Habis gelap, terbitlah kelam. Kata itu dipakai sebagai tajuk dalam proyeksi masyarakat sipil atas situasi Indonesia 5 tahun kedepan di Jakarta. Terhitung sejak Senin 14-17 Oktober 2019 rangkaian diskusi tersebut dimulai dengan pokok bahasan yang berbeda-beda setiap harinya. Pada hari kedua, diskusi diambil tema “Demokrasi”. Dalam diskusi tersebut hadir enam pembicara dari berbagai lembaga. Diantaranya adalah Komisi Pemantau Legislatif (KOPEL), Seknas Fitra, Inisiatif, Elsam, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Materi diskusi pertama disampaikan oleh Anwar perwakilan dari Kopel. Anwar memfokuskan pokok bahasan pada kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dimana lembaga tersebut merupakan sendi utama dari demokrasi Indonesia dengan tugas dan fungsi cek and balance terhadap pemerintah.
Kopel menilai bahwa MPR, DPR, DPD, dan DPRD masih penuh sesak persoalan yang menimbulkan counter attack terhadap demokrasi itu sendiri. Tarik menarik kepentingan dengan memainkan dan mengabaikan prosedur demokrasi yang sudah dibangun sejak masa reformasi.
Sebab, kini kondisi lembaga MPR, DPR, DPD, dan DPRD masih kelam dalam satu periode yang akan datang. Praktek demokrasi yang telah disusun secara procedural dalam mekanisme kelembagaan akan diabaikan meskipun telah menjadi keputusan kelembagaan. Hal itu mengingat pada Rancangan Undang-Undang (RUU) yang justru menyentuh langsung pada kepentingan partai politik, sehingga partisipasi publik akan dibatasi, bahkan ditutup sama sekali.
Informasi publik senantiasa terbuka, namun justru sangat terbatas pada hal-hal yang tidak krusial. Hanya menyangkut relasi dan akuntabilitas anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan konsituen. Dengan ini bukan tidak mungkin bahwa akan banyak muncul RUU kontroversial. Misalnya saja RUU KUHP.
Masyarakat juga dengan mudahnya akan melihat bahwa UU MD3 akan dengan leluasa kembali direvisi, sesuai kebutuhan dan kepentingan partai politik. Tak hanya itu, beberapa undang-undang yang lain juga tentunya akan menyusul. Revisi UU KPK, UU pemilu dan partai politik adalah salah satu targetnya, imbas dari ekses dari pelemahan pemberantasan korupsi dengan menguatkan kembali ruang korupsi kebijakan lewat kelembagaan DPRD, DPD, dan DPRD.
Maka, publik dengan gamblang melihat, perilaku korup pejabat negara akan lebih cepat muncul ke permukaan. Sebab, tak ada lagi pengawasa gerak mereka, yaitu KPK dimana UU KPK baru saja disahkan dan sudah mulai berlaku.
Negara Abai Terhadap Rakyat
Pada tahun 2017, pemerintah mengalami defisit anggaran tertinggi sejak UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disahkan. Defisit anggaran itu mencapai 2,93%. Padahal dalam tersebut, batas defisit anggaran yang diperbolehkan hanya 3% dari total PDB. Kondisi ini terjadi karena, belanja pemerintah terlalu membengkak. Diantaranya adalah program sertifikasi tanah, persiapan pilkada serentak dan pemilu 2019, serta kebutuhan biaya pembangunan infrastruktur.
Tapi, penerimaan negara dari sektor pajak dan PNPB belum maksimal. Dari sektor pajak, jumlah wajib pajak pada tahun 2018 sebanyak 39,2 juta orang dengan tingkat kepatuhan melaporkan SPT sebesar 69% atau sekitar 18 juta WP yang melaporkan SPT. Namun data tersebut tak sebanding dengan jumlah potensi wajib pajak berdasarkan jumlah penduduk yang bekerja.
Fino dari Fitra, menyampaikan bahwa negara belum menggarap serius sektor PNPB. Lebih jauh lagi, Indonesia masih sangat tergantung dengan hutang. Dimana hutang Indonesia tahun 2018 naik mencapai Rp 4.418 triliun dibandingkan tahun 2017 3.995 triliun. Infrastruktur menjadi penyumbang hutan paling banyak dalam medio pertama kabinet Jokowi.
Pemilu Gagap dan Redupnya Kebebasan Berekspresi
Hajatan besar Pemilu 2019, pada praktiknya masih banyak catatan. Iksan, perwakilan dari Inisiatif menyampaikan beberapa catatannya selama Pemilu 2019 berlangsung. Menurutnya, kini pemilu masih banyak menuai masalah. Hal itu terbukti dari dilihat dari adanya 111 laporan dengan dugaan ada penggelembungan suara.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) secara mandiri juga mencatat ada 24 putusan terkait dengan politik uang. Hal ini mengindikasikan bahwa ada masalah dalam penegakan hukum di Indonesia. Sebab, taka da tindakan tegas secara hukum dalam pemilu. Maka, Iksan mengajukan dua rekomendasi yang telah dirumuskan oleh Inisiatif.
Pertama adalah, penataan pemilihan umum sesuai aturan/ konstitusi. Kedua, demokratisasi partai politik.
Dimana kini ditemukan adanya penurunan demokrasi partisipasi di Indonesia. Hal itu diakibatkan oleh buruknya upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas kebebasan berekpresi individu. Pasal-pasal karet seperti UU ITE, pencemaran nama baik, penistaan agama dan makar menjadi peluru ampuh untuk membungkan kebebasan berekspresi.
Kondisi ini seolah menegaskan bahwa Indonseia telah mundur dalam kebebasan berekspresi, penegakan demokrasi dan HAM, bahkan jauh sebelum reformasi. Beberapa pasal di dalam KUHP akan mengancam kualitas penikmatan kebebasan berekpresi warga negara apabila disahkan menjadi undang-udang seperti pasal 218-220 (menyerang kehormatan Presiden dan Wakil Presiden), Pasal 246 dan 247 (menghasut untuk melawan Pemerintah), Pasal 262 dan 263 (berita bohong), Pasal 281 (publikasi hasi persidangan secara melawan Pemerintah), Pasal 304 (penodaan agama), Pasal 439 (fitnah), Pasal 442 (penghinaan ringan), dan Pasal 445 (pencemaran nama terhadap orang yang sudah meninggal).
Namun, anasir lain pemerintah adalah selalu menggunjing dan memberi label hoax. Meski, sebenarnya blunder dan justru bias kepentingan publik. Dalam kurang dari enam bulan, pemerintah melakukan intursi secara tidaki sah terhadap jaringan internet warga negara yaitu pada 22-25 Mei 2019 terhadap jaringan dan pembatasan akses informasi mengenai Papua. (Mohammad Setiawan)