Rubrik: OPINI
“Memperjuangkan Hak-hak Buruh Sawit Perempuan ”
Oleh: Harwanto (Staf Lokal TURC-Kalimantan Selatan)
Pesatnya pertumbuhan industri sawit dalam dua dekade terakhir telah menimbulkan fenomena arus urbanisasi penduduk menjadi buruh sawit dari daerah yang satu ke daerah lainnya. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua-pun tak terkendali, dan membuat daerah tersebut menjadi tujuan baru bagi tenaga kerja non formal. Perekrutan menjadi buruh di sebuah perkebunan kelapa sawit pada umumnya tidak memerlukan syarat khusus seperti jenjang pendidikan atau pengalaman kerja. Siapa saja bisa menjadi buruh sawit tanpa harus melalui seleksi dan prosedur yang rumit. Meskipun jenis pekerjaan sebagai buruh sawit sangat variatif, namun pekerjaan tersebut pada umumnya dapat dipelajari dan dilatih secara otodidak dalam waktu singkat.
Keberadaan buruh sawit dengan kondisi tersebut, pada umumnya dimanfaatkan oleh manajemen kebun untuk memanipulasi kewajiban-kewajiban normatif perusahaan. Hal ini diperparah oleh rendahnya kualitas SDM dan terbatasnya akses informasi pada ketentuan/peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Hal ini membuat buruh sawit menerima segala kebijakan yang diterapkan oleh manajemen perusahaan. Akibatnya, buruh sawit mengalami masalah ketenagakerjaan seperti ketidakjelasan hubungan kerja, beban kerja yang tidak masuk akal, tingginya resiko keselamatan dan tidak jelasnya struktur skala pengupaha.
TURC dalam penelitiannya pada tahun 2016, menemukan bahwa buruh perempuan dalam industri sawit dianggap sebagai buruh kelas dua. Hasil temuan penelitian TURC memastikan terjadi banyak pelanggaran terhadap hak-hak mereka, baik hak normatif maupun hak-hak eksklusif seperti hak reproduksi. Pemupukan, penyemprotan, garuk piringan dan kutipan brondolan adalah jenis pekerjaan perawatan kebun sawit yang dominan dikerjakan oleh buruh sawit perempuan. Kegiatan pemupukan dan penyemprotan adalah pekerjaan beresiko tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan karena dalam pekerjaan ini, terjadi kontak langsung antara pekerja dengan bahan kimia aktif. Sedangkan pekerjaan sebagai ‘penggaruk piringan’ dan ‘pengutip brondolan’ beresiko terhadap keselamatan karena pekerja rentan tertusuk duri pelepah sawit dan gigitan ular berbisa. Celakanya, perlengkapan perlindungan keselamatan kerja pada jenis pekerjaan ini (seperti sarung tangan, helm bermasker, masker oksigen, alat sterilisasi, pakaian keselamatan kerja, dll) sering tidak dipenuhi oleh perusahaan. Selain faktor resiko kesehatan dan keselamatan kerja di lapangan, hak-hak normatif buruh perempuan lainnya seperti cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan dan menyusui anak, acap tidak dipenuhi oleh manajemen perusahaan, hal ini diperburuk oleh sikap buruh perempuan yang cenderung pasrah pada keadaan dan ketidakaktifan mereka dalam serikat pekerja.
Pada umumnya, industri kelapa sawit mengenal beberapa ikatan hubungan kerja, yaitu SKU-H, SKU-B (buruh tetap) dan Buruh Harian Lepas (BHL). Meski undang-undang No.13 Tahun 2003 telah mengatur dengan jelas tentang standar dan kriteria untuk buruh dengan status BHL, namun aturan tersebut tidak diterapkan dengan benar di perkebunan kelapa sawit. Dalam hasil riset yang dilakukan tahun 2016, TURC menemukan sebagian besar buruh sawit perempuan adalah pekerja dengan status BHL. Meskipun dalam pekerjaannya buruh perempuan melaksanakan kewajiban layaknya buruh tetap, dengan aturan hari kerja dan jam kerja (absensi) yang sama dengan burut tetap. Tapi upah bagi buruh sawit perempuan rata-rata hanya dibayar dengan hitungan beban target atau borongan. Dengan demikian, status BHL bagi buruh sawit perempuan menjadi ironis karena tidak berbanding lurus dengan hak upah yang harus diterima dalam satu bulan hari kerja.
Ketidakjelasan status BHL pada buruh sawit perempuan tersebut membuat mereka tidak mendapat upah minimum, mereka juga tidak mendapat hak cuti tahunan, tidak mendapat cuti melahirkan, dan tidak terdaftar sebagai peserta jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi hak warga negara. Akibat yang paling serius dari status hubungan kerja tersebut, buruh perempuan rentan terhadap pemutusan hubungan kerja yang sewenang-wenang.
Mencermati berbagai permasalahan tersebut, dapat kita lihat telah terjadi banyak pelanggaran hak normatif yang dialami oleh buruh sawit perempuan. Kondisi ini merupakan pekerjaan besar bagi serikat buruh/pekerja di perkebunan kelapa sawit untuk lebih menyentuh dan melibatkan peran aktif buruh perempuan dalam kegiatan dan perjuangan serikat ke depan.
Pentingnya peran Serikat Buruh/Pekerja dalam memperjuangkan hak buruh perempuan, disampaikan oleh Ibu Emiyanti Hoar (34 tahun), salah satu buruh sawit perempuan asal Nusa Tenggara Timur. Beliau adalah buruh perempuan anggota Serikat Pekerja Perkebunan (SP-BUN) Berlian Estate di PT. Jaya Mandiri Sukses (Eagle High Plantations Group) yang berlokasi di Desa Cantung Kiri Hilir, Kecamatan Kelumpang, Hulu Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Perubahan cara pandang dan sikap sebagai buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit, dialami Ibu Emiyanti Hoar pada bulan Mei 2018, setelah mengikuti kegiatan pelatihan gender bagi buruh perempuan di Medan, Sumatera Utara. Informasi dan semangat luar biasa yang diperolehnya, kini beliau bagikan kepada semua buruh perempuan di tempat kerjanya.
Salah satu contoh kasus pekerjaan perawatan yaitu penyemprotan. Ibu Emiyanti menerangkan bahwa waktu bekerja menyemprot tidak boleh lebih dari 4 jam sehari, wajib menggunakan K3 yang lengkap dan adanya pembatasan jumlah kep (satuan alat semprot) maksimal hanya 8 kep sehari. Hal ini wajib dilakukan karena mencegah agar buruh/pekerja tidak terkontaminasi herbisida/insektisida (zat kimia beracun) yang digunakan, baik melalui kulit, mata atau pernafasan. Sedang pembatasan jumlah kep, adalah untuk penyesuaian kemampuan tenaga buruh perempuan, karena setiap satu kep itu berisi 15-17 liter sekali semprot sehingga dalam sehari sama dengan 1 drum air.
Terkait dengan pekerjaan buruh perempuan sebagai pengutip brondolan, Ibu Emiyanti menjelaskan bahwa hak upah tidak boleh dibayar dengan hitungan borongan, tetapi harus berdasarkan hari kerja (HK) dan juga berhak atas premi panen, karena mereka ikut bertanggung jawab layaknya pemanen dan membantu mengerjakan tugas pemanen seperti mengatur pelepah dan melansir buah ke TPH (Tempat Pengumpulan Hasil).
Hal tersebut dibenarkan oleh Ketua SP-BUN Berlian Estate Bapak Syabitul Rahman (46 Tahun), bahwa permasalahan hak-hak normatif buruh, khususnya buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit harus terus diperjuangkan. Buruh perempuan dalam organisasi serikat harus semakin diberi ruang, agar mereka dapat bersuara dan berperan aktif membela hak-haknya.
Dapat disimpulkan bahwa eksistensi buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit tidak dapat dipandang sebelah mata. Mereka juga bagian yang tidak terpisahkan sebagai komponen penunjang keberlanjutan dan berkembangnya industri sawit. Sangat diharapkan segera ada regulasi yang spesifik melindungi buruh sawit perempuan.