Jika kita lihat seorang ibu sedang menjahit di rumah, membuat gaun untuk putri sulungnya yang akan berulangtahun, apakah itu bisa disebut sebagai pekerjaan?
Bisa ya, bisa tidak.
Namun yang pasti, itu adalah bentuk kasih sayang sang Ibu. Ia hanya ingin memberikan kado terbaik dan terindah bagi anaknya nanti.
Namun jika kita lihat seorang ibu sedang menjahit, lagi-lagi di rumah, menyambung bertumpuk-tumpuk kain sampai menjadi bertumpuk-tumpuk gaun, tapi bukan putri sulungnya yang akan berulangtahun, apakah itu bisa disebut sebagai pekerjaan?
Masih bisa kita katakan ya, bisa juga tidak.
Banyak bias dalam melihat ibu-ibu yang melakukan pekerjaan di rumahnya. Berdampingan erat dengan titelnya sebagai ibu rumah tangga, yang melakukan pekerjaan rumah tangga, apakah yang ia lakukan di rumahnya adalah sebuah pekerjaan di luar itu semua atau bukan?
Namun yang sedang kita bicarakan adalah tentang seorang ibu yang tidak pernah menjahit gaun untuk putri sulungnya, tapi seorang ibu yang satu harinya bisa menjahit sepuluh sampai duapuluh pasang gaun berwarna merah muda untuk sebuah brand internasional yang cukup terkenal. Brand ini seringkali kita dapati di pusat perbelanjaan mewah di Ibukota.
Sebut saja Ibu Lili. Ibu Lili ini adalah satu dari ratusan bahkan ribuan Ibu-ibu pekerja rumahan. Pekerja rumahan adalah mereka yang membawa pekerjaan ke rumahnya untuk dikerjakan di rumahnya. Apa yang mereka bawa? Mereka membawa banyak bermacam-macam pekerjaan yang bisa mereka lakukan, ibu Lili misalnya, ia membawa satu-dua karung berisikan potongan kain yang harus ia jahit untuk menjadi sebuah gaun, setiap harinya. Di rumah, berbekal satu mesin jahit dengan penerangan seadanya, Ibu Lili menjahit satu demi satu sampai dua karung potongan kain itu menjadi gaun-gaun indah. Jangan samakan Ibu Lili dengan ibumu atau dirimu sendiri, yang seringkali memilih untuk bekerja dirumah ketimbang masuk ke kantor untuk mengerjakan sekedar laporan keuangan atau draft proposal untuk klien dengan fasilitas internet yang cepat, pendingin ruangan yang sejuk, ditambah banyaknya pilihan channel TV kabel di ruang keluarga.
Sayangnya bukan seperti itu, para pembaca sekalian.
Jika ibumu dan dirimu sendiri mampu memilih untuk bekerja di rumah dan mengantongi izin dari atasan, Ibu Lili tidak seperti itu. Rumahnya, hanyalah kontrakan sempit 5×7 meter persegi saja. Ia tinggal dengan anak laki-laki bungsunya, dan suaminya yang pengangguran. Ketiga anaknya yang lain sudah keluar dari rumah, bekerja dan berkeluarga, hidup dengan permasalahan yang sama, permasalahan yang kini milik mereka sendiri, tanpa mampu menolong permasalahan kedua orangtuanya.
Jangankan pendingin ruangan, penerangan yang layak untuk menjahit pun ia tak mampu miliki. Mandornya di konveksi tempat ia mengambil karungan kain itu tidak mau tahu. Jika Ibu Lili tertusuk jarum, si mandor juga tidak mau berbuat banyak, “kenapa harus repot? Kalau ketusuk jarum, ya tinggal celup aja ke minyak goreng. Nanti juga sembuh kan.” Begitulah komentar sang mandor saat saya tanyakan menyoal resiko pekerjaan yang bisa terjadi pada Ibu Lili. Ya, baluran minyak jelantah dianggap cukup mengobati Ibu Lili yang tertusuk jarum demi mengejar setoran.
Mengerjar setoran? Seperti angkutan umum saja.
Toh memang iya, sistem pekerjaan yang diborongkan ini tidak jauh berbeda dengan angkutan umum. Ibu Lili diupah per gaun yang mampu ia jahit. Satu gaun diganjar Rp. 4.000,- saja. Jika kita lihat harga jual di toko, satu gaun yang ia jahit di bandroll sampai Rp. 500.000,-. Jadi, jika dalam satu minggu ia bisa mengerjakan 10 gaun, ia bisa mendapatkan Rp. 40,000,- untuk dibawa pulang. Mudah saja, jika ingin penghasilan lebih, maka menjahitlah lebih banyak, jangan tidur jika perlu.
Tidak banyak yang Ibu Lili minta pada mandornya. Dengan menaikkan upah yang ia dapat per gaunnya, atau sekedar menjadikan ia sebagai peserta Jaminan Sosial Kesehatan yang mana iurannya dibagi kepada si mandor sebagai pemberi kerja dan Ibu Lili sebagai penerima upahnya. Namun begitu, tidak banyak juga yang bisa sang mandor berikan pada Ibu Lili. Benang jahit pun ia tak sudi memberi ekstra, apalagi yang lebih dari itu?
Sang mandor sudah terkenal di kampung itu. Ia memiliki lebih dari lima orang pekerja, dimana Ibu Lili adalah salah satunya. Nasib pekerja lainnya? jangan berharap banyak. Tidak berbeda jauh dari Ibu Lili, tinggal di rumah kontrakan, pencahayaan kurang, tinggal berdesak-desakaan dengan keluarga, pasangan masing-masing yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Kesamaann lainnya, mereka semua pernah meminta pada sang mandor demi kebaikan taraf hidup mereka. Hasilnya sama-sama nihil. Selain penolakan, debat kusir, ancaman, amarah dari sang mandor kerap diterima.
Sang mandor tidak berkata banyak saat dikonfirmasi terkait permintaan Ibu Lili dan teman-temannya. Yang pasti, Ibu Lili harus menerima konsekuensi dari pekerjaannya dan jangan menuntut banyak. Satu kalimat pamungkas darinya, “kalau gamau kerja disini, yaudah keluar aja”. Tidak ada yang salah memang dari perkataan sang mandor, dan banyak pemilik usaha lainnya yang seringkali berkata seperti itu pada pegawainya. Padahal perusahaannya juga tidak melarat amat, usaha konveksi sang mandor ini sudah melejit jauh menjadi supplier brand-brand terkenal dengan kesanggupannya menyuplai lebih dari 1000 pieces kaos/gaun perminggunya. Tapi sudahlah, sebagai yang punya usaha, tentu kita tidak bisa menebak-nebak isi dapur mereka. Tapi sebagai tetangga yang mencium aroma masakannya saja, tentu kita tahu apa saja isi dapurnya, kan?
Ini baru Ibu Lili yang menjahit gaun. Belum ibu-ibu lainnya yang mengelem alas sepatu tiap detik di harinya, belum ibu-ibu lainnya yang menggunting berkilo-kilo tube pasta gigi tiap detik di harinya, dan masih banyak ibu-ibu lainnya. Jangan berharap cerita lain yang dramatis, hari-hari dari Ibu-Ibu pekerja rumahan ini seluruhnya memiliki kesamaan. Sama-sama bekerja di rumah, upah yang tidak seberapa, sama-sama luput dari perhatian, perhatian rantai pasok yang begitu panjang, dan perhatian dari si pengusaha itu sendiri. Jangan Tanya pemerintah, bisa saya jamin mereka belum banyak yang tau perkara tentang pekerja rumahan. Jika butuh pembuktian, datanglah ke gedung megah nan elok di Senayan, gedung Dewan Perwakilan Rakyat yang agung. Katanya, perlindungan untuk pekerja rumahan ini disatukan saja dengan pekerja rumah tangga, “pekerjaannya kan sama-sama di rumah!\”
Ditulis oleh: Yasinta Sonia