Maraknya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi belakangan ini, memperlihatkan betapa mirisnya potret ketenagakerjaan saat ini. Kasus PHK sepihak yang menimpa pekerja/buruh di berbagai pabrik maupun perusahaan tidak main-main jumlahnya. Belum lama ini, kita dihebohkan dengan kasus PHK massal yang terjadi di PT Arnott’s Indonesia, perusahaan produsen makanan ringan yang melakukan tindakan PHK sepihak dengan memaksa 300 orang pekerjanya mengundurkan diri secara sukarela. Perusahaan berdalih mengalami penurunan produksi, sehingga pihak manajemen harus mengurangi jumlah karyawan. Kasus PHK ini berbuntut pada gerakan boikot produk-produk PT Arnott’s seperti Good Times, Nyam-Nyam, Tim-Tam, Shapes oleh solidaritas kawan-kawan Serikat Pekerja. Tak hanya itu, kasus PHK massal lainnya seperti di PT Freeport (PHK 8.300 buruh), PT PDK (PHK 1.300 buruh), Awak mobil tangka Pertamina (PHK 1.950 buruh) menjadi kabar pahit perburuhan yang diberitakan media. Aksi “bersih-bersih” ini, tidak hanya menimpa pekerja pabrik saja. Sektor perbankan maupun ritel juga menjadi salah satu ladang empuk rentan PHK, seperti yang terjadi pada Bank Danamon yang memangkas 2.322 pegawainya sepanjang tahun 2017, turut menambah daftar panjang gelombang PHK yang tidak bisa disepelekan.
Lesunya laba perusahaan, ditambah lagi dengan kondisi fleksibilitas pasar kerja yang terbuka, mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi tenaga kerja ditengah-tengah sengitnya kompetisi digital ekonomi saat ini dengan merampingkan jumlah pekerjanya.
Lalu bagaimana sebenarnya regulasi yang mengatur PHK dalam hukum perburuhan di Indonesia? Apa saja hak-hak yang seharusnya kita didapatkan jika di PHK? Sebagai pekerja cerdas, mari kita ketahui lebih dalam tentang PHK.
Apa itu PHK ?
PHK alias Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Pasal 150 s/d Pasal 172 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mendefinisikan PHK adalah “Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha”. Maka dari penjelasan diatas, bahwa segala bentuk berakhirnya hubungan pekerja/buruh dengan perusahaan terkait, dapat dikatakan PHK. Namun, secara normatif ada 2 tipe jenis PHK jika dilihat dari alasan yang melatarbelakanginya. Pemutusan hubungan kerja yang diakibatkan karena pengunduran diri tanpa paksaan dan tekanan, seperti habisnya masa kontrak, tidak lulusnya masa percobaan (probation), memasuki usia pensiun, atau buruh meninggal dunia dapat dikatakan PHK Sukarela, dengan kata lain segala bentuk pemutusan hubungan kerja diajukan sendiri oleh pekerja/buruh tanpa paksaan dan intimidasi, atau sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak, dalam hal ini pengusaha dan pekerja/buruh.
Adapun segala bentuk pemutusan hubungan kerja yang diakibatkan karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat, seperti melakukan pencurian, penipuan, menggelapkan uang perusahaan, melakukan tindak asusila dan perjudian di lingkungan kerja, atau mengancam, menganiaya, dan mengintimidasi teman kerja maupun pengusaha di lingkungan kerja dapat dikatakan PHK tidak sukarela. Segala bentuk kesalahan berat yang dilakukan pekerja/buruh telah diatur dalam Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Pasal ini pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kesalahan berat yang dilakukan buruh harus dibuktikan dengan putusan peradilan pidana di pengadilan umum. Dengan kata lain perusahaan tidak bisa main hakim sendiri dalam memutuskan kesalahan berat yang dilakukan pekerja/buruh. Sehingga dalam pembuktiannya harus didukung dengan hal-hak berikut, berdasarkan Pasal 158 ayat 1 yaitu : Pekerja/buruh tertangkap tangan Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan ; Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang di Perusahaan bersangkutan dan didukung sekurang-kurangnya 2 (dua) orang sanksi. Untuk konteks PHK tidak sukarela ini, hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh baru berakhir setelah ditetapkan oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). Putusan MK ini diperjelas kembali melalui Surat Edaran Menakertrans no. SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005 tentang putusan MK tersebut.
Kenali modus-modus PHK!
Dalam prakteknya, alasan mem-PHK seseorang terus berkembang melampaui rumusan Undang-Undang. Ada-ada saja modus perusahaan yang sering terjadi untuk mendorong pekerjanya ke jurang PHK, yuk kita cermati :
- Dipaksa mengundurkan diri
Bentuk PHK seperti ini adalah yang sering terjadi. Biasanya perusahaan memaksa pekerjanya untuk membuat atau menandatangani surat pengunduran diri (surat resign). Padahal si pekerja tidak ada niat sekalipun untuk mengundurkan diri. Hal ini merupakan cara licik perusahaan untuk mangkir dari kewajiban tindakan PHK sepihak, yang dimana pengusaha harus membayar uang pesangon dan hak-hak lainnya kepada pekerja terkena PHK.
- Union Busting
PHK massal yang biasanya terjadi setelah terbentuknya serikat pekerja dan berhasil mendesak pengusaha mentaati hukum ketenagakerjaan. Untuk itu, perusahaan melakukan PHK untuk memberangus keberadaan serikat pekerja agar tidak ada lagi pihak-pihak yang dianggap ‘menganggu’ kelangsungan kebijakan perusahaan.
- Menikah dengan sesama pekerja
Persoalan PHK akibat perkawinan sesama pekerja memang masih menjadi hal tabu dan cenderung ‘dimaklumi’. Sehingga sering terjadi, jika pekerja menikah dengan teman satu kantor salah satu diantara mereka memilih mengalah untuk resign atau pindah ke cabang kantor lainnya agar tidak terkena PHK. Jika saat ini kamu masih berfikiran seperti itu, salah. Nyatanya Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan larangan tegas bagi perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan menikah dengan sesama pekerja atau memiliki hubungan darah dalam satu perusahaan. Melalui uji materi Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang saat ini berbunyi : “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan : pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya dalam satu perusahaan”.Jika kamu masih saja di PHK karena alasan menikah dengan sesama rekan kerja, itu adalah pelanggaran keras bagi perusahaan.
- PHK karena hamil
Terbayang ga sih dalam kondisi hamil, di PHK pula? Nah PHK yang satu ini seringkali menjadi momok mengerikan bagi pekerja perempuan. Seringkali jika pekerja perempuan hamil, perusahaan melakukan tindakan PHK dengan alasan takut mengurangi produktivitas jika si pekerja tersebut mengajukan cuti hamil dan melahirkan. Sehingga perusahaan lebih memilih menggantinya dengan pekerja yang baru dibandingkan harus memenuhi hak-hak maternitas pekerja perempuan. Padahal sesungguhnya setiap pekerja/buruh perempuan yang mengalami masa kehamilan, dilindungi oleh Undang-Undang maupun Organisasi Buruh Dunia (ILO). Seperti yang tertera pada Pasal 153 ayat 1 huruf e UU Ketenagakerjaan, menyatakan “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya”.
- Menghindari bayar THR
Ini dia PHK yang nge-tren menjelang Lebaran. Diduga perusahaan sengaja menghindari kewajiban membayar Tunjangan Hari Raya (THR) dengan siasat menghabisi kontrak kerja karyawannya yang berakhir pada sebelum puasa atau bahkan menjelang lebaran. Seperti yang menimpa kawan-kawan buruh yang harus menerima kado pahit PHK menjelang hari raya Idul Fitri.
- Mengubah status hubungan kerja
Atas alasan efisiensi, perusahan kerap kali mengubah status hubungan kerja pekerja/buruh yang semula merupakan karyawan tetap dengan mengganti statusnya menjadi karyawan kontrak atau outsourcing, yang dimana dikontrak berdasarkan waktu tertentu dengan sifat musiman atau sementara. Jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tentunya pekerja/buruh dengan status kontrak dan outsourcing posisinya lebih lemah dibandingkan ketika ia berada di posisi pekerja tetap. Karena jika mengundurkan diri sebelum kontrak berakhir, ia harus membayar pinalti sebagai ganti rugi sebesar jumlah upahnya setiap bulan sampai pada batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
- Restrukturisasi dan relokasi perusahaan
Relokasi atau pemindahan tempat usaha dapat berakibat buruk pada pekerjanya. Ketika perusahaan berpindah tempat ataupun berpindah tangan kepemilikan, status pekerja cenderung tidak jelas. Jika terjadi hal seperti ini, biasanya perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan karyawan yang ada di tempat usaha semula, dan mencari karyawan lagi di tempat yang baru. Motifnya pun serupa, perusahaan meminta pekerjanya untuk mengajukan pengunduran diri. Namun, jika dilakukan PHK sepihak dan dibayarkan uang pesangon seringkali jumlahnya pun juga tidak sesuai dengan perhitungan yang seharusnya didapatkan pekerja/buruh. Maka seringkali ada istilah pengusaha kabur, nasib buruh tak jelas. Seharusnya apabila terjadi pemindahan perusahaan atau pengalihan kepemilikan perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja Bersama tersebut.
Ketahui Hak-hakmu jika di PHK.
Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kita berhak atas hak-hak yang seharusnya kita dapatkan sebagai pekerja/buruh : seperti Uang Pesangon, Uang Penghargaan masa kerja, dan Uang Penggantian Hak. Namun beragam alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), turut menentukan hak apa saja seharusnya kamu dapat. Berikut ini berbagai alasan PHK yang menentukan kompensasi apa saja yang didapat pekerja/buruh berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keterangan:
UP = Uang Pesangon
UPMK = Upah Penghargaan Masa Kerja,
UPH = Uang Penggantian Hak
( sumber : www.hukumpedia.com, diolah)
Berikut ini perhitungan Uang Pesangon (UP) yang berhak didapatkan pekerja yang terkena PHK berdasarkan lamanya masa kerja :
Berikut ini perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) yang berhak didapatkan pekerja yang terkena PHK berdasarkan lamanya masa kerja :
Berikut ini perhitungan Uang Penggantian Hak (UPH) yang berhak didapatkan pekerja yang terkena PHK berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas :
Adapun Uang Penggantian Hak terdiri dari:
- cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
- penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
- hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Dari uraian di atas diketahui bahwa pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela tidak berhak mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Ia hanya berhak mendapatkan uang penggantian hak.
Tidak dapat dipungkuri, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat terjadi kapan saja, kepada siapa saja, bahkan tanpa mengenal jabatan sekalipun. Maka penting bagi kita sebagai pekerja, untuk mengetahui hak-hak yang sudah selayaknya kita dapatkan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bersama dengan serikat pekerja, kita juga akan lebih kuat dalam bersatu memperjuangkan hak-hak kita yang ditindas perusahaan.
Sumber :
UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19045/berkembangnya-alasanalasan-phk-dalam-praktik, Diakses pada 30 Mei 2018
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt558909e4dc55b/klausula-phk-sepihak-dan-tanpa-ganti-rugi-dalam-perjanjian-kerja, Diakses pada 30 Mei 2018