat buruh dan pihak perusahaan.
[1] Dilakukan di Batam, Cilegon-Serang, Jakarta, dan sekitarnya dalam kurun waktu 2007-2008.
[2] http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/5769/Jumlah-kecelakaan-kerja-di-Indonesia-masih-tinggi.html
[3] http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/5945/K3-bertujuan-lindungi-pekerja.html
[4] http://poskotanews.com/2016/01/12/menaker-angka-kecelakaan-kerja-masih-tinggi/