Medali kebebasan pers diterima Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat peringatan Hari Pers Nasional 2019. Perayaan yang jamak diperingati khalayak, meski sebenarnya hal itu merujuk pada hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), 9 Februari 2019 lalu. Medali ini didapat Jokowi sebab ia dianggap oleh Dewan Pers telah memberikan ruang kebebasan kepada komunitas pers untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun, celakanya kebebasan pers tidak hanya dinilai dari hal tersebut. Tidak adanya intervensi pemerintah pada kerja media hanyalah satu aspek dalam menjamin kebebasan pers dalam sebuah negara.
Pada media penyiaran hal itu lebih ironi lagi. Prinsip Diversity of Ownership and Diversity of Content atau Keragaman Kepemilikan dan Keragaman Isi Media sama sekali belum menjadi jaminan dari Indonesia. Pasalnya, kebebasan pers, berekspresi dan menyampaikan pendapat saja tidak cukup. Jika dilihat pada kenyataan industri media saat ini, secara tak sadar kita sebenarnya mulai terjebak pada praktek monopoli kuasa segelintir pemilik modal di perusahaan media atas nama kebebasan pers.
Kebebasan pers sendiri saat ini juga tidak didukung dengan fakta kebebasan berorganisasi dan kebebasan berekspresi bagi para jurnalis dan pekerja media untuk membentuk organisasi serikat pekerja di Perusahaan media. Masih relevan dalam ingatan kita pada tahun 2010, perjuangan serikat karyawan Indosiar yang harus menghadapi persoalan pemberangusan serikat pekerja yang dilakukan oleh manajemen PT Indosiar Visual Mandiri. Bukan tidak mungkin praktek yang sama juga terjadi di banyak perusahaan media lainnya, yang hanya dimiliki oleh segelintir orang.
Peran Media Dalam Isu Buruh
Peranan media sangat sentral dalam menyampaikan informasi kepada publik. Media merupakan penyambung lidah suara-suara akar rumput khususnya kelompok marginal seperti buruh, petani, nelayan, dalam menyuarakan berbagai persoalan ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dihadapi, serta seringkali memberikan kontribusi besar kepada kelompok marginal untuk mempengaruhi pembuat kebijakan.
Ironisnya pemberitaan terhadap buruh santer sekali terjadi praktis hanya setahun sekali itu, yakni setiap tanggal 1 Mei, momentum dimana buruh memperingati perjuangan kelas pekerja secara Internasional. Dalam beberapa dekade belakangan ini media mainstream bahkan cenderung menegasikan buruh dengan narasi yang pincang.
Isu buruh cenderung selalu dibingkai dengan narasi sinisme, bias kelas, apatis, dalam meliput atau memberitakan agenda dan aksi perjuangan buruh itu sendiri. Sebagian dari kita mungkin masih akrab dengan pemberitaan-pemberitaan yang ramai pada headline media online, seperti “Buruh Naik Motor Ninja, Tuntut Kenaikan Upah”, atau “Aksi Demo Buruh Sisakan Sampah Berserakan”, atau pula “Demo Hari Buruh Ricuh, Sebabkan Macet Ibu Kota!”
Narasi-narasi seperti ini cukup berhasil membangun opini dan perspektif masyarakat bahwa citra buruh hanyalah sekadar kelas bawah. Mereka tak tahu diuntung, dan kerjaannya selalu menuntut. Berbagai komentar negatif kerap kali mudah didapatkan dalam setiap pemberitaan yang meliput aksi demonstrasi buruh.
Pada akhirnya, agenda perjuangan buruh yang menjadi esensi utama, kemudian tertimbun dengan berita sampah-sampah berserakan dan kemacetan yang mengular di sepanjang sudut ibu kota Jakarta akibat demo buruh. Atau, contoh kasus yang paling baru adalah mengenai aksi demo buruh di Bandung yang disusupi oknum berpakaian serba hitam. Hal ini kemudian mengundang pertanyaan yang lebih dalam. Mengapa narasi media terhadap buruh selalu demikian ? Padahal, sesungguhnya pekerja media adalah buruh tanpa disadari.
Anggapan semacam ini mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam pemahaman istilah “buruh”, yang identik dengan pekerja kerah biru, pekerja kasar. Utamanya bagi mereka yang bekerja mengandalkan kerja fisik. Misalnya, tukang sapu jalanan, pekerja bangunan, sopir angkot, tukang sampah, kuli, dan sebagainya.
Makna pekerja kasar dan tidak berpendidikan ini kemudian dilanggengkan media. Sehingga hal itu seolah lepas dari entitas para pekerja yang lebih senang menyebut dirinya ‘karyawan’ dan ‘karyawati’. Seperti halnya para pekerja media, yang lebih dianggap sebagai pekerja “professional” dengan segudang keahlian dan pendidikan yang dimiliki. Sehingga menimbulkan kesadaran palsu bahwa mereka adalah pekerja professional, bukan “buruh”.
Meski pada kenyataannya, siapapun orang yang tidak memiliki modal kapital adalah buruh. Siapapun orang yang masih bekerja berdasarkan perintah dari pemberi kerja untuk mendapatkan upah adalah buruh. Sehingga apa yang diperjuangkan oleh buruh, sesungguhnya adalah perjuangan bersama. Perjuangan para kelas pekerja, termasuk pekerja media.
Pada akhirnya, pers hanyalah menjadi sebuah industri professional yang digerakkan oleh profit. Dampaknya, lanskap industri media hari ini cenderung hanya mengandalkan kecepatan dan kuantitas produksi suatu konten berita. Porsi pemberitaan yang ditentukan oleh kapital media ini sayangnya tidak didukung dengan perspektif kritis para pekerja media terhadap isu gerakan rakyat, dalam hal ini gerakan buruh.
Padahal konsekuensinya amat berat bagi para pekerja media, target produksi yang mencekik membuat para jurnalis harus menghadapi kerentanan dalam melaksanakan tugasnya, hingga mempengaruhi kualitas karya yang dihasilkan akibat tidak adanya waktu cukup untuk melakukan investigasi mendalam terhadap suatu fenomena yang diliput.
Konsekuensi lainnya, narasi pemberitaan isu buruh cenderung dangkal dan hanya mengangkat dari sekedar apa yang terlihat di permukaan. Media tidak lebih jauh menyelami apa yang sesungguhnya diperjuangkan oleh buruh. Buruh hanya menjadi obyek pemberitaan, tanpa dilibatkan untuk menyuarakan opininya menjelaskan akar masalah yang dihadapi buruh itu sendiri.
Tentu saja tanpa kita sadari, akan selalu ada alasan dibalik mengapa buruh sampai harus demo? Mengapa demo hari buruh harus membuat macet jalanan ibu kota? Minimal sekiranya perlu untuk mempertanyakan secara kritis, mengapa sampai ada ribuan buruh yang turun ke jalan untuk melakukan aksi unjuk rasa?
Kolaborasi: Jalan Tengah Gerakan Buruh Ditengah Keputusasaan
Ironinya, dibalik narasi sinisme pemberitaan isu buruh, kondisi kerja pekerja media juga masih memprihatinkan. Merujuk pada data hasil survei yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada November-Desember 2018, rata-rata para jurnalis muda yang telah menekuni profesinya selama satu sampai tiga tahun di 10 media di Indonesia, mendapatkan upah dibawah UMP DKI Jakarta 2019, yang sebesar Rp 3,94 juta.
Padahal menurut Pasal 8 Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers, setidaknya upah jurnalis harus senilai dengan UMP. Tak hanya itu, 40% responden mengaku, hari libur mereka kurang dari 2 hari dalam sepekan, 30% dari jurnalis responden juga harus bekerja lebih dari 10 jam sehari. Bahkan, 95% responden menyatakan tidak memperoleh uang lembur ketika bekerja lebih dari 8 jam sehari.
Oligarki kepemilikan industri media yang masih menancap tegak, membungkam kesadaran kritis para pekerja media bahwa mereka adalah bagian dari buruh. Tak dapat dipungkiri, isu perburuhan memiliki dualisme kepentingan antara pihak kapital dan buruh. Di saat yang bersamaan, industri media berperan penting dalam mempengaruhi kepentingan ekonomi politik para konglomerat media itu sendiri dan juga jaringan-jaringan bisnisnya di sektor lain.[1]
Kini sikap jurnalis sangatlah diperlukan. Menjadi sulit ketika kita menyatakan bahwa jurnalis harus netral dan lepas dari corong-corong kepentingan. Paling penting adalah sikap jurnalis dalam setiap peliputannya diperlukan, sebab jurnalis juga tidak terbebas dari nilai, latar belakang sosial, pendidikan, laku hidup, agama, dan pengalamannya. Sikap dan keberpihakan itulah yang nantinya dapat menyatukan gerakan buruh sehingga meleburkan jurang kelas pekerja.
Era yang semakin kolaboratif seharusnya bisa dimanfaatkan oleh serikat buruh dan wartawan. Sebab buruh dan serikat kini juga telah memanfaatkan media website sebagai pemberitaan alternatif. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam hal ini sebenarnya memiliki peran strategis sebagai wadah organisasi profesi. AJI menjadi jembatan antara serikat buruh, organisasi media, dan masyarakat sipil (civil society).
Ketiganya, harus senantiasa berulur tangan dalam menyampaikan agenda bersama gerakan buruh, dimana yang terjadi saat ini di beberapa perusahaan media masih sulit untuk membentuk serikat pekerja media. Jika simpul ini terangkul, maka sensitivitas dan perspektif isu perburuhan yang berperspektif tentang isu Hak Asasi Manusia melalui media-media alternatif yang sudah dirintis oleh serikat buruh.
Sebut saja buruh-online.com, solidaritas.net, turc.or.id, majalahsedane.org, trimurti.id, ksn.or.id, radio marsinah fm, dan kspi.or.id adalah contoh sebagian media alternatif dalam semangat gerakan buruh. Meski kini media-media ini masih sangat terbatas persebarannya, rata-rata hanya dikenal oleh kalangan buruh. Bila obor ini semakin dikuatkan, maka arus informasi yang kini banjir tak akan semakin bias.
Sebab dunia kini memang benar-benar dalam genggaman. Hal ini bukan berarti bahwa buruh tidak percaya pada media arus utama. Namun titik tekannya adalah pada perspektif kepentingan gerakan dan kepentingan rakyat. Media alternatif akan membawa publik untuk menilai dan memberikan analisis kritis, kesimpulan, hingga memberi penyadaran bagaimana kita sebaiknya dalam menyikapi kepentingan bersama ini. Sehingga gelembung isu buruh bisa menjadi agenda kepentingan semua pihak, tanpa harus bias kelas. (Andriko Otang, Evania Putri, dan Wean Guspa Upadhi)
Tulisan ini juga telah dipublikasikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam buku \”Refleksi Dua Dekade kebebasan Catatan Masyarakat Sipil Atas 20 Tahun Kebebasan Pers\”
[1] Tapsell, Ross. 2018. Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution.Rowan & Littlefield International