Serikat fase pertama di Indonesia
Runtutan panjang sejarah terbantuknya serikat buruh di Indonesia memiliki latar belakang melawan sistem imperealisme yang dilakukan oleh perusahaan dagang Belanda (VOC) sekitar abad ke 20.[1] Era tersebut buruh melakukan tindakan istmewa dengan melakukan pengorganisiran diri, selanjutnya diikuti oleh organisasi-organisasi lain seperti Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam, dan beberapa serikat pekerja. Konteks Indonesia pada jaman tersebut beridirinya serikat pekerja memiliki motif sebagai alat untuk memperjuangkan kemerdekaan dan merebut apa yang menjadi hak pekerja.
Upaya tersebut merupakan wujud implementasi sebuah pergerakan kombinasi antara orientasi ekonomi dan politik. Sisi ekonomi, bahwa terbentuknya serikat pekerja demi memperjuangkan hak-hak pekerja atas hasil bumi yang telah meraka tanam. Sedangkan dalam sisi politik, upaya yang mereka lakukan melalui serikat sebagai lembaga sosial merupakan alat untuk berpolitik dengan pemiliki modal melakukan gerakan ekstraparlementer demi imajnasi terbebas dari ketiak imperealisme.[2]
Puncaknya pada tahun 23 Mei 1920 mimpi kaum buruh memiliki kendaraan politik sendiri terwujud melalui terbentuknya Partai Komunis Indonesia (PKI), berdirinya institusi politik ini tidak mereduksi peran serikat pekerja yang terlebih dahulu muncul. Peran serikat menjadi lebih luas, selain meningkatkan posisi tawar dihadapan pemberi kerja sekaligus sebagai wadah kaderisasi sebelum masuk menjadi kader politik PKI. Ihwal PKI mendapatkan tekanan represif dari Negara pun pernah menimpa pula serikat buruh yang ada di Negara Brazil, Gindin (2016) menuliskan bagaimana pola penekanan struktur pemerintahan menggunakan kekuatan militer dan penyebaran isu komunis untuk mematikan gerakan.
Kesamaan PKI dan serikat buruh di Brazil mendapatkan tekanan dari Negara, karena memiliki muatan ideologi sosialisme yang lekat dengan kaum kiri atau berpaham Marxisme. Bagi Negara menganut sistem pemerintahan Republik yaitu Indonesia dan Brazil paham tersebut dianggap mengancam, karena mengedepankan kepemilikan bersama yang dijamin oleh Negara.
Serikat masa kini
Soal nama banyak yang memakai penyebutan serikat buruh sebagai penanda identitas kelas sosial lapisan bawah, makna tersebut diyakini lebih memiliki power sebagai penggerak massa sebagai kekuatan utama serikat. Memiliki modal sosial massa terorganisir, serikat buruh berhasil memperjuangkan kebutuhan anggotanya yang memiliki dampak secara luas.
Pada akhir tahun 2013-2014 , menurut data yang TURC miliki beberapa daerah kerap melakukan aksi untuk menuntut kenaikan upah. Ada perbedaan menarik dalam data yang TURC kumpulkan, bahwa daerah yang tidak melakukan serangkaian aksi upahnya pun tetap naik meski tidak sebesar daerah yang melakukan aksi turun jalan.[3] Hasil tersebut merupakan buah dari perjuangan serikat buruh dan masuk dalam kriteria orientasi gerakan sosial. Serangkaian aksi masih terjadi di tahun 2013, beberapa serikat buruh yang tergabung dalam aliansi KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial) melakukan sebuah gerakan berorientasi sosial. Mereka menuntut untuk segera dilaksanakannya RUU BPJS agar bisa dinikmati secara luas dari lapisan kelas manapun.
Nilai perjuangan yang dilakukan tersebut merupakan wujud bahwa serikat buruh memiliki sensitivitas sosial cukup tinggi. Merujuk pada Durkheim penganut positivism, bahwa perubahan sosial terjadi karena sebuah evolusi dalam memengaruhi cara pengorganisasian masyarakat khususnya dalam berhubungan kerja. Meletakkan serikat buruh dalam posisi seperti ini, secara pengorganisiran mereka masih konvensional. Anggota yang diorganisir masih dalam batas anggota mereka sendiri dan belum mampu melibatkan pegorganisiran yang lebih luas. Serikat buruh hanya sebatas lembaga sosial, ihwal fungsinya dapat melakukan sebuah perubahan sosial.
Merujuk pada Giddens dalam buku the third wave, kepentingan bersama yang dilakukan serikat buruh dalam melakukan perubahan melalui tindakan kolektif tanpa melibatkan lembaga yang mapan memperkuat orientasi gerakan buruh merupakan gerakan sosial. Hal ini merupakan sebuah pengulangan pencapaian sejarah manis sejak awal mulanya serikat buruh. Bermula dari sebuah perkumpulan dan pada akhirnya membentuk serikat buruh untuk mengakomodir kebutuhan anggotanya, lalu memberikan pengaruh atas terbentuknya perkumpulan lain pada masa imperealisme dan berjuang di ranah sosial dan politik sudah pernah terjadi.[4]
Prestasi tersebut begitu elok jika dipertahankan dalam kacamata gerakan sosial. Gerakan tersebut seakan sirna sesaat setelah adanya pemilu pilpres yang mempertemuakan vis-à-vis [5]Jokowi dan Prabowo. Adanya dua calon tersebut merupakan awal mula parsialnya gerakan buruh secara kelemabgaan sosial. Terpecahnya dua kubu buruh dalam sisi dukungan dipengaruhi oleh variabel aktor, sejatinya kekuatan serikat buruh ada di anggota tidak dapat dipungkiri bahwa penokohan dalam organisasi tersebut masih sangat kental. Terbukti sampai masalah isu yang dikeluarkan pun tidak lepas dari peran aktor tersebut.
Isu utama yang diperjuangkan oleh serikat buruh jika dilihat dari momentum mayday menuntut kenaikan upah dan menolak outsourcing.Banyak buruh di sektor manapun diayar dibawah upah minimum, seperti di kawasan berikat Cakung, Kawasan CIleungsi perbatasan Kabupaten Bogor dan Bekasi, Kawasan industri di Sukabumi. Keseluruhan rendahnya take home pay -yang diterima buruh- khususnya di sektor garmen dan tekstil. [6] Bahkan dari kawasan-kawasan industri tersebut juga ditemukan pula mengenai status buruh yang masih outsourcing.
Penulis melihat bahwa orientasi sosial gerakan buruh masih skala kecil, jika ada pihak lain di luar serikat buruh dan menyangkut kebutuhan buruh itu sendiri maka isu tersebut akan mencuat ke permukaan. Bahkan sampai tahun 2016 buruh masih berkutat dengan isu politik upah murah, padahal masih banyak isu lain yang memiliki efek sosial lebih luas jika diperjuangkan dengan serius. Penulis tidak menampik adanya permenaker 21 dan PP 78 tahun 2015 mereduksi peran dewan pengupahan yang setiap tahun memberikan rekomendasi kepada kepala daerah terkait kenaikan upah yang diminta.
Penulis melihat sisi lain, bahwa jika hanya berkutat di seputaran upah semata gerakan buruh dari masa ke masa tidak akan memiliki sebuah kebaruan. Politisasi upah murah kerap dilakukan aktor-aktor dalam tubuh serikat buruh, hipotesis penulis hal ini dilakukan untuk menarik massa agar dapat bergerak secara sistematis dan massif, lalu guna meraih simpati massa yang lebih besar dalam mengorganisir. Kesimpulannya bahwa serikat buruh sejatinya juga melakukan pendidikan kepada anggotanya, jika inisiasi ini dilakukan secara ajeg, maka terbuka kemungkinan terbentuk lembaga sosial yang mapan . Iuran anggota berjalan lancar setiap bulan, kualitas sumber daya buruh terus diperbaharui maka perjuangan buruh tidak hanya berhenti pada ranah ekonomi namun juga mencakup perjuangan sosial. Jika kondisi tersebut terwujud, terbuka kemungkinan nilai perjuangan serikat buruh akan mendapat respon positif dari masyarakat
Ditulis oleh: Rahmat Fauzi
Referensi
Aidit, D.N. 1952. Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
Giddens, Anthony. 2013. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Cambridge: Polity Press.
Multatuli. 1927. Max Havelar, or, The Coffe Auctions od a dutch trading company. Penguin Books
Porto, Della and Diani. 1999. An Social Movements: second edition.Blackwell Publishing
Referensi selain buku
Data Litbang TURC. 2016
[1] Multatuli. 1927. Max Havelar, or, The Coffe Auctions od a dutch trading company. Penguin Books
[2] Imperealisme merujuk KBBI, merupakan upaya penduduk yang dilakukan penjajah untuk menghisap sumber daya alam di wilayah tersebut.
[3] Data Litbang TURC.
[4] Aidit, D.N. 1952. Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
[5] Lihat KBBI, makna vis-à-vis adalah berhadapan secara langsung
[6] Draft hasil penelitian TURC tentang precarious work (2016) belum diterbitkan