Indonesia punya sejarah pergerakan perempuan yang sangat masif dan berarti. Sayangnya, sejarah ini tidak banyak diceritakan dibangku sekolah-sekolah dengan lebih mendalam. Sejarah pergerakan perempuan ditutupi dengan narasi ibuismeyang menjadi perangkap bagi pergerakan perempuan di Indonesia pada masa Orde Baru. Salah satu contoh yang tidak disadari oleh masyarakat adalah sejarah tentang Hari Ibu yang berangkat dari kesadaran kaum perempuan di masa sebelum kemerdekaan untuk memperjuangkan hak mereka sebagai kaum perempuan.
Pada masa itu bahkan, Kongres Perempuan pertama yang diadakan di Yogyakarta yang melahirkan Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia menjadi bukti bahwa kesadaran perempuan Indonesia telah maju dan menyadari banyak hal yang keliru dan harus dibenarkan seperti pendidikan untuk perempuan, perjanjian dalam pernikahan Islam, perkawinan anak, poligami, tunjangan untuk janda dan yatim. Kongres Perempuan pertama inilah yang diadakan pada 22 Desember 1928 di kemudian hari dikenal sebagai Hari Ibu.
Sayangnya, sejak Orde Baru dan sejak semakin populernya paham ibuisme, Hari Ibu tidak dimaknai dengan lebih essensial mengenai perjuangan dan hak kaum perempuan. Hari Ibu justeru dipahami dengan apa saja tugas seorang ibu seperti mengurus rumah tangga, mengasuh anak, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya. Padahal selayaknya laki-laki, perempuan memiliki hak yang sama untuk berkiprah di sektor publik.
Sejak Orde Baru tumbang pergerakan perempuan di Indonesia mulai bergeliat dalam ranah gerakan maupun intervensi kebijakan supaya kebijakan yang ada mengakomodir hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, seperti Inpres No. 9 Tahun 2000 yang mengamanatkan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan.
Namun, belakangan publik dibuat kaget dengan munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang diusulkan oleh beberapa fraksi di DPR. Publik dibuat tidak habis pikir dengan isi dalam pasal-pasal yang ada dalam RUU Ketahanan Keluarga yang dinilai bias gender dan melemahkan posisi perempuan. Melalui RUU ini, negara terlalu mengintervensi ranah privat masyarakat dengan mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota keluarga terutama istri.
Contohnya dalam Pasal 25 disebutkan bahwa kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya, serta memperlakukan suami dan anak secara baik dengan memenuhi hak-hak suami dan anak. Pasal ini menggambarkan betapa tugas istri terhadap keluarganya sungguh berat, sedangkan suami seharusnya memiliki kewajiban yang sama untuk memenuhi hak istri dan anak.
Dari pasal tersebut terlihat bahwa RUU ini mengembalikan perempuan pada posisi domestik, sumur, dapur dan kasur. Padahal perjuangan yang telah ditempuh sejak puluhan tahun yang lalu untuk memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan bukanlah perkara mudah. Lalu bagaimana dengan kontribusi perempuan dalam pembangunan yang sejak era Reformasi telah diupayakan? Dikhawatirkan RUU ini akan menjadi upaya untuk memiskinkan perempuan dari segi ekonomi dan sumber daya. Sementara itu, RUU Ketahanan Keluarga pun membebankan pekerjaan dan penghasilan pada laki-laki, dimana hal ini akan sangat membebani laki-laki.
Ranah privat dalam urusan interaksi seksual antara suami dan istri pun tidak luput dari intervensi RUU Ketahanan Keluarga ini. Padahal, ranah itu menjadi ranah yang terlalu privat untuk diurusi negara tanpa melihat hubungan sosial antar dua individu, yang dapat saling bekerja sama dalam keluarga.
RUU Ketahanan Keluarga juga tidak sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs memiliki 17 tujuan dimana tujuan ke lima dari SDGs adalah kesetaraan gender. Tujuan ke lima dari SDGs ini tentu tidak berdiri sendiri namun juga menunjang tercapainya tujuan-tujuan lainnya dalam SDGs seperti tanpa kemiskinan, pendidikan yang berkualitas dan kehidupan sehat dan sejahtera. Apabila RUU Ketahanan Keluarga ini diterapkan, maka tujuan dari SDGs tidak akan tercapai dan pembangunan akan bias gender karena tidak adanya kontribusi perempuan dalam pembangunan.
Padahal peran perempuan dalam pembangunan, pendidikan, dan upaya mencapai kehidupan yang sehat dan sejahtera sangat penting. Namun justru posisi perempuan masih rentan dan seolah dilemahkan dalam pembangunan dan pendidikan sebagai upaya untuk memiliki kehidupan yang sehat dan sejahtera. Oleh karena itu, dibutuhkan campur tangan perempuan dalam pembangunan, pendidikan dan dalam upaya mencapai kehidupan yang sehat dan sejahtera agar sesuai dengan kebutuhan perempuan.
Persoalan yang tidak kalah penting dari ngawurnya pasal-pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga adalah posisi orang tua tunggal yang dimarginalkan dari RUU ini. Seharusnya, pembuat rancangan undang-undang ini melihat bagaimana situasi yang dihadapi oleh banyak orang tua tunggal (baik ibu tunggal maupun ayah tunggal) yang apabila RUU ini diterapkan maka para orang tua tunggal ini tidak bisa melaksanakan ketentuan seperti dalam RUU Ketahanan Keluarga.
Sebagai orang tua tunggal, peran ganda yang harus dijalankan sudah bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan, apalagi ditambah dengan pasal-pasal yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh istri atau suami. Lebih khusus, RUU Ketahanan Keluarga akan sangat merugikan bagi kepala keluarga perempuan yang jumlahnya tidak sedikit di Indonesia, baik karena perceraian maupun kematian. Kepala keluarga perempuan memiliki peran ganda baik sebagai pencari nafkah maupun melaksanakan tugas domestik di rumah tangga. Kepala keluarga perempuan tentu tidak bisa disamaratakan dengan keluarga lain yang terdiri dari suami dan istri.
Selain diskriminasi pada orang tunggal, RUU Ketahanan Keluarga juga diskriminasi terhadap pemeluk kepercayaan di Indonesia, dalam hal ini pada persyaratan pernikahan yang semakin banyak. RUU ini mensyaratkan persyaratan pernikahan yang kian banyak, sedangkan pemeluk kepercayaan dan masyarakat adat belum cukup diakomodasi dengan baik oleh negara dalam hal pengurusan dokumen lahir dan sertifikat perkawinan.
RUU Ketahanan Keluarga seolah memiliki misi untuk menyeragamkan konsep keluarga tanpa melihat fakta yang ada bahwa keluarga-keluarga di Indonesia memiliki keragaman yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya dan adat istiadat. Keluarga di Indonesia lahir dan berada pada budaya dan adat istiadatnya masing-masing, yang berbeda satu dengan lainnya. Budaya dan adat istiadat ini memiliki aturannya sendiri dalam ranah keluarga, termasuk dalam pembagian peran antara suami dan istri, serta dalam hal pengasuhan anak.
Tentu saja, tidak semua budaya tersebut sejalan dengan definisi keluarga yang diinginkan dalam RUU Ketahanan Keluarga. RUU Ketahanan Keluarga dinilai berpihak pada keluarga kelas ekonomi elite karena menuntut keluarga di Indonesia untuk memiliki hunian dengan kamar dipisah antara orang tua dan anak, antara anak laki-laki dan perempuan. RUU ini tidak melihat fakta yang ada bahwa keluarga kelas menangah ke bawah tidak selalu memiliki hunian seperti yang diinginkan oleh RUU Ketahanan Keluarga.
Ada intervensi pada ranah agama, misalnya saja ada beberapa pasal yang mengatur tentang pengasuhan anak diafiliasikan dengan agama. Padahal, ranah agama dan keyakinan merupakan ranah privat yang sangat personal. Sehingga negara tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi yang berlebihan. Selain itu, campur tangan negara pada RUU ini berkaitan dengan agama dinilai melewati batas karena orang tua diwajibkan mengarahkan agama anaknya sesuai dengan agama orang tuanya.
RUU Ketahanan Keluarga terkesan ingin menyeragamkan keluarga dengan agama yang sama, yang mana hal ini dapat mengikis rasa toleransi masyarakat dan menyuburkan rasa intoleransi karena dengan RUU ini agama akan terkesan eksklusif. Campur tangan pemerintah lebih dibutuhkan oleh masyarakat dalam hal penjaminan untuk melaksanakan agama dan keyakinan dengan aman dan saling menghormati, serta penyediaan layanan publik yang ramah dan tidak membedakan agama.
Pengusul RUU Ketahanan Keluarga sepertinya lupa pada fakta sejarah bahwa tanpa gerakan perempuan yang ada sejak dulu, perempuan Indonesia tidak akan bisa maju seperti saat ini. Selain itu, banyak undang-undang yang lebih penting untuk dibahas, disahkan, dan terus dikawal keberlanjutannya seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang jelas lebih dibutuhkan oleh masyarakat.
Sebab, RUU Ketahanan Keluarga cenderung memiliki narasi yang manis, dengan menjadikan slogan keluarga sebagai tiang negara. Namun RUU ini mengancam kiprah perempuan, diskriminatif, dan terlalu mengintervensi kehidupan keluarga di Indonesia. Selain itu, RUU ini dinilai berbahaya karena tidak memisahkan antara etika moral dengan hukum, antara agama dengan hukum.