TURC Logo White Transparent
Svg Vector Icons : http://www.onlinewebfonts.com/icon
Search
Search
Close this search box.

Omnibus Law dan Ancaman Resesi Global

Ekonomi dunia sedang mengalami perlambatan baikdinegara-negaramaju maupun berkembang. Fenomena ini dikenal dengan resesi global, artinya perlambatan aktivitas ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut atau lebih dalam satu tahun. Negara dengan kekuatan ekonomi besar, seperti Uni Eropa pun kini resesi terdeteksi. Laju pertumbuhan ekonomi hanya 1,26 persen, pada tahun 2019. Hal itu tentu menurun, jika dibandingkan tahun 2018 yaitu 2,23 persen. 

Laju pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada tahun 2019, juga hanya mencapai 1,84 persen saja. Tentu ini menurun drastis dibandingkan tahun 2018, dimana tahun itu pertumbuhan ekonomi mencapai 3,54persen. Apa yang dialami oleh China pun tak jauh berbeda. Pada tahun yang sama, 2019 China hanya mengalami kenaikan 6 persen saja. Ini berbeda dengan tahun sebelumnya yang pertumbuhan ekonominya bisa mencapai 6,80 persen[1]. Penyebab resesi global ini tak lain imbas dari perang dagang United States vs China. Akibatnya, banyak investor menarik kembali investasinya di berbagai negara[2].

Kondisi inimenjadi momok menakutkanbagisetiap negara.  Sebab, jika suatu negara resesi, hal ini tentu akan berdampak pada negara lain. Ikatan perdagangan dan investasi bisnis membuatnya saling terkait dan bergantung. Namun, apa yang ditempuh pemerintah Indonesia yakin bahwa ditengah situasi seperti sekarang ini, Indonesia tidak mengalami resesi akibat imbas dari perekonomian global. 

Deputi Koordinasi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir[3],  menyebut bahwa pemerintah optimis nilai investasi yang masuk  ke Indonesia akan meningkat dengan adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerjadan Undang-Undang Perpajakan. Ditambah lagi, faktor konsumsi Indonesia tiap tahunnya selalu tumbuh positif dan menjadi penopang tumbuhnya perekonomian Indonesia. 

Ditengah ketidakpastian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun 2019 di antara negara G20, praktis Indonesia hanya bertengger dua tingkatdibawah China, yaitu 5,02 persen. Namun, pemerintah Indonesia tetap percaya bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin membaik. Cerminannya dari inflasi yang rendah, stabil, menurunnya pengangguran, kemiskinan dan rasio gini[4].

Belajar Dari Pengalaman

Dalam literatur ekonomi, muncul teori Gelombang Kondratief. Perekonomian Barat rentan terhadap siklus krisis setiap 50 atau 60 tahunan. Teori ini diadopsi oleh Joseph A. Schumpeter, tentang siklus bisnis yang menjadi ciri perekonomian kapitalis. Kemudian hal itu ditulis kembali oleh Hatta pada zaman kemerdekaan. 

Teori ini menjadi perhatian Peter F. Drucker, seorang guru manajemen asal Hongaria. Drucker menjelaskan, setelah Amerika Serikat (AS) mengalami pertumbuhan ekonomi selama lima dasawarsa, dan mampu menciptakan lapangan kerja di AS dan negara-negara maju lainnya, namun pada tingkat yang lebih rendah ternyata perekonomian AS mengalami resesi. Dimana dampaknya juga ikut dirasakan di Indonesia[5]

Pasca terjadinya resesi tersebut, ada pergeseran sumber pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Jika sebelumnya hanya dipegang oleh perusahaan-perusahaan besar, kemudian hal itu kini beralih pada usaha-usaha kecil dan menengah yang dipimpin para wirausaha inovatif[6]. Sehingga, untuk merespon resesi tersebut pada tahun 1980-an, terjadi kebangkitan industri kecil dan menengah di AS, Jepang, dan Taiwan yang memang sengaja melakukan industrialisasi berbasis usaha skala kecil. Kebangkitan ini disusul Skandinavia, Jerman, dan Korea Selatan[7].

Berbeda dengan negara lain, respon Indonesia justru menjalankan liberalisasi ekonomi, pertama, dimulai dengan reformasi pajak tahun 1983 dan kemudian reformasi moneter tahun 1984. Konsekuensinya, pemerintah menggantungkan diri pada perusahaan-perusahaan besar sebagai motor penggerak pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Kedua, meningkatkan ekspor non-migas karena merosotnya migas sebagai sumber devisa. Disini tampak bahwa pemerintah Orde Baru telah  mengekalkan pola perekonomian extroverted, yang menjadi ciri perekonomian pasca kolonial. Padahal perekonomian dunia sendiri sedang mengalami resesi. 

Kemudian guna meningkatkan efisiensi industri-industri besar, pemerintah melakukan deregulasi sektor perdagangan yang memberi kesempatan pada industri untuk mengimpor barang modal yang harganya lebih murah. Kebijakan ini tentunya merugikan industri barang modal nasional, dengan demikian menciptakan deindustrialisasi di Indonesia.

Pada tahun 1997 perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter sebagai akibat dari kebijakan suku bunga tinggi guna menarik modal asing atau mengakses modal dari luar negeri yang bersuku bunga lebih rendah[8]. Meskipun hal tersebut bukan menjadi faktor tunggal terjadinya krisis moneter namun setidaknya menjadi proses pembelajaran bahwasanya resesi ini akan terjadi dan perlu menjadi pengalaman sejarah.

 

Kepercayaan Diri: Omnibus Law dan Kondisi Indusri Di Sektor Ril

Pemerintah perlu memperhatikan kondisi industri dan sektor riil di Indonesia. Data menyebutkan bahwa rupiah mengalami pelemahan secara struktural. Hal itu jika diamati dari medio tahun 2014-2019 saja, rupiah telah melemah hingga 19,6%[9]. Namun, porsi kepemilikan asing dalam surat utang pada tahun 2018 justru naik hingga 39,3 lebih tinggi dibandingkan negara lain seperti Malaysia, Thailand, Korea, Japan, dan China[10]

Rencana pembangunan Ibu Kota Baru, dan pembangunan infrakstruktur lainnya juga memakan banyak biaya dari hasil hutang. Kondisi ini tentu berbahaya bagi ekonomi Indonesia, mengingat kondisi ekonomi banyak ditopang oleh asing sehingga rentan terhadap kondisi ekonomi global. 

Kemudian jika melihat kondisi domestik dalam negeri. Dimana pertumbuhan konsumsi yang digadang-gadang naik setiap tahunnya, justru mengalami penurunan. Bank Indonesia (BI) pada bulan Juli 2019 lalu, menyebut jika Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) per pendapatan mengalami penurunan dari yang sebelumnya 126,5 turun menjadi 124,9. Ini adalah isyarat, jika konsumsi rumah tangga cenderung melambat.Sehingga, bukan tidak mungkin hal itu akanberdampak pada laju pertumbuhan ekonomi, padahal kontribusi konsumsi rumah tangga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi paling besar hanya mencapai 57 persen[11].  Jika dilihat, angka ini signifikan untuk menambah pertumbuhan ekonomi. 

Sementara itu, RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini justru menekan upah yang berakibat pada konsumsi rumah tangga turun. Tak hanya itu, RUU ini juga melonggarkan izin ekspor dan impor yang kemudian memudahkan produk impor bersaing dengan produk dalam negeri[12]. Disisi lain, produk Indonesia kalah saing dengan produk luar. Baik secara harga dan kualitas, sehingga konsumen lebih memilih produk luar. Bisa jadi, ini akan kontraproduktif sehingga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak begitu signifikan. 

Menurut Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengaku, selama ini para pengusaha kesulitan memacu ekspornya ke mitra dagang nontradisional lantaran produk-produk asal Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan barang-barang dari negara-negara kompetitor. Ditambah lagi negara seperti Vietnam dan China yang lebih efisien dalam hal ongkos produksi mengakibatkan harga lebih murah[13]

Meski demikian, upaya pemerintah dengan mendorong pemberdayaan dan perlindungan UMK-M agar mendongkrang kualitas produk belum menunjukan keberhasilan yang signifikan. Pemerintah justru membuat investasi menjadi anak emas. Tanpa melihat kondisi sektor riil dalam negeri. Seharusnya pemerintah lebih berhati-hati pada RUU Cipta Kerja ini yang dibungkus dalam peraturan sapu jagat. Pun, Omnibus Law ini juga terusmenuai gempuran penolakan dari berbagai pihak terkait.

Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan industri dan sektor riildalam negeri. Sebab, Indonesia pernah mengalami krisis moneter yang berdampak pada besar terhadap pembangunan dalam negeri. Jika terus memaksakan Omnibus Law tanpa keseriusan mereformasi industri dalam negeri. Maka alih-alih mereformasi hukum tersebut untuk pertumbuhan ekonomi, justru menggali kuburnya sendiri ditengah resesi global yang tengah menanti. (Mohammad Setiawan)

 


[1]. Sumber IMF dan CEIC

[2]https://www.cnbcindonesia.com/market/20191011134205-17-106240/terungkap-ini-penyebab-resesi-ekonomi-global. Diakses pada tanggal 18 Januari 2020.

[3]https://money.kompas.com/read/2019/11/26/142640526/pemerintah-tak-yakin-indonesia-bakal-resesi-akibat-perekonomian-global. Diakses pada tanggal 18 Januari 2020.

[4]. Sumber BPS

[5]. M.Dawam Raharjo, “Pembangunan Pascamodernis: Esai-esai Ekonomi Politik”. Jogjakarta: Insist Press, 2012. Hlm 51.

[6]. Gagasan ini dituangkan Drucker dalam bukunya, Inovation and Entrepreneurship, tahun 1985.

[7]. M.Dawam Raharjo, “Pembangunan Pascamodernis: Esai-esai Ekonomi Politik”. Jogjakarta: Insist Press, 2012. Hlm 52.

[8]Ibid…

[9]. Sumber: Bloomberg, Bank Indonesia

[10]. Sumber: Asian Development Bank, asiandsonline.adb.org

[11]. Bhima Yudistira, dalam https://www.jawapos.com/ekonomi/06/09/2019/optimisme-konsumen-terus-turun-laju-ekonomi-terancam-melambat/. Diakses pada tanggal

[12]. Dalam sebuah dikusi pada hari selasa, Tanggal 7 Januari 2020.

[13]https://ekonomi.bisnis.com/read/20190121/12/880778/harga-tak-kompetitif-produk-indonesia-sulit-bersaing-di-pasar-ekspor-nontradisional. Diakses pada tanggal

Penulis

Tags

Bagikan artikel ini melalui:

Dapatkan Informasi Terbaru Seputar Isu Perburuhan!