Minyak kelapa sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di dunia. Di Indonesia areal perkebunan kelapa sawit tersebar di 25 provinsi, hal itu tercatat hingga tahun 2017. Beberapa provinsi tersebut ada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Provinsi Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Papua dan Papua Barat.
Keberadaan industri ini memiliki dua konsekuensi ekonomi dan etik. Seperti dua mata uang, di satu sisi membuka peluang pekerjaan yang besar dan di sisi yang lain mengancam keberlanjutan lingkungan.
Industri kelapa sawit pada praktiknya masih mengalami berbagai persoalan terkait pemenuhan #KerjaLayak. Mulai dari rekrutmen pekerja hingga kesejahteraannya. Trade Union Rights Centre (TURC) mengunjungi salah satu perseroan kelapa sawit terbesar di Kalimantan Selatan untuk melihat secara langsung kondisi hidup dan #KerjaLayak perempuan Buruh Harian Lepas (BHL).
Ia adalah Yanti. Yanti, harus memulai harinya pukul 04:00 WITA bersamaan dengan jatah nyala lampu di kawasan perumahan pekerja. Sedangkan air, baru dialirkan ke rumah-rumah pukul 05:00 WITA. Yanti adalah perempuan pekerja, ia telah 13 tahun berprofesi sebagai pembrodol sawit.
Bersama dengan suaminya yang seorang pemanen buah kelapa sawit, ia membawa semua peralatan kerjanya. Alat itu diantaranya, ankong, ember, gancu, dan karung. Sebelum menuju kebun, dirinya harus datang ke tempat apel dan absensi pagi menggunakan sepeda motor.
Meski telah 13 tahun bekerja, Yanti tidak pernah diangkat menjadi pekerja tetap atau SKU. Yanti bukanlah satu-satunya perempuan pembrodol yang berstatus Buruh Harian Lepas (BHL), sebab semua pemborodol di perseroan ini bernasib sama, dipandang sebelah mata oleh perusahaan.
Pendapatannya dihitung dari total perolehan buah harian yang ia punguti (membrondol). Tanpa kepastian status kerja, tanpa jaminan sosial, tanpa upah yang stabil, tanpa hak cuti, Yanti tetap bertahan.
Pembrondol, bekerja memungut buah-buah sawit yang terlempar dari janjang. Mengambil janjang sebelum diangkut ke angkong, dan menyingkirkan dahan. Namun, oleh perusahaan mereka hanya dianggap hanya membantu pemanen. Sebab, kebanyakan pembrondol adalah istri pemanen.
Upah yang diterima oleh pembrondol ini tak banyak. Hanya Rp 320 rupiah untuk satu kilonya. Mereka juga tak pasti dapat berapa kilo per hari. Sehingga pendapatan para pembrondol ini tak menentu. Yanti mengaku paling banyak per bulannya ia hanya bisa mengantongi 3,5 juta.
Namun, ia juga pernah hanya mengantongi Rp 250 ribu. Sedangkan untuk pemanen, ia diupah Rp 111 ribu per hari kerja. Jika tercapai basis, 1.600 kg per hari, maka pemanen akan mendapat premi Rp 109 rupiah. Yanti dan suami mengaku upah yang mereka terima tidak cukup untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Gaji mereka pernah dicicil, pernah juga tidak dibayar. Hingga, Tunjangan Hari Raya (THR) yang sampai hari ini belum dibayarkan. Sehingga saat Hari Raya Idul Fitri tahun ini, mereka terpaksa merayakannya dengan pilu bersama buruh-buruh sawit lainnya. Di balik kemegahan industri dan pasar kelapa sawit, ada keringat-keringat buruh yang menjadi tulang punggung keberlangsungan industri yang terabaikan.
Para pembrondol ini juga seolah harus menggadaikan kesehatannya. Mereka tidak dibekali BPJS. Tak hanya itu, klinik tempat berobat juga jauh dari tempat mereka tinggal. Belum lagi akses jalan kebun yang keriting dan sulit dijangkau menambah derita tak berujung.
Klinik yang disediakan perusahaan pun, hanya tersedia obat paracetamol untuk segala jenis keluhan. Alokasi dana untuk klinik dari perusahaan sangat minim, sehingga tak mampu menyediakan obat-obatan yang mumpuni. Ironi-ironi ini tak sebanding dengan risiko yang harus mereka tanggung dalam pekerjaan dan bertumpuk dengan setumpuk masalah lainnya hingga menjadi gunung es tanpa solusi pasti dari perusahaan.
Foto dan Teks oleh: Wean Guspa Upadhi