Oleh: Syahar Banu
Produksi industri kreatif telah menyerap banyak pekerja di berbagai bidang, seperti film, desain grafis, tata rias, penulisan, seni, pengisi suara, musik, dan lainnya, karennya memiliki peran penting dalam membentuk identitas budaya dan sosial kita.
Produksi industri kreatif telah menyerap banyak pekerja di berbagai bidang, seperti film, desain grafis, tata rias, penulisan, seni, pengisi suara, musik, dan lainnya, karennya memiliki peran penting dalam membentuk identitas budaya dan sosial kita. Namun, dibalik karya-karya menginspirasi dan menghibur ini, terdapat kenyataan pahit yang sering luput dari perhatian: para pekerja kreatif, baik yang bekerja di agensi maupun sebagai pekerja lepas (freelancer), menghadapi banyak tantangan dan kerentanan.
Joan, seorang tata rias atau make-up artist mengaku harus selalu sigap nyaris seharian untuk bekerja di dalam sebuah proyek film dengan gaji harian yang minim. Secara tidak langsung, seolah prinsip “industri film bukan untuk orang yang lemah”, diterapkan untuk menormalisasi eksploitasi kerja, perundungan (bullying), pelecehan seksual, dan penyimpangan (abusive). Sebagai contoh, menurut Joan, penyebutan sapaan yang mengandung pelecehan terhadap tubuh seseorang atau body shaming, adalah hal yang dianggap lumrah di industri perfilman. Lantaran normalisasi tersebut, maka citra yang tergambarkan yaitu, mereka bisa menahan trauma adalah yang bisa bertahan di industri kreatif.
Selain normalisasi terhadap praktik-praktik pelecehan dan kekerasan, kondisi kerja yang buruk juga terjadi pada ranah konsumsi makanan untuk para kru perfilman. Tak jarang, katering konsumsi yang disediakan sudah basi saat disajikan. Bagi yang punya cukup uang, mereka bisa memanfaatkan platform pesan antar online untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan, bagi pekerja yang kere, mereka terpaksa menahan lapar atau bahkan memakan makanan sisa dari kru lain.
Jam kerja panjang yang berujung kelelahan juga menjadi masalah di sektor industri perfilman. Dampaknya membuat situasi lokasi syuting makin memanas. Teriakan berisi sumpah serapah terlontar dari kru yang jabatannya lebih tinggi maupun talent.
“Yang paling kasihan kalau pemain filmnya masih anak di bawah umur,” ujar Joan. Ia sengaja menutupi kondisi kerjanya dari orangtua, karena takut tidak direstui untuk berkarir di industri film. Saat ini, ia terpaksa menelan semua ketidaknyamanan kerja karena ia perlu mengumpulkan portofolio karya.
Baca Juga: Apakah Aku Salah Bila Aku Janda?
Joan sama seperti pekerja kreatif di bidang lainnya yang sering dianggap sebagai “pekerja mandiri” alias freelance, yang menjalani profesi sesuai dengan gairah (passion) mereka. Sebutan ini sering kali membuat banyak orang berasumsi, bahwa mereka memiliki kontrol penuh atas pekerjaan dan kehidupan mereka dengan menikmati fleksibilitas yang tak terbatas. Namun, kenyataannya, mereka juga adalah buruh yang tergantung pada commission atau bayaran dari klien. Mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dan harapan klien, seringkali dengan sedikit atau tanpa perlindungan hukum dan sosial.
Ketidakpastian pendapatan adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh pekerja kreatif. Sebagian besar dari mereka bekerja dengan kontrak jangka pendek atau berdasarkan proyek tertentu, tentunya tanpa jaminan upah layak. Ketidakpastian ini diperburuk oleh sulitnya akses ke perlindungan sosial, seperti BPJS Ketenagakerjaan, dan BPJS Kesehatan.
Resiko pekerja di industri kreatif sangat tinggi untuk mengalami Penyakit Akibat Kerja (PAK). Kendati memiliki risiko kesehatan yang tinggi–mulai dari masalah mental seperti depresi hingga fisik seperti asam lambung, vertigo, cedera tulang punggung, dan carpal tunnel syndrome–banyak pekerja kreatif kesulitan mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, dan BPJS Kesehatan.
Ketiadaan status kerja sebagai “karyawan tetap” atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), membuat mereka perlu mendaftarkan diri secara mandiri, yang sering kali dihadapkan pada prosedur birokrasi yang rumit dan kurangnya informasi yang jelas.
Selain itu, pekerja kreatif sering kali harus berhadapan dengan jam kerja yang tidak menentu dan beban kerja berlebih. Mereka sering bekerja hingga larut malam atau bahkan pada akhir pekan untuk memenuhi tenggat waktu ketat dari klien, dan tanpa jaminan bayaran lembur. Kondisi ini tidak hanya menyebabkan kelelahan fisik, tetapi juga menimbulkan tekanan emosional yang berujung pada berbagai masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, serta kelelahan mental dan emosional (burnout).
Banyak dari mereka yang bekerja lepas juga tidak mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk praktik pelecehan dan diskriminasi di tempat kerja. Kerentanan tersebut memungkinkan setiap orang yang bekerja dalam industri kreatif mengalami berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, pelecehan seksual, dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Namun, karena tidak terikat pada satu perusahaan dan bergantung pada reputasi, serta jejaring perkawanan untuk mendapatkan proyek, banyak pekerja kreatif merasa takut untuk melaporkan kasus-kasus yang berakitan dengan kekerasan, pelecehan atau diskriminasi. Mereka khawatir kelak akan kehilangan peluang kerja di masa depan.
Di sisi lain, kurangnya pengakuan dan perlindungan atas hak cipta dan kekayaan intelektual juga menjadi masalah serius. Banyak pekerja kreatif diminta untuk menyerahkan hak atas karya mereka tanpa mendapatkan kompensasi yang layak. Ketika berhadapan dengan klien besar, mereka sering kali tidak memiliki kekuatan negosiasi untuk mempertahankan hak-hak mereka, meskipun karya tersebut merupakan hasil dari proses kreatif yang panjang dan melelahkan.
Isu lain yang dihadapi pekerja kreatif adalah tidak adanya standar gaji atau tarif yang jelas di industri ini. Tanpa regulasi yang ketat, banyak dari mereka yang dibayar di bawah standar atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Klien sering kali memanfaatkan posisi tawar yang lemah dari pekerja kreatif untuk menekan biaya tanpa memperhitungkan nilai dan biaya sosial yang telah dikeluarkan selama memproduksi suatu proyek.
Untuk menghadapi berbagai kerentanan ini, penting bagi pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan advokasi terhadap hak-hak pekerja kreatif. Memastikan akses yang lebih mudah dan inklusif ke perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan, menetapkan standar tarif dan kontrak kerja yang adil, serta menyediakan dukungan kesehatan mental yang memadai adalah langkah-langkah penting menuju industri kreatif yang lebih adil dan berkelanjutan.
Baca Juga: Catatan dari Lapangan: Mengatasi Kesulitan Pengorganisasian Buruh Muda
Sangat penting bagi pekerja untuk mampu mengadvokasi diri sendiri dan berserikat untuk memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik. Contoh paling nyata adalah aksi mogok kerja penulis naskah di Hollywood yang berjuang untuk upah yang lebih adil dan perlindungan terhadap hak cipta mereka. Tidak sekedar berbekal daftar harga atau suatu layanan atau rate card, pekerja perlu memahami pentingnya membuat sebuah kontrak kerja yang baik, terutama jika mereka adalah freelancer. Hal itu adalah alat penting bagi pekerja kreatif untuk memastikan bahwa hak-hak mereka terlindungi, mulai dari jam kerja, upah, hingga hak cuti.
Pakta integritas anti kekerasan seksual dan bullying, yang dibuat antara pekerja dan pemberi kerja sebelum memulai kontrak, juga merupakan langkah penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan relasi kerja yang setara. Serikat pekerja, seperti Sindikasi di Indonesia, mengadvokasi hal ini melalui kampanye “Sepakat di 14”, yang menuntut perlindungan bagi pekerja film melalui peraturan kerja yang jelas dan transparan dengan batasan 14 jam kerja, dari pada jam kerja yang tidak terbatas.
Advokasi lainnya termasuk upaya untuk memasukkan risiko psikososial, khususnya masalah kesehatan mental sebagai bagian dari perlindungan tenaga kerja dalam BPJS Ketenagakerjaan dan mendorong perusahaan agar memiliki SOP yang ramah gender serta melindungi hak-hak pekerja yang rentan. Semua upaya ini menunjukkan bahwa advokasi dan serikat pekerja memainkan peran penting dalam memperbaiki kondisi kerja di industri kreatif.
Dengan memahami bahwa pekerja kreatif bukan hanya sekadar “seniman yang mengejar passion“, tetapi juga buruh yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita harus memberikan penghargaan yang layak atas dedikasi mereka. Membangun ekosistem yang adil dan inklusif bagi pekerja kreatif adalah langkah penting untuk memastikan. bahwa mereka dapat terus berkarya dengan aman, sejahtera, dan dihormati di masa depan.
2 Pedoman Kontrak Kerja untuk Freelancer bisa diunduh di sini https://airtable.com/appQmjUGIAIIaUCN7/shrgejqYwpkAVBJ70
3 Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film oleh Serikat Sindikasi. Unduh dokumennya di sini https://airtable.com/appQmjUGIAIIaUCN7/shr2NqINk2TNAnaB0