Sebelum tanah dibeton, aspal digelar, dan jembatan-jembatan dibangun, sungai adalah saksi manusia dari berbagai penjuru menjejak bumi Borneo. Sungai juga merekam jejak-jejak orang utan. Pun, di Kalimantan sungai tak hanya pemenuh kebutuhan air. Tapi juga menjadi salah satu jalur transportasi, dan perdagangan.
Ditengah masifnya deforestasi hutan dan ekspansi perkebunan sawit besar-besaran di Indonesia. Sungai menjadi lokus penanda kehidupan yang utama. Sebab di dekat sungailah kemudian perusahaan kelapa sawit membangun barak dan rumah-rumah buruhnya. Air dialirkan lewat pipa-pipa, meski air tersebut tak cukup baik untuk kebutuhan rumah tangga.
Tiga bulan lalu, kesempatan untuk tinggal bersama buruh di dalam perkebunan sawit milik salah satu perusahaan di Kalimantan Selatan saya dapatkan. Hal itu dilakukan untuk memotret bagaimana kondisi hidup layak mereka. Sejak mulai bangun tidur, hingga genset padam aktivitas mereka saya ikuti.
Hasilnya, ternyata para buruh perkebunan sawit tak hanya jam kerja yang diatur. Tetapi, waktu tidur, jatah air, dan waktu menikmati terangnya dunia lewat aliran listrik. Isyarat itu merujuk soal, bagaimana akses informasi yang mereka bisa cukupi pula.
Kini Kalimantan Selatan memang menjadi salah satu provinsi yang tak terhindarkan dari industri minyak kelapa sawit. Meski sebenarnya, luas areal dan produksinya masih seperempat jika dibandingkan dengan Kalimantan Tengah.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017, merilis data yang menunjukan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan didominasi oleh perkebunan besar swasta. Dimana luas areal perkebunannya sebesar 454. 873 hektar. Seluas 55.144 hektar mampu memroduksi Crude Palm Oil (CPO) sebesar 1.500.628ton pada tahun 2016.
Ada 97 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Kalimantan Selatan dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 13.589 triliun pada tahun 2017. Meski disisi lain, ekspansi besar-besaran industri kelapa sawit telah menghilangkan sebagian besar kawasan hutan, ekosistem hewan dan perkebunan rakyat. Kehadiran industri kelapa sawit juga mendorong migrasi besar-besaran, dimana banyak masyarakat miskin yang bekerja untuk mencari kesejahteraan.
Bagaimana Mengakses Air
Buruh perkebunan kelapa sawit hidup dekat dengan aliran sungai namun jauh dari tanah beraspal. Meski mereka dekat dengan sungai, satu hari penuh hanya ada waktu tiga jam untuk menikmatinya. Aliran air pertama mereka nikmati pukul 04.00 hingga 06.00 WITA, aliran kedua mengalir pada 17.00-18.00 WITA.
Air sungai yang dialirkan pun hanya dapat digunakan untuk mencuci pakaian dan mandi. Sebab, wujud air yang kekuningan. Sebab kini air sungai Kalimantan Selatan tak lagi bersih. Hal itu juga disebabkan oleh minimnya kesadaran untuk tidak membuang sampah ke sungai. Pun perusahaan tidak memberi subsidi pembuangan sampah di kawasan perkebunan membuat warga tetap membuang sampah di sepanjang aliran sungai.
“Aku suka mandi di sungai, tapi sekarang aku sudah tidak mau lagi, airnya sudah kotor, banyak pampers di sungai”, ungkap salah satu anak buruh sawit di Kotabaru.
Sedangkan untuk memasak dan minum, mereka harus bergantung dengan air kemasan. Satu galon air mineral seharga tujuh ribu rupiah. Gambarannya adalah, untuk satu keluarga dengan ayah, ibu, dan satu anak membutuhkan konsumsi air mineral setidaknya 1 galon untuk 3 hari.
Tidak ada subsidi dari perusahaan maupun pemerintah setempat untuk air minum mereka. Sehingga saat kondisi kemarau panjang, nyaris tidak ada air sungai yang dapat dialirkan ke rumah-rumah buruh di dalam kebun. Sebab pipa-pipa yang ditanam di bibir sungai tidak lagi dapat menjangkau tinggi muka air. Beberapa perusahaan mendatangkan air dari desa di sekitar perkebunan sawit, beberapa diantaranya pun tidak terlalu peduli.
Selain itu ditemukan juga banyak pohon sawit dibibir sungai, dimana hal ini telah melanggar peraturan tentang jarak tanam sawit dan pengelolaan sungai berkelanjutan, yakni Pasal 3 pada Peraturan Pemeritah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai dan Pasal 62 menyoal perkebunan berkelanjutan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Para buruh pun sebenarnya merasa janggal akan hal ini.
“Saya juga bingung, kenapa semakin hari, semakin banyak pohon sawit dekat sungai mbak, bukannya itu tidak boleh ya”, kata perempuan buruh sawit di Kotabaru.
Tapi, meski kondisi mereka demikian, bagi buruh sawit rumah, air, listrik (dari genset), dan upah bulanan yang mereka terima dari perusahaan sawit adalah cukup. Terlebih, anak-anak bisa sekolah dan keluarga bisa makan. Mereka tak peduli seberapa terkucilnya tempat hidup mereka di dalam kebun. Butuh waktu tempuh satu setengah jam dengan sepeda motor untuk keluar menuju jalan utama. Di kebun sinyal selular juga tak mudah, hanya blok tertentu yang bisa mengakses sinyal. Praktis, akses bertukar informasi menjadi sulit. Padahal UU Ketenagakerjaan jelas menyebut, bahwa pemberi kerja wajib memberikan fasilitas kesejahteraan kepada pekerjanya.
Saat kemarau panjang akibat perubahan iklim, hutang mereka semakin banyak. Air harus dibeli lebih banyak dari biasanya. Pun sebaliknya, ketika musim penghujan ekstrem, mereka terkurung di dalam kebun. Banjir memutus jalan satu-satunya untuk keluar dari dalam tempat tinggal.
“Waktu itu lebaran Idul Adha, kami semua mengungsi ke sekolah TK yang dibangun perusahaan, karena banjir, selama tiga hari kami tidak bekerja, tidak bisa keluar kebun, dan hanya menginap di TK” -Buruh perempuan di perkebunan sawit milik perusahaan di Kotabaru.
Ironinya, pada dua kondisi ekstrem tersebut (kemarau panjang dan banjir bandang), klinik yang disediakan oleh perusahaan di dalam kebun tidak memiliki persediaan obat yang layak. Seorang buruh perempuan berkata “semua penyakit obatnya paracetamol, atau SCTV — satu untuk semua”.
Saya mengonfirmasi informasi tersebut kepada seorang perawat di klinik kebun sawit, ia mengatakan bahwa obat-obatan yang tersedia di klinik dibeli sesuai dana yang diberikan oleh perusahaan. Bidan dan perawat membuat pengajuan pengadaan obat-obatan, namun dana yang diberikan perusahaan jauh lebih kecil sehingga tenaga kesehatan harus mengutamakan membeli cairan infus, P3K, dan sisanya obat penghilang rasa nyeri.
Klinik juga tidak tersedia di setiap lokasi perumahan buruh, sehingga buruh yang rumah jauh dari klinik merasa kesulitan terlebih dalam kondisi banjir. Dalam kondisi seperti ini, perempuan menjadi kelompok paling rentan karena hak reproduksi dan seksual mereka bergantung dengan air bersih.
Bayangan orang luar ketika melihat pekerja sawit adalah kesejahteraan yang cukup. Namun, pada kenyataanya upah yang mereka dapat dari perusahaan tidak benar-benar cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak mereka.
“Ya begitu buruh sawit, kata orang mereka dapat upah besar, padahal kenyataanya setiap gajian, uang mereka habis untuk membayar hutang…. Macam-macam hutangnya, mulai dari hutang sembako hingga hutang pakaian” –Tutur Ketua Federasi Serikat Buruh Perkebunan Rajawali.
Warga Negara yang Liyan
Carut marut tata kelola pemerintah daerah juga membuat buruh perkebunan kelapa sawit menjadi kelompok paling rentan. Sebab ketidakterlihatan lokasi tinggal mereka dan buruknya akses jalan menuju kebun menjadikan hak-hak mereka sebagai warga negara terabaikan. Bantuan dari pemerintah daerah tidak pernah sampai ke tangan mereka. Meski, mereka memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Hanya saat kampanye politik saja mereka dianggap sebagai warga. Sisanya, mereka dianggap sebagai tanggung jawab perusahaan. Saat perusahaan justru tidak memenuhi hak-hak mereka, negara turut absen dan melempar tanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab terhadap manusianya tetapi juga pada hutan, gunung dan sungai yang merupakan satu kesatuan ekosistem.
Bayangkan, sebuah pulau yang memiliki sungai terpanjang di Indonesia, masih mengalami bencana banjir dan krisis air saat kemarau. Nyatanya tata kelola perkebunan sawit yang eksploitatif kini memiliki dampak serius kepada alam dan manusia. Khususnya bagi buruh di perkebunan yang merupakan tulang punggung perkebunan sawit.
Sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) perlu dipertanyakan ulang. Jenis keberlanjutan seperti apa yang ditawarkan dan atau dijanjikan? bagi siapa ? orang utan, sungai, dan masyarakat miskin telah berkorban banyak. (Andi Misbahul Pratiwi)