Industri kelapa sawit yang berkembang secara masif di Indonesia menjadikan sektor ini dipercaya dapat menciptakan lapangan kerja yang luas dan mengentas kemiskinan. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut nilai ekspor minyak sawit Indonesia sepanjang 2022 mencapai USD 27,76 miliar.
Namun di tengah kontribusi besar terhadap perekonomian tersebut, hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana nasib buruh di industri ini?
Penelitian yang dilakukan oleh Trade Union Right Centre berjudul ‘Eksklusi Sosial, Feminisasi Kemiskinan, dan Absennya Perlindungan Sosial’ memaparkan bagaimana rezim tenaga kerja di industri ini memperlihatkan kondisi tidak layak yang erat kaitannya dengan upah murah, status kerja informal, dan praktik eksploitatif.
Di perkebunan sawit, pembagian beban kerja diklasifikasikan berdasarkan gender. Laki-laki memiliki peran dalam sektor memanen karena dianggap menuntut pekerjaan fisik. Sementara perempuan ditempatkan pada sektor pemeliharaan dimana hampir seluruh pekerja di sektor ini berstatus Buruh Harian Lepas (BHL).
Status BHL menjadikan legalitas perempuan sebagai pekerja tidak tercatat sehingga sangat sulit untuk mengetahui jumlah pasti perempuan yang bekerja di perkebunan sawit. Ketidakjelasan status kerja tersebut juga berdampak pada upah yang diperoleh. Buruh perempuan tidak memiliki gaji tetap dan pendapatannya berada di bawah upah minimum.
Skema perhitungan upah BHL tersebut didasarkan jumlah hari kerja setiap bulannya yang kemudian dikalikan dengan upah per harian kerja (HK), dengan simulasi sebagai berikut:
12 hari x Rp. 110.000 yang menghasilkan Rp. 1.320.000/bulan.
Lebih jauh, dalam aspek beban kerja, kebanyakan buruh perempuan ditempatkan pada sektor perawatan seperti menyemprot pestisida di perkebunan. Tugas ini membuat perempuan rentan mengalami gangguan kesehatan dan kerugian fisik dikarenakan perusahaan tidak memberi fasilitas memadai seperti Alat Pelindung Diri (APD). Hal ini memungkinkan mereka terpapar bahan kimia saat bekerja.
Mirisnya, risiko kerja yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan jaminan sosial yang memadai seperti cuti sakit berbayar, penitipan anak, jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, hak reproduksi (cuti haid, hamil, dan melahirkan) dan jaminan sosial lainnya.
Perempuan di perkebunan sawit juga masih harus berjuang mendapat tunjangan fasilitas seperti tunjangan fasilitas perumahan, penerangan, air bersih. Praktik kerja yang tidak layak tersebut secara nyata memperlihatkan absennya dimensi keadilan gender di industri sawit.
Tidak hanya itu, sebagian besar perkebunan sawit di Indonesia mempekerjakan perempuan tanpa bayaran. Jenis pekerjaan lain yang dilakukan oleh pekerja perempuan yang berstatus sebagai istri. Praktik ini oleh Sinaga (2021) dideskripsikan sebagai ‘buruh siluman’ dimana perempuan menyediakan tenaga kerja produktif mereka tanpa upah dan kondisi kerja yang tidak layak.
Para istri membantu suami mereka untuk memanen atau mengumpulkan buah jatuh. Pilihan mempekerjakan perempuan terpaksa dilakukan karena target kerja di sektor memanen dipatok terlampau tinggi.
Merilis Tirto.id, target harian seorang buruh di perkebunan sawit yakni harus memanen 1.200 hingga 2.000 kilogram tanaman sawit. Kondisi ini secara nyata melanggengkan praktik penyingkiran terhadap kelompok perempuan di perkebunan sawit dimana perempuan diproyeksikan untuk menggantungkan pendapatannya dari suami, meskipun mereka telah berkontribusi secara signifikan bagi ekonomi keluarga.
Belum lagi, kerja-kerja reproduksi yang menurut norma patriarkis merupakan tanggung jawab perempuan menjadikan mereka terperangkap dalam beban ganda. Dalam beberapa kasus yang dicontohkan Sinaga, perempuan di perkebunan sawit bangun lebih awal dan tidur lebih lama dari suami mereka untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Kemudian perempuan bekerja di kebun dengan jam kerja yang hampir sama dengan suami mereka tanpa bayaran.
Hal ini menunjukkan bagaimana sistem yang berlaku mewajarkan eksploitasi atas segala aspek kehidupan produksi dan reproduksi perempuan dan menjadikan pekerjaan rumah tangga tidak layak mendapat kompensasi ekonomi ataupun pengakuan sosial.
Tania M. Li (2011) berpendapat bahwa tenaga kerja yang murah, melimpah, dan disiplin berperan sebagai tulang punggung yang signifikan untuk menghasilkan keuntungan di perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Jejak eksploitasi perempuan di perkebunan telah tergambar sejak masa kolonial dimana perkebunan merekrut tenaga kerja keluarga.
Dalam konteks ini, perusahaan menjadikan perempuan sebagai alat kerja produktif dengan mengeruk profit berlipat dari tetesan keringat buruh perempuan.