TURC Logo White Transparent
Svg Vector Icons : http://www.onlinewebfonts.com/icon
Search
Search
Close this search box.

Buruh Go Politik : Mengapa dan Apa Tantangannya?

“ Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri. Politisi buruk rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.”

(Bertolt Brecht – Penyair Jerman)

Kutipan syair Bertolt Brecht diatas rasanya tepat sekali untuk menggambarkan kondisi mayoritas masyarakat Indonesia yang buta politik. Kursi-kursi kekuasaan dirasa hanyalah milik para konglomerat dan tidak mungkin dijangkau oleh masyarakat kecil. Kebanyakan masyarakat hanya diikutsertakan untuk meramaikan “pesta” pemilu, namun setelah itu mereka kembali ke aktifitasnya sehari-hari disibukkan untuk mencari sesuap nasi tanpa ada komunikasi berkelanjutan dengan politisi yang mereka elu-elukan sebelumnya.

Begitu juga halnya dengan kaum buruh atau serikat buruh. Istilah politik masih sangat tabu bagi buruh. Hasil survei Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) bertajuk “Orientasi Politik :” Buruh dalam Pemilu Legislatif 2009” menunjukkan, mayoritas buruh tidak mengetahui keberadaan Partai Buruh, mayoritas buruh tidak memiliki pengetahuan yang cukup baik terkait visi, misi dan program (platform) partai politik, dan mayoritas buruh masih menghendaki SB tidak terlibat dalam urusan politik praktis”[1] . Hasil survei pada tahun 2009 tersebut menggambarkan bahwa kesadaran dan partisipasi politik kaum buruh masih sangat rendah dan gerakan buruh belum maksimal menggunakan ruang-ruang demokrasi politik yang tersedia sebagai arena untuk memperjuangkan kepentingan kaum buruh.

Namun, hasil survei tersebut untuk saat ini bisa dikatakan tidak relevan lagi. Kesadaran dan partisipasi politik buruh semakin hari terasa semakin meningkat. Belakangan disertai dengan intensitas gerakan buruh seperti perjuangan atas jaminan sosial, tolak upah murah dan outsoursing melalui mogok-mogok nasional yang mengkonsolidasikan kekuatan dan gerakan buruh dari beberapa wilayah industri di Indonesia, perlahan tapi pasti mulai menumbuhkan kesadaran para aktifis buruh untuk mulai “melek” politik. Jika sebelumnya organisasi serikat buruh masih malu-malu dan tidak yakin untuk secara terang-terangan mendukung seseorang untuk maju dalam pemilihan calon legislative, pada moment pemilukada 2014 ini, salah satu serikat buruh yaitu FSPMI secara organisasi mendukung sembilan orang kadernya untuk maju ke perjuangan merebut kekuasaan.

Berbarengan dengan “Pesta Pemilu” yang berlangsung di Indonesia pada tahun 2014 ini, dalam edisi spesial kali ini laporan utama ini akan mengupas tema tentang Buruh dan Politik. Hal ini juga didasari oleh semangat politik yang dirasa mulai muncul dalam gerakan-gerakan buruh. Jika selama ini kaum buruh atau serikat buruh biasanya disibukkan dan berfocus pada isu-isu normatif seperti upah dan advokasi perselisihan perburuhan dengan pemberi kerja dengan melakukan perjuangan diluar parlemen, kali ini, salah satu serikat buruh yaitu FSPMI dengan lantang mendeklarasikan keikutsertaannya dalam “pesta Pemilu tahun ini dengan mengirimkan beberapa anggotanya secara resmi sebagai utusan serikat untuk mengikuti perlombaan mendapatkan kursi legislasi.

Dalam tulisan ini ada beberapa hal yang akan coba penulis kupas antara lain soal kenapa buruh harus berpolitik? Apa kesempatan dan tantangan buruh go politik? Dan apa saja strategi “go politik” yang telah dilakukan oleh FSPMI?

Kenapa Buruh Harus Go politik?

Dalam tulisannya di website Federasi Serikat Pekerja Metal (FSPMI) Obon Tabrani seorang aktivis buruh FSPMI yang juga telah diamanahkan untuk menjadi koordinator gerakan politik FSPMI, menulis sebuah artikel yang berjudul tentang “Politik : Strategi Baru Perjuangan Buruh”. Dalam tulisannya beliau membahas tentang empat point penting yaitu :

Kenapa kita harus berpolitik? Bagaimana hubungan antara politik dan buruh? Bagaimana kondisi sekarang? Dan apa yang harus kita lakukan?

Point pertama tentang kenapa kita harus berpolitik? Menurut beliau, semua kebijakan yang ada dan dikeluarkan oleh pemerintah sesungguhnya adalah produk politik. Dari urusan terkecil sehari-hari, seperti harga-harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, biaya kesehatan, transportasi, dan infrastruktur. “Dalam bidang ketenagakerjaan misalnya upah, sistem kerja dan hak-hak buruh lain juga produk politik. Oleh karena itu, agar produk kebijakan yang ada berpihak kepada kaum buruh/rakyat kecil, kita semua tak boleh apatis terhadap politik. Tak boleh urusan politik hanya dipasrahkan kepada orang-orang yang tidak kita kenal tanpa mandat yang jelas” jelasnya.

Kedua, bagaimana hubungan antara politik dan buruh? Obon Tabrani menjelaskan bahwa sesungguhnya Periode orde lama gerakan buruh dekat dengan politik, sehingga pada periode itu aturan undang – undang yang dibuat sangat bagus, karena ada peran serta buruh di dalam merumuskan aturan tersebut.

Sejarah juga mencatat bahwa sesungguhnya pada masa orde lama serikat-serikat buruh yang ada pada masa itu merupakan underbownya partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi politik kaum buruh sudah tinggi ketika itu. Masih berdasarkan penjelasan Obon, “Pada periode orde baru gerakan buruh dijauhkan dari politik praktis, kita semua disibukkan dengan persoalan di pabrik, padahal persoalan kita di pabrik, kesejahteraan yang kita dapat, semua akibat kebijakan politik. Sehingga asumsi yang melekat adalah bahwa politik itu jahat, politik itu kotor, politik itu sumber perpecahan dan pandangan buruk lainnya” tulisnya.

Olle Törnquist (2003) dalam buku terbitan Demos berjudul Gerakan Demokrasi di Indonesia menganalisa gerakan buruh di Indonesia sebelum dan sesudah kejatuhan rezim Soeharto. Dari hasil penelitiannya, Indonesia di awal tahun 50-an memiliki gerakan buruh yang kuat dan berakar serta berkecimpung dalam dunia politik tetapi pada zaman Soeharto menjadi lemah dan tidak memiliki peran berarti dalam kejatuhan Soeharto maupun dalam membangun demokrasi di Indonesia. Törnquist berargumen bahwa di zaman Soeharto, buruh menghadapi tindakan represif dari pemerintah yang sangat kuat sehingga menumpulkan kekuatan massa yang dimiliki buruh.

Ketiga, Bagaimana kondisi sekarang?Data yang ada membuktikan hampir 66% anggota DPR berasal dari unsur pengusaha dan orang-orang yang dimodali oleh pengusaha” ungkap Obon. Dengan kenyataan tersebut, tidak heran mengapa kebijakan-kebijakan perburuhan yang ada saat ini, semakin lama semakin merugikan buruh.

Yang miris adalah pengusaha saja sudah menyadari akan pentingnya merebut atau duduk di kursi-kursi kekuasaan guna melanggengkan kepentingan mereka. Lalu mengapa buruh yang notabene adalah kaum mayoritas tidak memanfaatkan arena perjuangan politik sebagai media untuk memperjuangkan hak-haknya.

Keempat, apa kemudian yang harus dilakukan? Menurut Obon, PEMILU kali ini (2014) semua buruh harus berani menyatakan sikap merubah strategi dengan memilih calon yang ditunjuk oleh serikat (organisasinya) dan berasal dari buruh yang dapat dikontrol oleh kita bersama. Calon yang VISI dan MISINYA mencerminkan kebutuhan kaum buruh. Oleh karena itu, penting bagi kaum buruh untuk mendukung secara real dan ikut dalam memenangkan calon-calon anggota legislatif dari buruh. Kaum buruh harus mulai memperluas strategi perjuangannya melalu ranah politik. Bahwa perjuangan buruh dari pabrik menuju publik.

Dalam wawancara dengan aktivis petani Hendri Saragih tentang FSPMI go politik beliau berpendapat bahwa

“Persoalan politik bagi buruh adalah suatu keharusan. Jika pun saat ini calon legislatif dari buruh harus menggunakan partai lain sebagai kendaraan politiknya, itu dikarenakan saat ini hal itu yang paling mungkin dilakukan karena buruh belum punya partai politik sendiri.\”

Bukan hanya FSPMI tapi sejarah sudah membuktikan bahwa gerakan buruh itu bisa membuat partai dan berkuasa. Buruh harus bersatu dengan kekuatan lain petani, nelayan dan kekuatan rakyat lain, ucap beliau.

Amalinda Savirani seorang dosen UGM yang berfokus mempelajari tentang gerakan buruh juga berpendapat yang sama. Beliau mengatakan bahwa,

\”Agenda go politics buruh merupakan langkah maju dan milestone penting pengorganisasian popular movement (gerakan popular) di Indonesia. Ia bisa menjadi model bagi gerakan popular lain seperti petani, nelayan, kelompok miskin kota, dll”.

Beliau memaparkan bahwa “Politik di Indonesia sejak perubahan politik 1998 memiliki kecenderungan a) dikuasai elit yang akar konstituennya cenderung umum (floating elites), b) lepasnya keterkaitan elit dengan konstituen nya kecuali di momen pemilihan umum, c) partai politik yang tidak memiliki agenda yang spesifik. Ketiga hal ini separuhnya disebabkan oleh perilaku elit, separuhnya lagi oleh perilaku pemilih yang minim kemampuan untuk berorganisasi dan mampu mendesakkan agenda-agendanya pada para wakilnya. Masuknya buruh kedalam arena politik praktis,dapat menggeser ketiga kecenderungan tersebut”, katanya.

Beliau memberikan beberapa alasan mengapa Buruh harus berpolitik. “Pertama, aktivis buruh yang akan menjadi wakil rakyat, adalah wakil dari kelompok popular yang spesifik, bukan sebagai individu yg lepas. Oleh karena itu, peluang para wakil ini untuk bisa dikontrol oleh para pemilihnya (yakni buruh) lebih besar. Mereka menjadi wakil rakyat via organisasi buruh. Wakil rakyat ini tidak lagi bersifat floating (mengambang). Kedua, kaitan sang wakil dengan pemilih akan terus terjaga. Ketiga, gerakan go politics ini bisa mengatasi stagnasi yang terjadi dalam partai politik dalam menyediakan kader terbaik yang memiliki kepekaan terhadap isu-isu kelompok yang mereka wakili. Secara jangka panjang, agenda go politics ini bisa dirancang sebagai embrio partai politik” jelas beliau.

[1]Jurnal Sosial Demokrasi Vol. 10 > 4 > Januari – Maret 2011 p : 10-11

Tantangan Buruh Go Politik

Walaupun seperti dijelaskan diatas bahwa kaum buruh mempunyai alasan yang cukup kuat untuk go politik, namun dalam mensukseskan hal itu, kaum buruh juga memiliki tantangan yang besar.

Menurut Rieke Dyah Pitaloka sebagai aktivis dan anggota dewan yang cukup dekat dengan gerakan buruh, tantangan yang dihadapi buruh dalam masuk ke ranah politik adalah karena konsep go politik buruh sendiri belum kuat. Menurutnya buruh masuk ke ranah politik bukan sekedar buruh menjadi menjadi wakil rakyat atau anggota legislative di parlemen. Tetapi ketika buruh masuk ke sistem politik itu berarti pertangung jawabanya bukan hanya kepada organisasi serikatnya tapi juga kepada partai politik yang menjadi kendaraannya. Lalu tantangannya adalah buruh yang telah duduk di kursi parlemen tersebut harus mampu membawa atau memasukkan kepentingan-kepentingan perburuhan menjadi agenda partai politik yang diusungnya. Menurut beliau ini adalah pekerjaan yang cukup berat. Masih menurut Rieke, belum lagi persoalan tantangan bermoderasi di parlemen dan bagaimana bersikap untuk mengatasi godaan political transaksional yang ada disana.

Bicara soal tantangan, Hendri saragih menyampaikan tiga hal yang merupakan “PR” ketika buruh memutuskan masuk ke ranah politik dan menjadi calon anggota legislative. Pertama, “Buruh harus membuat satu platform perjuangannya, ataupun target-target perjuangan yang merupakan usulan dari organisasi dan harus diperjuangkan ketika nantinya terpili. Kedua, bagaimana memenangkan caleg tersebut agar bisa duduk dalam kursi parlemen. Dan ketiga, bagaimana nanti jika dia sudah jadi anggota parlemen, dia bisa menjalankan apa yang diperintahkan oleh organisasinya dengan baik”, ucapnya.

Salah seorang calon legislative dari FSPMI yaitu Nurdin Muhidin berpendapat bahwa tantangan terbesar yang dihadapi buruh untuk go politik menurut beliau adalah memberikan penyadaran dan pembelajaran kepada seluruh anggota serikat buruh tentang pentingnya buruh masuk ke politik. Apalagi dikarenakan kita ingin mengikuti pertarungan politik ini tanpa money politik sehingga kesadaran anggota untuk berpartisipasi dalam politik harus benar-benar dikuatkan.

Demi menyukseskan go politik buruh ini beliau mengatakan bahwa penting sekali untuk perangkat organisasi agar dengan tegas dan jelas memberikan dukungan kepada kader yang diutus untuk menjadi caleg baik itu dalam bentuk surat instruksi , pembiayaan, maupun kebutuhan- kebutuhan caleg – caleg tersebut guna memenangkan pemilihan. Hal ini dikarenakan si caleg tersebut tentunya membutuhkan untuk menggunakan garis struktural organisasi dari tingkat DPP sampai PUK.

Selain itu, Nurdin juga menegaskan pentingnya konsolidasi antar kader yang menjadi caleg atau membuat jaringan ke timses ke masing-masing daerah pemilihan (dapil) yang berbeda-beda karakter pemilihnya (contohnya, dapil yang mayoritas masyarakatnya buruh, masyarakat umum, dan lain-lain).

Langkah – langkah Go Politik FSPMI

Pada awal tahun 2010, difasilitasi oleh Trade Union Rights Centre beberapa aktivis buruh dari beberapa wilayah seperti Bekasi, Jakarta, Sukabumi, Jawa Timur, dan Jawa Tengah berkunjung ke Omah Tani untuk belajar tentang go politiknya organisasi petani di Batang, Jawa Tengah.

Sejak saat itu, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) khususnya mulai serius mempelajari tentang memasuki ranah politik. Sehingga pada akhir tahun 2012 FSPMI Bekasi khususnya mempersiapkan diri untuk mengikuti Pemilu legislative pada April 2014.

Dalam persiapannya FSPMI melakukan berbagai untuk go politik ini. Mulai dari memilih anggota yang akan dijadikan calon legislatif, lobby ke partai-partai politik, dan menyiapkan strategi untuk mensukseskan calon-calonnya. FSPMI atas nama organisasi secara resmi mengeluarkan keputusan untuk go politik pada rapat pimpinan III DPP FSPMI yang diselenggarakan di Park Hotel pada tanggal 15 – 17 Februari 2014.

Dalam keputusan rapim tersebut, disebutkan bahwa FSPMI akan memperkuat strategi “Buruh Go Politik”, termasuk penggalangan dana bagi para Kader FSPMI yang menjadi Calon Anggota Legislatif. Salah satunya adalah akan dikeluarkannya instruksi tentang dana konsolidasi sebesar lima ribu rupiah untuk membantu para Caleg. Ada sembilan kader FSPMI yang diutus menjadi calon legislative untuk beberapa daerah pemilihan dan dengan mengendarai berbagai partai politik yang berbeda-beda. Menurut salah seorang calon legislative dari FSPMI, perbedaan partai politik sebagai kendaraan politik kader-kader FSPMI tersebut tidak menjadi persoalan bagi mereka karena mereka memilih “orangnya” bukan partai politiknya. Saat ini kaum buruh tidak punya pilihan lain karena belum memiliki partai politik sendiri. Namun, kesempatan untuk bisa mengikuti perjuangan dalam panggung politik kali ini dianggap sebagai proses pembelajaran untuk cita-cita memiliki partai politik sendiri di masa depan.

Para kader FSPMI yang diutus menjadi calon legislative adalah Nurdin Muhidin adalah salah satu pengurus Pimpinan Cabang  FSPMI Bekasi. Ia maju sebagai Caleg DPRD Kabupaten Bekasi melalui Partai Amanat Nasional. Iswan Abdullah adalah Vice Presiden FSPMI, maju sebagai Caleg DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera. Sedangkan Rustan adalah Ketua Umum SPAMK FSPMI. Ia maju sebagai Caleg DPRD Provinsi Jawa Barat dari PDI Perjuangan. Selain itu adapula Suparno dan Susanto, mereka adalah aktivis FSPMI yang maju sebagai caleg DPRD Kabupaten Bekasi melalui PKP Indonesia. Wajah caleg-caleg lain yang juga direkomendasikan yaitu Aji (PAN), Nyumarno (PDI Perjuangan), Hendi Suhendi (Partai Persatuan Pembangunan) dan Mazrul Zambak (PKP Indonesia).

Dalam menyukseskan gerakan politik yang baru dimulai FSPMI ini, ada beberapa langkah-langkah maupun strategi yang mereka lakukan. Antara lain mengadakan diskusi-diskusi untuk menyiapkan konsep- konsep strategi pemenangan calon legislative dari FSPMI, membuat database pemilih untuk mendata jumlah anggota FSPMI di beberapa daerah pemilihan dan juga mendata potensi suara pemilih dari masyarakat umum. Selain itu, FSPMI juga melakukan pendekatan dengan beberapa partai politik yang dijadikan kendaraan politik khususnya untuk menegaskan perjanjian politik antara partai dengan organisasi. Hal ini dimaksudkan untuk membuat perjanjian mengenasi seberapa besar pengaruh organisasi terhadap calon legislatif apaabila terpilih nantinya dan mencegah hal – hal yang dapat merugikan organisasi.

Strategi lainnya adalah dengan membentuk tim sukses dan relawan go politik buruh untuk memenangkan calon-calon legislative dari FSPMI. Para relawan ini bekerja keras untuk mengkampanyekan para caleg, menjadi saksi pada saat pemilu legislative, menjadi pemantau pemilu yang bersih. Para relawan ini adalah juga kader-kader FSPMI yang ikut mensukseskan go politik buruh dengan sukarela tanpa bayaran apapun malah berkorban baik itu waktu, tenaga, dan materi untuk kerja-kerja politik FSPMI.

Loyalitas kader-kader FSPMI terlihat dari antusiasme mereka menghadiri berbagai pelatihan dan diskusi yang diadakan oleh FSPMI baik itu diskusi tentang “Mengapa buruh harus go politik?” , “Membangun kesadaran berpolitik bagi buruh “ maupun pelatihan-pelatihan saksi, pemantau pemilu , atau tim sukses pemilu yang diadakan oleh FSPMI dengan menghadirkan beberapa nara sumber.

Tentunya dengan semangat dan optimisme yang tinggi dari kader-kader serikat buruh untuk go politik, impian buruh untuk memiliki partai politik sendiri akan segera terwujud. Seperti pesan Presiden FSPMI, Said Iqbal dalam sebuah tulisannya FSPMI kembali meminta kepada seluruh anggota untuk memenangkan calon legislatif yang sudah direkomendasikan oleh organisasi. Yakinlah pada satu hal, bahwa nasib buruh harus ditentukan oleh buruh itu sendiri. Maka memilih caleg kader buruh yang sudah direkomendasikan oleh organisasi adalah sebuah keharusan yang tak bisa ditawar. Sekali lagi, integritas mereka sudah diuji oleh organisasi.

 

Penulis

Trade Union Rights Centre

Tags

-

Bagikan artikel ini melalui:

Dapatkan Informasi Terbaru Seputar Isu Perburuhan!