Perjuangan buruh dalam penetapan upah minimum di tahun 2014
Di penghujung tahun 2014 ini, kembali gerakan buruh turun jalan menyuarakan tuntutannya.[1] Salah satu tuntutannya adalah kenaikan upah minimum sebesar 30% (tiga puluh persen) dari upah minimum sebelumya. Seolah terulang lagi, pola perjuangan yang sama kembali terulang dilakukan oleh gerakan buruh dalam menuntut upah minimum.
Bukanlah gerakan buruhnya itu sendiri yang dipertanyakan dari kondisi demikian, namun yang perlu dijawab dari kondisi ini adalah hendak sampai kapan aksi akhir tahun menuntut upah minimum akan dilakukan? Apakah tahun depan dan terus menerusnya akan tetap dilakukan aksi kembali menuntut upah? Jika kenaikan upah minimum diyakini untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, apakah tidak ada isu lain yang dapat diperjuangkan buruh untuk meningktkan kesejahteraannya?
Secara realistis, jika kita melihat hitung-hitungan kalender tahunan, dengan merefleksikan perjuangan upah minimum di tahun 2013 misalkan. Isu upah terlihat sekali menguras waktu perjuangan buruh. Dimulai dari tengah tahun setelah lebaran, geliat aksi mulai ramai diperjuangkan hingga bulan akhir tahun. Lalu di awal tahun gerakan buruh masih harus berhadapan dengan isu penangguhan upah dan untuk beberapa daerah penetapan upah minimum sektoral masih belum selesai.
Untuk Upah Minimum Sektoral Provinsi DKI Jakarta, misalkan, baru ditetapkan akhir april 2014. Semua kegiatan perjuangan upah tersebut, meskipun diyakini gerakan buruh tetap melaksanakan kerja-kerja dan penanganan kasus anggota termasuk sebagaian serikat memperjuangkan dengan giat pelaksanaan jaminan sosial, nyaris menghabiskan waktu perjuangan buruh selama 1 tahun.
Selain itu, kekinian semakin tajam “nyinyirnya” buruh kerah putih (non pabrikan), yang konon katanya mengaku bukanlah buruh, terhadap gerakan buruh saat ini. Membuat bising dan kemacetan menjadi pandangan lazim mereka. Hal ini dengan mudah dapat kita lihat dari media sosial yang berkembang masif.
Lebih dari itu, jika dilihat dari framing media dalam menanggapi aksi buruh, meskipun harus di lihat lebih komprehensif lagi, terdapat kecenderungan gerakan buruh dalam menuntut upah tidak mendapatkankan dukungan dari media cetak ataupun online. Dari beberapa referensi berikut bisa menjadi rujukan konfirmasi, diantaranya:
- http://news.liputan6.com/read/2150725/minta-naik-gaji-buruh-di-bogor-tutup-jalan-saat-hari-ibu
- http://news.liputan6.com/read/2145616/demo-buruh-bubar-lalin-bundaran-hi-lancar
- http://megapolitan.kompas.com/read/2014/11/10/12324931/Demo.Buruh.dan.Pembangunan.MRT.Bisingnya.Bundaran.HI.Siang.Ini
- http://megapolitan.kompas.com/read/2014/11/26/16135241/Tak.Bisa.Bertemu.Ahok.Buruh.Bikin.Bising.Jalan.Medan.Merdeka.Selatan
- http://megapolitan.kompas.com/read/2014/12/10/1642157/.Mereka.Mau.Enak.tetapi.Nyusahin.Orang.?utm_source=news&utm_medium=bp-kompas&utm_campaign=related
Pembaca silahkan menafsirkan sendiri arah framing beberapa media berikut. Namun setidaknya dari 5 berita tersebut, kita dapat menduga kuat arah pemberitaan yang cenderung bersentimen negatif terhadap gerakan buruh yang ada kini. Bukanlah substansi yang diceritakan namun yang yang menjadi kesan kuat benturan dengan buruh lain lah yang ditonjolkan.
Padahal sebagaimana dipahami bersama, kenaikan upah minimum bukan hanya dirasakan oleh buruh yang memperjuangkannya dengan berkeringat di jalan tersebut, melainkan juga oleh semua pihak yang masih berstatus buruh/pekerja untuk dijadikan standard minimum/batas bawah dalam pemberian upah di tiap perusahaan.
Raibnya Fungsi Tripartisme Dan Dialog Sosial
Dalam konteks keterwakilan, sesungguhnya buruh telah memberikan mandat perjuangan upahnya kepada perwakilannya yang duduk di dewan pengupahan tiap-tiap daerah, namun dalam realita yang terjadi, fungsi keterwakilan tersebut tidak mampu membuat buruh berdiam diri menuggu hasil yang dikeluarkan oleh dewan pengupahan.
Apa sebab?. Dengan asumsi keterwakilan buruh di dewan pengupahan telah bekerja sesuai dengan mandat yang diberikan oleh serikatnya, beberapa faktor berikut berdasarkan observasi dan pengamatan penulis dilapangan menjadi alasannya:
- Tidak percayanya perwakilan buruh terhadap perwakilan dari pemerintah yang dianggap berpihak kepada kepentingan pengusaha
Dalam setiap kesepakatan di dewan pengupahan tidak selalu kesepakatan itu dilakukan dengan cara musyawarah mufakat, terkadang harus dilakukan mekanisme voting. Bagi buruh jika ada mekanisme voting, maka pemerintah telah terasumsi kuat akan bersepakat terhadap apa yang perwakilan pengusaha inginkan.
Disisi lain terdapat motif terselubung bagi pemerintah di tengah persaingan global untuk menggiur investor asing datang ke Indonesia dengan menawarkan iklim investasi yang baik iming-iming upah tenaga kerja murah. [2]
- Regulasi pengupahan yang tersedia saat ini tidak akan membuat buruh sejahtera
Kebutuhan hidup buruh yang diatur dalam peraturan menteri tenaga kerja no 13 tahun 2012 tentang kebutuhan hidup layak (Permenakertrans no 13 tahun 2012) bagi buruh masih jauh untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan 60 item kebutuhan yang menjadi dasar survey pasar sungguh tidak realistis bagi buruh untuk disejajarkan dengan kebutuhannya. Buruh meminta untuk dilakukannya peningkatan kualitas dan penambahan kuantitas dari 60 item kebutuhan yang ada.
contoh item yang diminta ditingkatkan yakni kamar kos yang berdasarkan regulasi yang ada hanya untuk ukuran 3X3 meter diganti dengan kamar ukuran kontrakan yang tidak hanya terdiri dari kamar saja, melainkan ada ruang mandi dan memasak yang terpisah.
Selain itu untuk kebutuhan air, buruh hanya diberikan jatah sejumlah 2 M kubik perbulan untuk lajang. Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) hanya menghargai Rp 9.360 per bulan[3] yang secara riil sangat tidak mencukupu bagi buruh.
Selain itu terdapat item yang diminta untuk dimasukan dalam komponen penghitunga upah, diantaranya uang pulsa dan hiburan televisi.
- Gerakan buruh yang mengedepankan otot dianggap lebih efisien dalam menggapai tuntutan buruh
Beberapa wilayah kab/kota yang memiliki daerah industri dan disana terdapat gerakan buruh yang kuat relatif nilai upah minimumnya pun jauh meninggalkan wilayah yang memiliki industri namun gerakan buruhnya lemah. Sebagai contoh selain bekasi terdapat karawang, bogor, tangerang mendapatkan upah minimum lebih dari Rp 2 juta rupiah, jauh melebihi kota semarang, pekalongan, demak yang walaupun memiliki daerah industri namun gerakan buruhnya masih lemah.
Kondisi yang demikian tidak dapat dibiarkan terjadi. Pengeluaran dan pendapatan dengan produksi yang relatif sama yang dihasilkan oleh perusahaan di daerah yang upah minimumnya lebih tinggi (jabodetabek) dengan yang lebih rendah akan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi buruh tersebut. Disisi lain terjadi kegamangan, mereka belum dapat melakukan perjuangan semaksimal buruh lain yang upah minimumnya telah jauh melewatinya.
Tidak berdayanya fungsi tripartit dalam proses penetapan upah kiranya perlu dievaluasi besar apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Untuk asumsi awal, penulis berpandangan masalahnya terjadi karena tidak berjalannya fungsi hukum perburuhan itu sendiri.
Asa Dan Peran Hukum Perburuhan
Sebagai model untuk mempelajari hukum dan masyarakat, perspektif konflik menekankan pada sifat memaksa dan represip dari sistem hukum. Sistem hukum tidak dipandang sebagai alat yang tidak berpihak bagi penyelesaian sengketa, melainkan suatu mekanisme bagi mereka yang mempunyai jumlah kekuasaan paling besar untuk memajukan kepentingannya.[4]
Kapanpun, hukum tidak mencerminkan konsensus nilai-nilai, juga tidak suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang disepakati bersama, melainkan sebaliknya menunjukan kepentingan bersama mereka yang berkuasa. Paradigma ini menggariskan bahwa klas ekonomi dominan yang memiliki dan mengendalikan produksi, mengkriminalisasikan perilaku-perilaku yang mengancam tatanan sosial ekonomi yang mengungkungnya.[5]
Disisi lain, menurut Lelio Basso, hukum mempunyai efektivitas bagi peningkatan peranan buruh. hukum adalah ungkapan kontradiksioner perjuangan kelas, bukan saja ungkapan kekuasaan kelas yang berkuasa. Jalan penyusupan unsur-unsur antagonis ke dalam tertib antara lain melalui jalan yang dilakukan oleh perkembangan kekuatan produksi yang memaksa kelas penguasa menyesuaikan diri. Perkembangan sistem ekonomi telah memaksa kelas penguasa untuk mengubah perundang-undangan yang lebih sesuai dengan kepentingan kolektif.[6]
Perubahan peraturan perundang-undangan terkait perburuhan mengkonfirmasi pandangan Lelio baso tersebut. Misalnya Permenaker no 13 tahun 2012, meskipun dirasa belum cukup, sesungguhnya merupakan hasil revisi dari peraturan menteri sebelumnya hanya mengatur item kebutuhan hidup layak buruh untuk di survey sejumlah 48. Dengan jargon mogok nasional yang dikumandangkan buruh dalam tuntutannya kali ini kembali buruh berharap ada perubahan kebijakan sebagai mana yang diharapkan oleh buruh.
Dalam situasi yang demikian ini, hukum perburuhan yang mengatur terkait proses dan penetapan upah minimum perlu dibenahi. Roscoe pound pernah menyatakan bahwa hukum merupakan alat rekayasa social (law as tool of social engineering). Dari fungsi tersebut, hukum dapat menjadi alat untuk mengatur akan hak asasi buruh guna mendapatkan berbagai perlindungan sosial dan mendapatkan upah yang layak. Beberapa usulan untuk dimasukan sebagai usulan kebijakan hukum yang masih mungkin bisa dikaji atau diperdebatkan lebih dalam yakni, perihal:
- Fungsi keterwakilan
Perlu ada pembenahan soal keterwakilan buruh yang duduk di dalam dewan pengupahan. Pemerintah harus berani melakukan verifikasi faktual perihal keanggotaan serikat guna penentuan siapa yang berhak duduk dalam forum tripartit semacam dewan pengupahan dengan dasar keanggotaan yang jelas. Hal ini juga berlaku untuk perwakilan dari perusahaan. Asosiasi pengusaha Indonesia tidaklah secara tegas dan tunggal dikatakan dalam peraturan perundang-undangan sebagai wadah asosiasi yang berhak mewakili unsur pengusaha.
Selama ini yang terjadi dalam komposisi keanggotaan dewan pengupahan di beberapa daerah terdapat anggota dewan pengupahan yang terkadang tidak jelas basis keanggotaannya.
- Item kebutuhan hidup layak
Permanekertran no 13 tahun 2012 telah mengamanatkan terdapat 60 item kebutahan hidup layak yang menjadi acuan survey dewan pengupahan di daerah. Dari kebutuhan riel yang ada, 60 item tersebut sungguh masih jauh dari apa yang diperlukan buruh. Oleh karena itu revisi penambahan kualitas dan kuantitas item menjadi mutlak dilakukan.
Disisi lain, regulasi pengaturan survey yang dibatasi untuk tidak dilakukan pada waktu tertentu sebagaimana diatur dalam permenakertrasn no 13 tahun 2012 perlu dicabut karena tidak ada dasar kuat buruh untuk tidak membelajakan uangnya saat waktu tertentu yang dilarang tersebut.
- Mendudukan upah minimum sesuai maknanya
Upah minimum pada hakekatnya adalah untuk pekerja yang masih lajang dan bekerja tidak lebih dari 1 tahun serta spesifik diperuntukan bagi pekerja yang lemah dalam dialog untuk penentuan upah dengan majikannya. Karena itu upah minimum disebut sebagai jaring pengaman agar buruh tersebut tidak jatuh pada kemiskinan.
Dari hakekat tersebut, maka pemerintah harus benar-benar mengawasi dan memastikan berjalannya upah minimum. Secara positivis, permanakertrans no 13 tahun 2012 dan kepmen 1 tahun 1999 yang telah diubah mejadi permenakertrans No. 7 tahun 2013 tentang upah minimum telah menegaskan bahwa upah minimum hanya berlaku untuk pekerja lajang dan bermassa kerja tidak lebih dari 1 tahun. Dalam praktek nyatanya banyak justru perusahaan yang tidak menerapkan konsesi demikian, upah pekerja 0 tahun dengan yang telah bekerja 10 tahun masih banyak yang disamakan. Kalaupun ada perbedaan jumlahnya hanya berkisar ribuan rupiah perbedaannya untuk perbedaan tahun masa kerja.
Disisi lain banyak pula perusahaan yang tidak membayar upah minimum baik yang secara prosedural diajukan dengan mekanisme penangguhan upah ataupun tidak. Padahal jika dilihat dari sanksi terhadap perusahaan yang membayar upah minimum dibawah ketentuan merupakan tindak pidana dan diancam hukuman maksimal 4 tahun penjara.
Disisi lain, perusahaan tidak pernah terbuka akan pendapat dan pengeluaran riilnya. Perusahaan hampir selalu mengatakan rugi terhadap pekerja dengan dasar yang tidak diberikan. Sehingga yang terjadi berbagai asumsi liar dari kebenaran atau kebohongan yang disampaikan oleh perusahaan tersebut.
Lemahnya pengawasan upah minimum dan tidak transparannya pendapatan perusahaan menjadi salah satu faktor mengapa serikat pekerja kini menuntut upah setinggi-tingginya. Upah minimum menjadi upah riel yang diterima buruh sebagai pendapatannya.
Hal tersebut tentu salah kaprah dari konsepsi upah minimum dan perjuangan gerakan buruh. Perjuangan buruh/serikat buruh tidak berhenti hingga sampai penetapan upah minimum saja, namun juga harus ada upaya negosiasi upah di level pabrik sesuai dengan kemampuan perusahaan yang tentunya berbeda-beda satu dengan lainnya.
Beberapa sekelumit masalah diatas kiranya dapat dikemas dalam satu wadah, yakni regulasi. Beberapa regulasi pengupahan yang bisa dimaksimalkan oleh buruh untuk memperjuangkan kepentingannya diantaranya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan (RPP Pengupahan) dan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengupahan nasional yang kemungkinan akan masuk kembali dalam program legislasi Nasional Periode 2015-2019. Jangan sampai kita baru ribut setelah regulasi disahkan. Mari berperan aktif!!! (Ar)
[1]Sesungguhnya tuntutan buruh dalam momen 2014 ini, tidak hanyak meminta kenaikan upah. Sebagai contoh Dalam siaran Pers KSPI, dikatakan bahwa Ratusan ribu buruh yang tergabung dalam KSPI,KSPSI AGN,KSBSI dan 41 federasi serikat pekerja di seluruh Indonesia akan melakukan aksi akbar pada 10 Desember 2014 dengan tuntutan:
- Menolak kenaikan harga BBM padahal harga minyak dunia saat ini telah turun/rendah. Kenaikan harga BBM ini mengakibatkan daya beli buruh turun hingga 50% serta kenaikan upah min(UMP/UMK) tidak dinikmati buruh.
- Mendesak para gubernur se Indonesia harus merevisi nilai UMP/UMK sekitar Rp 3 jutaan keatas dan menaker harus merevisi khl mjd 84 item. Hal ini tak lepas akibat dampak kenaikan harga BBM.
- Jalankan jaminan pensiun wajib mulai tahun 2015 dengan mengesahkan RPP pensiun bulan ini.
- Perbaiki jaminan kesehatan untuk rakyat dan buruh dengan cara menambah anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) menjadi Rp 30 triliun dan mengganti sistem INA CBGs dengan Fee For Service.
- Hapus sistem kerja outsourcing terutama di BUMN. Presiden Jokowi harus berani menghapus outsourcing ini sebagai bukti implementasi revolusi mental melawan perbudakan modern.
[2] Lihat Jafar Suryomenggolo, Kebangkitan Gerakan Buruh: refleksi era reformasi, CV Marjin Kiri, Tangerang Selatan, hal. 10
[3] http://megapolitan.kompas.com/read/2014/10/23/17274611/Demi.Buruh.Nilai.Kebutuhan.Hidup.Layak.Jakarta.Akan.Dikaji.Ulang
[4] Mulyana w kusumah, Beberapa perkembangan pemikiran dan masalah dalam sosiologi hukum, Bandung: alumni, 1981, hal. 16-17
[5] Ibid, hal 17
[6] Ibid, hal. 7