Jane worthington, Direktur IFJ Asia Pasific, Australia dan Adam Portelli, dari Victorian Branch of Media Entertaintment and Art Alliance (MEAA) Australia menyebutkan apa yang terjadi di dunia jurnalistik Australia sama peliknya dengan apa yang terjadi di Indonesia. Rata-rata jurnalis masih hidup dengan gaji yang tak layak dan sulitnya untuk membentuk serikat di negara tersebut. Hal itu disampaikannya dalam Agenda Konferensi Regional dan Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (6/8/2019).
Jane mengungkapkan, sejauh ini, permasalahan ini belum dapat dijawab. Jurnalis kini berhadapan dengan ancaman utama, yaitu gaji tak layak, dan kondisi kerja buruk. Para jurnalis juga kini tengah berjibaku agar pekerjaan ini tetap menjadi pilihan profesi yang layak. Jane kini tengah berupaya untuk menjadikan fenomena ini untuk dijadikan kajian-kajian serius agar terpecagkan masalah yang ada.
Sebab kini, banyak jurnalis muda di Australia harus bekerja dengan jam kerja sangat panjang, namun gaji tidak layak. Akibatnya mereka mengalami stress karena gajinya rendah. Hingga pada akhirnya pilihan untuk keluar dari industri media menjadi pilihan yang paling banyak dipilih. Jika kondisi ini terus terjadi, maka bukan tidak mungkin maka hal ini akan menghancurkan jurnalisme yang berkualitas secara perlahan.
Jane juga menyatakan, kini menurtutnya jurnalisme memang telah benar-benar berubah. Kini telah banyak orang membaca dari berbagai platform yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Hal inilah yang menurutnya perlu dicermati bersama. Jane juga menyebut soal serikat kerja yang menurutnya masih terdapat beberapa masalah sendiri.
Serikat menjadi corong untuk menyuarakan agenda besar dalam mengedepankan hak mereka. Jurnalis-jurnalis yang masuk serikat ini adalah jurnalis muda. Serikat bagi mereka adalah sarana penyedaran memperjuangkan hak mereka sendiri sebagai pekerja. Salah satu isu sentralnya adalah upah layak dan jam kerja yang layak bagi jurnalis.
“Ini soal kondisi kerja di masa depan. Lintas pekerja. Semua mengambil isu upah dan kondisi kerja. Ini lah yang perlu kita soroti,” kata Jane Worthington.
IFJ selama ini tengah mengkaji topik ini dan juga merumuskan, bagaimana memobilisasi serikat pekerja baik online maupun ofline di satu industri ke industri lainnya. Sebab kini hamper semua orang membicarakan isu dan keresahan tersebut digawai masing-masing. Hal tersebut kemudian juga dinilai oleh perserikatan penulis di Amerika, bahwa kecenderungan pekerja membuat serikat pekerja untuk mengatasi masalah sosial.
Meski hal ini juga menurut Jane masih perlu melakukan riset mengenai serikat pekerja jurnalis yang lebih mendalam. Sebab kini yang jamak terjadi adalah jurnalis tidak dibayar secara teratur, dan penyensoran yang massif terjadi pada media-media pemberitaan.
“Kita melakukan investigasi ini bersama,” tutup Jane.
Apa yang dikatakan oleh Jane, juga ditanggapi oleh Adam Portelli. Adam bahkan menyebut jika kondisi yang dihadapi serikat pekerja di Australia, terutama pada lanskap industri media digital tak berbeda jauh dengan Indonesia. Pekerjaan yang dahulu memiliki serikat dan upah yang layak kini berubah menjadi pekerjaan dengan upah yang rendah. Meskipun, rata-rata pekerja itu adalah pekerja muda dan senang bekerja sebagai jurnalis, namun mereka semua tidak mendapat upah yang layak untuk kehidupan sehari-hari.
“Undang-undang Ketenagakerjaan di Australia tidak berlaku untuk media digital. Sementara kini hanya berlaku untuk broadcasting,” kata Adam Portelli.
Atas dasar itulah, kemudian pekerja membuat serikat. Dimana mereka para pekerja digital memperjuangkan untuk mendapatkan hak cuti dan kerja layak. Mereka juga melakukan advokasi yang baik.
Apa yang terjadi pada pekerja di Privat Media adalah salah satu bukti bahwa advokasi tersebut berjalan dengan baik. Mereka akhirnya sepakat agar memberikan kompensasi bagi jurnalis muda untuk bekerja selama 40 jam dalam seminggu. Hal ini juga pada akhirnya berimplikasi pada banyak media lain yang meniru. Salah satunya adalah The Guardians yang akhirnya membentuk serikat pekerja. Para pekerja kemudian mmbuat perjanjian kerja baru, agar mereka mendapat insentif lembur.
“Kita lihat, siapa yg mampu membuat kebijakan. Bukan dari pusat serikat pekerja tetapi pekerja sendiri yang mengambil keputusan dan mereka menyadari bahwa berserikat adalah cara untuk menghadapi masalah-masalah tersebut,” kata Adam.
Menurutnya, sebenarnya untuk mengatasi masalah yang pelik ini adalah mudah. Pertama mengubah undang-undang industri yang tidak mewadahi pekerja media digital dalam segi upah yang layak. Ini bukan hanya soal uang, tetapi etika bisnis dan keberagaman dari rekrutmen.
Kedua, adalah dengan membangun solidaritas membentuk perjanjian kerja bersama yang mendapat upah layak seperi bekerja di media konvensional pada umumnya. Peraturan-peraturan seperti ini juga seharunya berlaku untuk freelancer. Karena sebelumnya freelancer tidak dianggap sebagai pekerja yang berhak mendapat upah minimum dan jam kerja minimum.
“Anggota dan calon anggota kami sangat aktif di media sosial dibandingkan serikat pekerja lainnya. Dialog biasanya terjadi di newsroom kini terjadi di sosial media,” ungkapnya.
Adam juga punya usul, bahwa seharusnya serikat ekonomi harus mengubah caranya berserikat. Dimana dialog-dialog itu justru kini banyak terjadi di media sosial. Banyak pekerja yang menumpahkan keluh kesahnya di media sosial milik mereka. Selain itu, kini juga banyak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di media cetak dan digital.
“Dulu laki-laki 49 tahun, kini pekerja media menjadi muda dan perempuan. Ini penting dipahami untuk menggabungkan, karena untuk menyatukan aspirasi mereka. Kita harus mengampaikan secara kolektif yang mengalami kondisi kerja jauh berbeda dengan kami dahulu,” kata Adam.
Kini, anggota pekerja media digital cukuplah besar. Selama empat hingga lima tahun terakhir freelancer menjadi pilihan pekerjaan yang sangat diminati di Australia. Umumnya kini mereka telah bergabung dengan serikat, untuk memperjuangkan hak-haknya. Masalah penolakan serikat juga terjadi. Seperti di Indonesia pada umumnya.
“Tapi kami terus melakukan upaya untuk bergaining di industri. Hingga pada akhirnya, apa yang tak bisa dinegosiasi pada tingkat individu, mereka bisa negosiasi ditingkat industri,” ungkapnya.
Sehingga, pada akhirnya industri media kini mendukung dan sadar akan posisi para pekerja freelance. Dimana perusahaan media ataupun rumah produksi yang kemudian menjadi lebih paham jika pekerja freelance harus dibayar dengan upah yang layak dan sesuai dengan apa yang pekerja inginkan. (Wean Guspa Upadhi)