“Sistem kerja kontrak dan outsourcing bukan hanya semata-mata permasalahan tentang regulasi, kebijakan, dan atau hukum semata, melainkan permasalahan buruh sebagai sebuah kelas” (Izzati, hal. 39)
Saya memilih kalimat di atas sebagai pembuka tulisan ini, sebab dengan meletakan buruh sebagai sebuah kelas, maka kita dapat melihat permasalahan yang dihadapi buruh tidak semata pada soal-soal yang normatif tetapi juga politis.
Saban hari, hak asasi manusia (HAM) menjadi label yang laris digunakan. Bisa sebagai alat analisis kebijakan ketenagakerjaan di perusahaan, maupun branding produk. Saat HAM jadi arus utama dalam sektor ketenagakerjaan, maka muncul terma baru. Sebut saja business and human rights, sustainable economy, sustainable palm oil dan seterusnya. Terma baru ini kemudian “meningkatkan” reputasi sebuah perusahaan maupun brand produk, sehingga memiliki nilai jual lebih.
Meski tidak serta merta keliru, pelabelan tersebut membuat konsumen dapat memilih produk atau bagi investor dapat memilih untuk investasi di perusahaan yang memang berkomitmen terhadap HAM pekerja. Namun, di sisi yang lain pengarusutamaan HAM seharusnya juga bukan sebatas label di akhir saja, tetapi juga tentang manusia di dalamnya–yakni mulai dari rekrutmen kerja, relasi kerja patron-client, kebebasan berserikat, hingga pengembangan kreativitas pekerja itu sendiri sebagai bagian dari ekosistem industri, ekonomi global, dan warga dunia.
Di kalangan kelas pekerja perkotaan dan masyarakat perkotaan, istilah “mitra”, “kerja lepas”, “freelance”, telah banyak diketahui. istilah tersebut menunjukkan fleksibilitas waktu dan tempat seseorang bekerja. Setelah mendengar istilah itu, kita cenderung mengasosiasikannya dengan tempat-tempat publik seperti warung kopi, café, co-workingspace, dengan generasi tertentu seperti anak muda, dan dengan jenis pekerjaan tertentu yakni berbasis teknologi informasi. Kita lupa bahwa istilah-istilah tersebut adalah sistem kerja fleksibel yang merupakan kepanjangan tangan neoliberalisme dan berlaku tidak mengenal lokus batasan antara yang publik dan privat.
Setidaknya ada 3 fenomena kerja lepas, bila dikategorikan berdasarkan basis wilayah dan lokasi kerja. Pertama, fakta bahwa kerja-kerja yang fleksibel tersebut menjadi trend di kalangan muda menengah perkotaan yang melek teknologi. Kedua, kerja lepas pun dilakukan oleh anak muda pedesaan, kita kenal berbagai sebutan seperti kerja rumahan/borongan, buruh harian lepas perkebunan, pekerja rumah tangga, dll. Ketiga, kerja lepas berbasis media sosial yang mayoritas dilakukan oleh perempuan di dalam rumah seperti reseller online shop, penjual online dll.
Sistem Labor Market Flexibility (LMF) sendiri telah lama ada di Indonesia, yang mewujud dalam bentuk kerja kontrak atau outsource. Dalam konteks hari ini, penting dan sangat relevan merefleksikan kembali hubungan kerja “tetap”, “kontrak”, “outsourcing”, “lepas” dan bagaimana peran pekerja, komunitas, negara, dan pasar dalam mewujudkan keadilan bagi kelas buruh. Fathimah Fildzah Izzati (peneliti pusat penelitian politik LIPI dan aktivis) dalam bukunya berjudul Politik Serikat Buruh dan Kaum Precariat: Pengalaman Tangerang dan Karawang(2014) menguraikan bagaimana serikat buruh dan kelompok rentan berpolitik studi kasus di dua wilayah.
Fildzah dalam bukunya secara lantang mengatakan bahwa munculnya kelompok precariat merupakan akibat dari politik ekonomi global neoliberalisme yang mendorong pasar kerja fleksibel (Labor Market Flexibility/LMF). Fleksibilitas pasar kerja melahirkan model-model hubungan kerja yang rentan seperti kontrak danoutsourcing. Kondisi politik ekonomi global tersebut kemudian memengaruhi kondisi politik perburuhan di Indonesia baik di level kebijakan maupun gerakan. Dalam bukunya, Fildzah kemudian hendak melihat status kaum precariat dan corak politik serikat buruh di Tangerang dan Karawang yang tidak terlepas dari kebijakan perburuhan di daerah – dalam konteks desentralisasi pasca orba.
Fildzah dalam bukunya menekankan, bahwa buruh tidak semata-mata penanda status atau lokasi kerja seseorang. Tapi juga penanda kelas yang perlu disadari. Istilah lain yang juga perlu dipahami dalam buku ini ialah precariat – yang juga merupakan penanda identitas kelas. Standing (2011), dalam Fildzah menjelaskan bahwa precariatsendiri adalah orang-orang yang memiliki hubungan kepercayaan minimal dengan modal dan negara.
Precariatadalah kelas yang kurang mendapatkan 7 bentuk jaminan dalam perburuhan yakni: 1) jaminan pekerjaan tetap (labour market security), 2) perlindungan dari pemecatan sewenang-wenang (employment security), 3) kesempatan untuk melakukan mobilitas (job security), 4) jaminan perlindungan kecelakaan kerja (work security), 5) kesempatan untuk meraih keterampilan tertentu (skill reproduction), 6) asuransi pendapatan (income security), 7) memiliki suara kolektif dalam pasar tenaga kerja (representation security). Sistem kerja kontrak dan outsourcingyang memberikan berbagai ketidakpastian dan jaminan bagi kelas buruh kemudian melahirkan kelompok precariat (hal. 126-127).
Buku ini terbagi dari 6 bagian, masing-masing bagian tidak bisa dilepaskan satu dari yang lainnya. Fildzah menulisnya dengan terstruktur mulai dari perihal konseptual, kesejarahan, hingga kondisi politik praksis di Tangerang dan Karawang.
Menyoal Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing dari Masa ke Masa
Sistem kerja kontrak telah muncul di Hindia Belanda pada sekitar abad ke-19. Pada masa itu, buruh perkebunan yang disebut atau dinamai oleh Belanda sebagai “koeli”dipekerjakan dengan sistem kerja kontrak. Ciri yang paling menonjol dari sistem kerja kontrak pada saat itu ialah buruh tidak bisa membatalkan kontrak. Kepatuhan atau paksaan untuk menaati kontrak—yang tidak berpihak pada kesejahteraan buruh—dilegitimasi oleh UU Ordonasi Koeli tahun 1880.
Bila kontrak kerja dibuat oleh dua belah pihak (pemberi kerja dan pekerja) untuk melindungi dan memastikan hak dan kewajiban masing-masing pihak, tidak pada kelas koeli era kolonial belanda. Alih-alih bentuk kesepakatan atau perjanjian kerja kedua belah pihak, kontrak pada masa itu justru membelenggu dan mengeksploitasi buruh. Bila buruh melanggar kontrak mereka dikenakan hukuman, mulai dari bayar denda hingga hukuman cambuk (hal. 39-43). Sistem kerja kontrak yang diberlakukan dengan sangat massif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penindasan kelas pekerja di masa kolonial (hal.42).
Selain sistem kerja kontrak, pada masa kolonial juga sudah ada praktik semacam outsourcing dan kerja Borongan. Outsourcing terbukti dengan banyaknya perekrutan buruh secara tidak langsung (melalui jaringan lokal) untuk bekerja di industri dan pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Sedangkan, sistem kerja Borongan diterapkan pada industri tembakau—yang mana buruh akan menerima bayaran ketika musim panen tiba (hal.41). Kedua sistem kerja ini (outsourcing dan kontrak) tidak pernah benar-benar menyejahterakan buruh sebagai kelas pekerja, melainkan membuat buruh terjebak dalam lingkaran utang dengan tuan kebun. Sebagian dari mereka melawan, sisanya tewas dalam perlawanan (hal. 45).
Pasca kemerdekaan, praktis tidak ada regulasi yang melegalkan sistem kontrak dan outsourcing(hal.134). Di rezim orde baru, hubungan industrial antara buruh, pemilik modal, dan negara dibangun dalam wacana yang harmonis melalui pemberlakukan Hubungan Industrial Pancasila (HIP)–yang dianggap manifestasi dari nilai-nilai pancasila. HIP ini kemudian diperkuat melalui UU No. 25 tahun 1997 pasal 24, 25, dan 26. Dalam UU tersebut sistem kerja kontrak dilegalkan (hal. 50).
Setelah reformasi, kebijakan ketenagakerjaan yang lahir tidak terlepas dari peran lembaga bantuan keuangan dunia seperti IMF, World Bank, dll. Sebab, saat krisis 1997-1998 melanda Indonesia, mereka menyuntik bantuan keuangan ke Indonesia. Resep kebijakan tersebut dibalut dalam jargon “penyelamatan dunia usaha dan iklim investasi”. Paket UU perburuhan yang lahir yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengakomodasi praktik kerja kontrak dan outsourcing, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Serikat Buruh sebagai Ruang Perlawanan Kelas
Kerentanan buruh dalam status kerja, kontrak danoutsourcingmenjadi salah satu latar belakang lahirnya serikat buruh di Indonesia. Pada mulanya serikat buruh hanya ditujukkan untuk buruh Eropa, sedangkan buruh pribumi tidak diakui suaranya. Pada masa kolonial belanda serikat buruh yang lahir diantaranya Serikat Buruh Perkeretaapian bernama Veregening van Spoor-en Trarnweg Personeel (VSTP), Personeel Fabrieks Bond (PFB) yang menyatukan seluruh buruh pabrik gula di Jawa, dan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) yang menyebarkan Marxisme pada kaum buruh dan rakyat Indonesia (hal.45-46).
Di masa orde lama serikat buruh yang lahir yaitu Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOSBSI)–yang perjuangannya mewujudkan masyarakat sosialis, KBKI, SBII, Sarbumusi, GOBSII, KBSI, HSBI, SOBRI, Pantjasila, Serikat Buruh Djawatan Pertanian Rakjat (SBDPR), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia (PDKI), Serikat Buruh Radio Republik Indonesia (SB RRI). Dari semua serikat buruh tersebut, SOBSI yang memiliki dan mengorganisir anggota paling banyak (hal. 47). Serikat buruh pada periode 1960an sangat dipengaruhi dan berhubungan dengan partai politik baik secara formal maupun nonformal. SOBSI sendiri berafiliasi dengan PKI, GASBIINDO dengan Masyumi, Sarbumusi dengan NU, SUBRI dengan MURBA, KBKI dengan PNI, KBSI dengan PSI (hal. 49).
Sebagaimana gerakan masyarakat sipil progresif lainnya, gerakan buruh juga turut ditundukkan, dieksklusi, dikontrol, dan diberangus pada masa orde baru. Gerakan buruh juga dijauhkan dari politik, artinya mematikan politik kelas buruh. Serikat buruh bentukan pemerintah SPSI yang merupakan satu-satunya serikat buruh yang boleh berdiri pada masa itu pun dipenuhi oleh anggota militer dengan tujuan untuk mengontrol gerakan buruh. Politik bahasa pun dilakukan, dengan mengganti kata “buruh” menjadi “karyawan” untuk meredam kesadaran buruh sebagai sebuah kelas (hal. 50-51).
Politik Serikat Buruh di Tangerang dan Karawang
Sistem kerja kontrak dan outsource memiliki pengaruh signifikan terhadap politik perburuhan baik di tingkat nasional maupun lokal. Di tingkat lokal, dinamika politik perburuhan semakin keras sejak diberlakukannya desentralisasi. Dalam membedah politik perlawanan serikat buruh di Tangerang dan Karawang terhadap praktik kerja kontrak dan outsourcing, Fildzah dalam buku ini memfokuskan pembahasannya dalam 3 hal yakni praktik kerja kontrak, politik perlawanan serikat buruh di daerah, dan praktik & strategi advokasi perda anti outsourcingdi masing-masing wilayah.
Menurut Fildzah, praktik kerja kontrak dan outsourcingadalah racun bagi buruh (hal.64). Fildzah menyebutkan, selain adanya legitimasi kerja di dalam kebijakan nasional, praktik kerja kontrak dan outsourcingini juga dilanggengkan oleh sistem pemerintah daerah (sebagai konsekuensi desentralisasi) yang menciptakan politik aliansi lokal (yang jelas tidak berpihak pada buruh). Aliansi lokal dalam buku ini disebut sebagai gabungan dari aktor lokal yang bersekutu dalam mempertahankan sistem kerja kontrak dan outsourcingdemi kepentingan pemilik modal.
Aliansi lokal ini terdiri dari 1) DPRD dan Pemerintah daerah yang berperan untuk mengesahkan regulasi. Mereka adalah juga pemilik yayasan atau perusahaan outsource. 2) TNI, Polisi, dan Jawara, yang berperan untuk melindungi perusahaan/yayasan penyedia jasa outsource. Aliansi lokal tersebut kemudian membuat praktik kerja kontrak dan outsourcingsemakin sulit untuk dihentikan.
Setidaknya ada sepuluh temuan Fildzah terkait praktik kerja kontrak dan outsourcing yang membuat buruh menjadi kelompok precariat, baik dalam konteks kerentanan sebagai pekerja maupun kerentanan dalam membentuk politik serikat buruh di Kabupaten Tangerang dan Karawang. Pertama, yayasan penyedia jasa outsource yang mempekerjakan buruh berada jauh dari penempatan lokasi kerja buruh (di Bogor, Bekasi, Jakarta), sehingga mereka sulit memperjuangkan hak mereka (hal.65). Kedua, upah yang diberikan tidak sesuai UMK dan kerap kali dipotong oleh yayasan penyedia jasa. Ketiga, buruh yang dipekerjakan secara outsource tidak mengetahui upah sebenarnya di tempat mereka bekerja karena perjanjian kerja dilakukan antara yayasan dan perusahaan atau pabrik. Keempat, buruh outsource dan kontrak tidak mendapat jaminan sosial dan hak cuti (hal.65). Kelima, hubungan kerja kontrak membuat buruh sulit bicara hak-hak ketenagakerjaan lainnya (hal.67). Keenam, buruh tidak mendapatkan kontrak baik asli maupun salinan, sehingga buruh alami kebingungan terkait status dan hak-hak kerjanya. Ketujuh, praktik PHK sepihak sering dialami buruh kontrak dan outsource (hal.69). Kedelapan, diputus kontrak menjelang hari raya sehingga buruh tidak mendapatkan hak THR (hal.72). Kesembilan, buruh terlilit hutang karena upah yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kesepuluh, buruh yang mempertanyakan hak-haknya secara individu maupun berserikat mendapatkan intimidasi dari perusahaan penyedia jasa outsource.
Fildzah juga mencatat bahwa persoalan kontrak kerja dan PHK sepihak tidak hanya dialami oleh buruh kontrak maupun outsource melainkan dialami juga oleh buruh dengan status tetap. Dalam praktinya PHK atau pemailitan sementara adalah strategi perusahaan untuk memecat buruh tetap dan merekrut pekerja kembali dengan sistem kontrak atau melaluioutsource(hal. 69). Dalam buku ini juga, termuat pernyataan-pernyataan pekerja kontrak yang telah bekerja di perusahaan yang sama dengan sistem kontrak–yang telah diperpanjang selama 20 kali (hal.71).
Pasalnya, praktik kerja kontrak hanya boleh dilakukan untuk jenis pekerjaan yang sifatnya sementara, namun pada faktanya di Tangerang dan Karawang produksinya terus-menerus (hal.79). Buruh pun memiliki atau terikat dengan dua kontrak, yaitu kontrak dengan penyedia jasa outsource dan perusahaan tempat bekerja. Di tengah-tengah situasi kerentanan buruh kontrak dan outsourcedan union busting,pemerintah daerah di Tangerang dan Karawang memilih sikap netral (hal.82).
Hasil analisa Fildzah bahwa ketujuh ciri precariat yang disebutkan Standing tidak cukup spesifik menggambarkan kondisi buruh kontrak dan outsource di dua wilayah. Fildzah menemukan 6 ciri lain dari precariat di Kabupaten Tangerang dan Karawang yang mana turut dipengaruhi oleh kebijakan desentralisasi–yang berkontribusi pada penciptaan aliansi lokal. Keenam ciri tersebut yakni 1) pemotongan upah, 2) tidak adanya hak cuti, 3) tidak mengetahui upah mereka, 4) tidak mendapatkan salinan kontrak, 5) harus mengeluarkan biaya ketika melamar pekerjaan, 6) hidup dalam ketidakpastian dan dihadapkan pada hutang (hal. 128-129).
Lalu bagaimana buruh melawan ? melalui serikat buruh, advokasi terhadap perda anti-outsourcingdilakukan. Di kab. Tangerang dan Karawang ada dua macam perda “anti-outsourcing”yang diadvokasi berbagai serikat buruh di kedua wilayah. Pertama, Perda “anti-outsourcing”yang sejalan dengan UUK No. 13/2003 yang diinisiasi FSPMI. Kedua, advokasi perda “anti-outsourcing”dengan konsep menolak keberadaan dan praktik-praktik sistem kerja kontrak dan outsourcingsecara keseluruhan. Advokasi ini diinisiasi oleh FSBKU di kab. Tangerang dan FSPEK di Karawang (hal.91). Di kab. Tangerang, advokasi perda “anti-outsourcing” FSPMI didasarkan pada argumentasi bahwa UUK no.13/2003 harus dijalankan dengan penuh, sehingga perda “anti-outsourcing” perlu memperkuat hal-hal yang telah diatur di UUK yakni hanya ada 4 jenis pekerjaan yang boleh dilakukan outsource.
Sedangkan FSBKU mendorong adanya perda yang menghapuskan praktik kerja kontrak dan outsourcingkarena praktik kerja tersebut merugikan buruh (hal. 105-106). Di Kab. Karawang, argumentasi FSPMI sama seperti di kab. Tangerang. Sedangkan FSPEK argumentasinya serupa dengan FSBKU namun lebih menekankan pada perlindungan buruh secara struktural di tingkat lokal (hal.115).
Dari hasil analisa Fildzah, beberapa serikat buruh di dua wilayah ini memiliki kecenderungan bentuk perlawanan/advokasi sistem kerja kontrak/outsource. FSBKU-Banten cenderung beraliansi dengan berbagai serikat buruh dan organisasi/serikat lainnya seperti serikat rakyat buruh tani dan nelayan, SBSI ‘92, Gaspermindo, SPSI KEP PT. Tirta Marta. FSPEK-Karawang juga memiliki kecenderungan yang sama dengan FSBKU-Banten, mereka beraliansi dengan SEPETAK. FSPMI Kab. Tangerang dan Karawang memiliki program yang sama dalam melakukan perjuangan di setiap daerah. Sedangkan SPSI TSK Kab. Karawang, SPN Kab. Tangerang, Gaspermindo Kab. Tangerang, dan SBSI ‘92 Kab. Tangerang belum begitu terlihat menunjukkan perlawanannya secara terprogram (hal. 120).
Terkait dengan advokasi perda “anti-outsourcing”di dua wilayah, Fildzah menganalisanya dengan tawaran konsep dari Standing yakni politics of infernodan politics of paradise yang dihadapi oleh precariat. Politics of infernoialah dimana politik didominasi oleh mereka yang menjadi praktisi pasar yang jelas merugikan precariat. Investasi pasar terhadap elit politik pun memengaruhi kondisi sosial politik precariat sehingga mereka akhirnya kehilangan politics of paradisedalam bentuk agenda-agenda politik yang progresif, yang dapat menempatkan mereka pada kondisi yang lebih baik (hal. 140-141). Dalam konteks Indonesia, nyatanyapolitics of paradisedanpolitics of inferno tidak tergambarkan secara hitam-putih, kondisi kesejarahan dan kompleksitas situasi politik yang dihadapi precariat membuatnya tidak mudah menjalankan politics of paradise.
Sebagai contoh FSBKU dan FSPEK yang cenderung mengikuti alur politics of paradisenamun mengalami hambatan besar karena tidak adanya representasi buruh di posisi pengambil kebijakan di tingkat lokal. Fildzah juga mengungkapkan bahwa advokasi pera “anti-outsourcing”belum menempatkan precariat sebagai subjek. Di sisi lain advokasi FSPMI cenderung mengikuti alur politics of infernokarena melihat persoalan praktik kerja kontrak dan outsourcesebagai persoalan hukum semata (hal. 142-143). Dengan demikian kedua kelompok serikat buruh ini masih terjebak dalam politics of infernoyang dilancarkan negara melalui aparatus-aparatus lokal dan pemilik modal via kebijakan maupun praksis.
Buku yang ditulis Fildzah ini mengingatkan kita bahwa politics of infernobukan hanya menindas kelompok precariattetapi juga kelompok buruh secara keseluruhan. Sebab, praktik kerja kontrak dan outsourcingbukan hanya persoalan hukum semata tetapi persoalan politik kelas buruh.
Tahun 2020, tepat 20 tahun sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat buruh, yang mana merupakan angin segar gerakan buruh pasca rezim otoritarianisme Soeharto. Kembali pada paragraf awal tulisan ini, yang memperlihatkan bagaimana iklim industrial alih-alih melindungi buruh, namun justru menciptakan precariat-precariat baru yang terselubung dalam jargon industri digital, lalu dimana posisi serikat buruh? Apakah larut dalam jargon “iklim investasi yang kondusif dan untuk penciptaan lapangan kerja” atau justru berani menyusun dan menjalankan agenda politik progresif melampaui rezim label dan sertifikasi industri. (Andi Misbahul Pratiwi)
Daftar Pustaka
Izzati, FF, 2014, Politik Serikat Buruh dan Kaum Precariat: Pengalaman Tangerang dan Karawang, Puskapol UI.