
Bandung (29/09/2016). Sekitar 70 orang mahasiswa memadati ruang seminar ruang F Universitas Parahyangan, Bandung, untuk mengikuti seminar nasional “Berkenalan dengan Aktor Rantai Pasok Global Industri Garmen dan Sepatu.” Hadir sebagai pembicara, Darisman (WRC), Pricillia Purnama (TURC), Syarif Arifin (LIPS), dan Kees Gootjes (FWF).
Darisman sebagai pembicara pertama memaparkan bahwa Indonesia merupakan satu dari 10 negara besar produsen garmen dan tekstil di dunia, dan menjadi salah satu sentra, serta target produksi brand dunia. “Di tahun 2010 saja, ada 2.869 perusahan di Indonesia, dengan 1.399.856 pekerja. Buruh yang terlibat tidak secara langsung ada 4,5 juta orang.”
Di tahun 2007, daerah pusat industri mengalami pergeseran menuju Jawa Tengah, sementara Jabodetabek ditinggalkan. “Daerah ini menjadi primadona sebagai dampak dari dibangunnya pelabuhan laut, jalan tol Transjawa, serta tol Semarang-Solo untuk mempermudah alur ekspor.” Daerah-daerah di sekitar Jawa Tengah dianggap mampu memasok daya listrik untuk industri garmen dan tekstil yang membutuhkan sumber daya sangat besar.
Sementara di tahun 2015, investasi dimenangkan oleh Jawa Tengah dengan nilai mencapai 4,6 triliyun dan penyerapan tenaga kerja hingga 79.131 orang—sepuluh kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelummnya. Beberapa brand yang melibatkan produksi di Jawa Tengah (beberapa masih berlokasi di Tangerang) antara lain H&M, Adidas, Uniqlo, GAP, Zara, dan merek terkenal lainnya yang juga diproduksi di 50 negara, termasuk Indonesia.
“Relokasi dilakukan karena standar upah yang murah di Jawa Tengah, dengan hubungan industrial yang harmonis, dan tidak adanya gerakan serikat yang militan. Berapa upah di Jawa Tengah dengan Jakarta: USD 240 per bulan, sementara di Jateng hanya sebesar USD 120, menyesuaikan UMR. Sementara di Thailand dan Vietnam cenderung flat di seluruh negeri” imbuhnya. “Pabrik garmen memiliki rata-rata 1.000 karyawan, namun jika dibandingkan antara Jakarta dan Jawa Tengah, secara alamiah modal akan bergerak ke daerah di mana upah rendah.”
Sayangnya, investasi yang pro-profit acap kali berlawangan dengan perlindungan hak pekerja (upah murah, sistem kerja kontrak danoursourcing, anti-serikat, diskriminasi, dan kriminalisasi). Banyak merk global dikerjakan di pabrik yang sama. “Mereka (brand) hanya punya desain, ide, yang dilemparkan ke pabrik, dan kemudian dikembalikan hasilnya kepada mereka untuk dijual” tambahnya.
Selain itu, brand dituntut melakukan tanggung jawab melalui Corporate Social Responsibility (Code of Conducts). Secara etika, praktik yang dilakukan buyers harus tunduk pada aspek HAM.
Pola bisnis garmen dan tekstil pada umumnya di Indonesia adalah brand mendesign produk—lalu melalui proses cutting, sewing dan finishing—lalu dikembalikan ke brand. Pihak paling diuntungkan dalam industri garmen dan alas kaki adalah perusahaan, sementara buruh hanya mendapat keuntungan total sebesar 1%.
Pemapar dari Trade Union Rights Centre, Pricilia Purnama, berbagi mengenai kampanye Change Your Shoes yang diinisiasi masyarakat Eropa. \”Ada 3 tujuan utama kampanye ini, antara lain perbaikan sistematis industri sepatu agar para pekerja mendapatkan upah sepadan dan bekerja di lingkungan yang aman. Kegiatan ini melibatkan riset sepanjang setahun penuh, pertemuan dengan Parlemen Eropa, dan pertemuan dengan pihak brand untuk memaparkan bukti-bukti berupa foto, video terkait kondisi kerja buruh pengrajin sepatu.\”
CYS melibatkan 15 organisasi di Eropa dan 3 negara Asia dan melakukan riset panjang yang memetakan beberapa temuan utama terkait kondisi kerja, jumlah jaminan sosial, pesangon, tunjangan anak, di beberapa produsen sepatu di Indonesia untuk beberapa brand Eropa kenamaan. Laporan lengkap riset ini akan dirilis di Bulan November 2016.
Trade Union Rights Centre (TURC) berlaku sebagai pihak pengumpul data terkait kondisi kerja buruh sepatu di Indonesia. Penelitian ini mendapatkan beberapa temuan kunci penting, diantaranya dipekerjakannya pekerja rumahan (home workers) sebagai bentuk praktik putting out system, dimana hak-hak pekerja diabaikan dan memposisikan mereka dalam kondisi rentan dan tidak terlihat/invisible.
Di antara pembicara, terdapat Ibu Khadijah sebagai perwakilan pekerja rumahan yang menerima pesanan dari perusahaan rantai suplai. “Saya mendapat pesanan dari perantara, dikerjain di rumah dengan gaji yang sangat minim. Saya kerja nggak tergantung jam—tergantung kerjaannya. Satu baju dihargai 2000, 3000, paling minimal 20 pieces. Saya dibayar per minggu.”
Sementara Syarif Arifin dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) yang fokus pada penelitian, pendidikan, dan penguatan organisasi buruh menyatakan bahwa di Indonesia, perusahaan-perusahaan pakaian hanya mengontrak tempat dan menyewa mesin. Jadi mudah sekali pindah produksi atau ditinggal kabur pemiliknya, sementara umur mesin reratanya 30 tahun, sehingga rentan terjadi kecelakaan kerja.
Buruh juga kerap menghadapi ancaman lembur paksa, dimana mereka harus menghadapi aancaman berupa dihambat untuk pengambilan cuti atau diintimidasi dari leader, dan lembur tanpa dibayar. Masalah lain yang kerap ditemui adalah pemutusan hubungan kerja terhadap pengurus serikat buruh tanpa dirundingkan, serta pemutusan kontrak secara tiba-tiba. Selain itu, ada pula faktor hubungan kerja tidak tetap untuk pengerjaan inti produksi dan pemutusan hubungan kerja ketika melahirkan. Kasus pelecehan seksual verbal dan nonverbal juga kerap ditemui dalam industri garmen.
Sebagai sektor yang paling rajin mengajukan penangguhan upah dan 90 persennya melibatkan buruh perempuan, perusahaan sejauh ini sebagian besar memberikan perlindungan keselamatan kerja yang terbatas—dalam bentuk BPJS, dan bersifat kompensasi bukan rehabilitatif.
Sementara Kees Gootjes dari Fair Wear Foundation, lembaga yang fokus pada garmen di level pabrik dan relasi brand-pabrik, memaparkan hasil temuannya mengenai apa yang dilakukan oleh FWF untuk memverifikasi kerja-kerja brand yang merupakan anggotanya antara lain pengecekan kinerja merk, audit tingkat pabrik, layanan hotline untuk pekerja, serta Workplace Education Program (Program Edukasi di Tempat Kerja).
*****