Tahun 2014 Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi. Pemilihan langsung anggota legislatif telah usai pada 9 April yang lalu. Selanjutnya Rakyat Indonesia disuguhkan pesta demokrasi selanjutnya yakni Pemilihan Presiden, untuk menentukan Pemimpin Indonesia selama 5 tahun mendatang dalam Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019 yang diselenggarakan pada 9 Juli 2014.
Terdapat dua pasang kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden RI yakni pasangan Nomor Urut 1 Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa, dan pasangan nomor urut 2 Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla yang berkompetisi untuk menjadi yang terbaik sebagai calon Pemimpin bangsa Indonesia, yang dipilih oleh 240 juta Rakyat Indonesia.
Pesta demokrasi dalam menentukan Pemimpin untuk Indonesia selama 5 tahun mendatang menarik perhatian seluruh lapisan masyarakat tidak terkecuali gerakan sosial diantaranya gerakan buruh.
Persoalan klasik di Indonesia dalam bidang Perburuhan seperti penetapan upah minimum yang setiap tahunnya menimbulkan gejolak, semakin merajalelanya perbudakan zaman modern melalui sistem kontrak kerja dan outsourcing, lemahnya kemauan politik Pemerintah dalam mereformasi Jaminan Sosial di Indonesia melalui Jaminan Kesehatan dan Jaminan Pensiun, serta lemahnya pengawasan ketenagakerjaan menjadi beberapa hal isu krusial dari sekian banyak permasalahan Ketenagakerjaan yang melatarbelakangi gerakan buruh untuk mulai berani menentukan sikap politik pada PilPres tahun ini.
Beberapa Pemimpin Nasional dari Organisasi Serikat Pekerja, melihat Pemilihan Presiden-Wakil Presiden menjadi sebuah peluang untuk mendapatkan secercah harapan baru bagi buruh untuk dapat memperbaiki nasibnya, dengan harapan Presiden terpilih kelak lebih memberikan perhatian dan secara konkret dapat melakukan perbaikan terhadap kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia.
Partisipasi gerakan buruh dalam PilPres tahun 2014 ini semakin menarik ditandai dengan buruh tidak hanya sekedar ikut barpartisipasi dalam Pemungutan Suara di TPS, namun beberapa organisasi pekerja di tingkat Nasional mulai berani secara terbuka mendeklarasikan organisasinya mendukung salah satu kandidat Calon Presiden-Wakil Presiden dan ikut menjadi relawan berpartisipasi dalam kampanye mempromosikan kandidat yang didukungnya kepada anggota maupun masyarakat secara luas.
Di tingkat Nasional gerakan buruh yang terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja dan Federasi Pekerja Non Konfederasi memiliki sikap dan pilihan politik yang berbeda, jelas dalam PilPres yang dinamika politiknya sangat tinggi akhirnya menyebabkan suara gerakan buruh menjadi terbelah.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) beserta anggota federasi afiliasinya dibawah pimpinan Said Iqbal pada tanggal 1 Mei 2014 mendeklarasikan diri mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa, yang ditandai dengan ditandatanganinya kontrak politik antara KSPI dengan Prabowo Subianto yang berisikan gagasan Sepuluh Tuntutan Rakyat (Sepultura). Sepultura merupakan janji politik Prabowo kepada KSPI untuk memperbaiki nasib buruh apabila terpilih menjadi Presiden.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dibawah pimpinan Andi Gani Nena Wea mendeklarasikan diri bersama dengan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) dibawah pimpinan Mudhofir mendukung pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla atas dasar kinerja Jokowi-JK selama memimpin di Solo dan DKI Jakarta yang dianggap baik, dan berddasarkan track record Jokowi-JK yang tidak pernah tersangkut kasus khususnya kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Tidak hanya itu, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dibawah pimpinan Yorrys Raweyai dan Sjukur Sarto juga tidak tertinggal untuk menentukan sikap politiknya terkait PilPres, keduanya memilih untuk mendukung pasangan Prabowo Subianto – Hatta Radjasa. Namun KSPSI dibawah pimpinan Sjukur Sarto di detik-detik terakhir masa kampanye merubah sikap politiknya dan berbalik mendukung pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Masih ada lagi, KSBSI dibawah pimpinan Muchtar Pakpahan pun turut mendeklarasikan diri mendukung pasangan Joko – Widodo dan Jusuf Kalla.
Diluar konfederasi serikat pekerja, terdapat puluhan organisasi federasi serikat pekerja di tingkat nasional non konfederasi (tidak memiliki afiliasi konfederasi), juga ikut meramaikan dinamika politik Pilpres di Internal gerakan buruh dalam dukung-mendung pasangan capres tertentu, namun hanya beberapa yang bersedia secara terbuka untuk mendukung pasangan Capres-Cawapres tertentu, sisanya lebih cenderung bersikap netral dan memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk menentukan sikapnya sendiri sesuai dengan aspirasi politik masing-masing pribadi.
Meski secara organisasi banyak serikat pekerja yang memilih untuk bersikap netral, tidak menyurutkan kegembiraan pesta demokrasi kali ini. Beberapa aktivis serikat pekerja berani mengambil sikap secara terbuka mendukung pasangan Capres-Cawapres tertentu.
Aktivis perburuhan yang berasal dari berbagai organisasi serikat pekerja dan LSM Perburuhan, seperti Indra Munaswar, Timbul Siregar, Surya Tjandra, Bayu Murnianto, Andi William Sinaga, Gatot Subroto, Masfendi, German E. Anggent setelah melihat berbagai perkembangan serta dinamika politik di tingkat nasional khusunya di Internal gerakan buruh pada Pilpres, akhirnya bersepakat untuk menyamakan persepsi dan memutuskan untuk membentuk sebuah komite politik yang kemudian diberi nama Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI) sebagai “alat” untuk menyatakan sikap mendukung Pasangan Capres-Cawapres Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Pemilihan Presiden- Wakil Presiden 2014, harus diakui menimbulkan animo yang tinggi pada gerakan buruh. Perbedaan pilihan terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang didukung oleh antar organisasi dan aktivis buruh, harus diakui telah menimbulkan polarisasi diantara gerakan buruh, yang terkadang menimbulkan “gesekan” dan perbedaan pendapat secara tajam serta “sensitif” melalui sosial media khususnya pada tahapan masa kampanye.
Masing-masing pihak tentu berusaha mempertahankan argumentasinya dan meyakinkan khalayak luas baik anggota maupun masyarakat secara luas bahwa capres-cawapres pilihannya adalah yang terbaik untuk memimpin bangsa Indonesia selama 5 tahun mendatang.
Segala cara pun dilakukan oleh masing-masing pihak dari gerakan buruh untuk mendukung jagoannya di masa kampanye, seperti instruksi kepada anggota untuk turut serta mendukung pilihan organisasi, sosialisasi kepada anggota dan masyarakat luas melalui berbagai sarana seperti facebook, longmarch, rapat terbuka, dll, pembuatan alat peraga, penyebaran alat peraga ke berbagai daerah, pembuatan simpul relawan di berbagai daerah.
Terlepas dari tajamnya perbedaan pandangan dan tingginya animo politik, hal penting yang harus disadari oleh gerakan buruh terlebih khusus untuk para elitenya adalah kedewasaan politik, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah sebuah wujud demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu, saling menghargai dan tidak memaksakan kehendak menjadi salah hal penting yang harus dijaga.
Perbedaan pandangan politik tidak boleh dibawa kepada wilayah personal yang dapat berakibat tali silaturahmi terhadap rekan seperjuangan yang sudah bertahun-tahun terjalin, jangan sampai putus hanya karena perbedaan pilihan politik.
Tidak boleh gerakan buruh terjebak pada situasi politik nasional yang akhirnya menyebabkan polarisasi yang semakin parah di Internal gerakan buruh. Disadari, hanya kekuatan kolektif yang mampu memperkuat posisi tawar gerakan buruh baik terhadap Pemerintah maupun pengusaha dalam memperjuangkan kesejahteraan buruh. Jangan sampai kekuatan kolektif yang sudah mulai terbangun perlahan, sirna akibat perbedaan pilihan politik yang sejatinya itu adalah sebuah kewajaran dalam pesta demokrasi.
Pembelajaran bagi gerakan buruh melalui Pilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dapat diambil yakni kedewasaan politik dalam sebuah realitas demokrasi untuk berkompetisi secara sehat harus diutamakan. Meskipun berbeda pilihan politik terhadap pasangan Calon Presiden, dari kedua belah pihak pendukung, sebenarnya memiliki tujuan yang sama yakni ingin kesejahteraan buruh semakin membaik.
Pasca Pemilihan Umum tidak ada pilihan lain, rekonsiliasi di internal gerakan buruh harus terjadi demi keutuhan gerakan buruh, untuk cita-cita besar yakni terwujudnya kesejahteraan bagi buruh dan anggota keluarganya. Pesta demokrasi telah usai, mari lepaskan atribut kandidat Capres-Cawapres, dan kembali kepada “khitah”. (otg)