Ada pribahasa atau ungkapan ‘Sudah Jatuh Tertimpa Tangga’ begitulah kiranya yang dirasakan oleh para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar negeri, setibanya di tanah air bukannya mendapatkan perlakukan atau pelayanan baik, bahkan jauh dari rasa aman, nyaman serta tidak dapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang merugikan para TKI. Lalu, siapa oknum yang terlibat melakukan tindakan tersebut?
Digadang-dagang sebagai pahlawan devisa bukan berarti TKI dijadikan ladang pencarian uang atau meraup materi bagi siapa, kapan dan di mana saja yang mengambil kesempatan bahkan meminta secara paksa oleh orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan. Peran negara dalam melakukan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dengan perlindungan hukum yang mengatur perlindungan TKI mulai dari prapenempatan, masa penempatan, sampai dengan purnapenempatan atau kembali ke Tanah Air yang diterbitkan dalam peraturan-peraturan berupa Undang-Undang No.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, serta terdapat juga Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2013 tentang Perlindungan TKI di Luar Negeri, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 02/MEN/1994 tentang penempatan tenaga kerja di dalam dan luar negeri, Kepmenaker No. 44/MEN/1994 tentang juklak penempatan tenaga kerja di dalam dan luar negeri, dan Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.
Kabar berita tentang TKI memang lebih sering meyedihkan dan memperihatinkan karena tidak sedikit TKI yang mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan, penganiayaan, pelecehan seksual bahkan sampai ada yang harus kehilangan nyawanya. Tetapi memang ada pula TKI yang mendapatkan atas hak-hak dan perlindungan sehingga masih banyak harapan bagi orang Indonesia untuk memilih mengadu nasib di luar negeri.
Pada bulan Juli tahun ini, masyarakat Indonesia dikejutkan pemberitaan terkait TKI yang datangnya dari negara kita sendiri yaitu terkuaknya pemerasan terhadap TKI di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten. Bahwa dalam pemberitaan di beberapa media elektronik pada Jum’at malam tgl 25-26 Juli 2014 KPK, POLRI, Badan Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Angkasa Pura II melakukan inspeksi atau sidak di terminal 2D bandara Soetta. Jika menelusuri jejak berita tentang pemerasan TKI di Bandara Soekarno Hatta memang sudah terjadi sejak tahun 1986.
Berita tertanggal 29 Juli 2014 liputan6.com, terdapat 18 orang yang diamankan dalam sidak oleh KPK dan instansi lainnya adalah 1 oknum TNI dan 2 oknum Polri, termasuk beberapa preman yang juga diduga berperan dan menjadi bagian dari rantai pemerasan terhadap TKI. Dugaan juga ada keterlibatan oknum-oknum instansi seperti Badan Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI. Bahwa menurut keterangan KPK Rata-rata TKI diperas oleh oknum dan preman sebesar 2,5 juta. Kemudian dari kajian KPK tercatat ada 360 ribu TKI yang pulang ke tanah air pertahunnya dan TKI dipaksa mengeluarkan uangnya sedikitnya 2,5 juta sebagai kompensasi mengeluarkan mereka dari bandara, mark up atau penggelembungan dana transportasi, biaya pengeluaran barang, dan paksaan menukar uang dengan kurs tinggi. Jumlah hasil pemerasan terhadap TKI terhitung fantastis. Misalkan 130 ribu TKI diperas 2,5 juta, maka sama dengan 325 miliar pertahun.
Modus Pemerasan TKI
Praktik pemerasan terhadap TKI menurut catatan Migrant Care, sudah terjadi sejak 1986. \”Buruh migrant selama ini hanya dijadikan objek”, menurut catatan Migrant Care ada sepuluh modus pemerasan, yaitu:
(1) Ada manipulasi penukaran uang, (2) tarif angkutan ke daerah asal, (3) pungli porter barang, (4) pembelian voucher pulsa secara paksa, (5) pengiriman barang via cargo, (6) Ada juga pencairan asuransi, (7) pencairan cek, (8) pungutan untuk kepulangan mandiri lewat terminal 2, (9) angkutan gelap, (10) serta memperlama tinggal di bandara.
Jika melihat peluang pemerasannya memang TKI menjadi sasaran empuk untuk merauk uang dari meraka, bisa dihitung pendapatan perhari saja jika per TKI diminta 2,5 juta dengan melihat data dari migrant care dalam 1 hari terdapat 400-500 orang bahkan bisa lebih yang diperas. Ditambah fakta peluang pemerasan yaitu mayoritas TKI yang baru datang dari luar negeri hanya sedikit memiliki uang rupiah, sebagian besar membawa mata uang asing dan TKI juga membutuhkan transportasi untuk ke daerahnya atau tempat TKI tinggal, karena bisa jadi taksi gelap (oknum mendapat fee dari yang mencari calon penumpang, jadi TKI membayar melebihi tarif biasa).
Upaya mengurangi terjadinya pemerasan dan diskriminasi pelayanan di Bandara Soetta terhadap TKI, maka pada tahun 2012 Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Peraturan Menteri yaitu Permenaker No.16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Kepulangan TKI Secara Mandiri Ke Daerah Asal, isi dari Permenaker tersebut adalah dihapuskannya Terminal IV untuk kepulangan TKI yang tidak bermasalah dan dialihkan ke Terminal II bandara Soetta. Adapun tujuannya untuk memberikan perlindungan terhadap TKI sesampai di Tanah air serta selamat sampai rumah kediaman TKI masing-masing. Namun tetap saja banyak celah untuk melakukan pemerasan terhadap TKI di Bandara karena diduga banyaknya oknum instansi yang terlibat.
Faktanya, pemberlakukan Permenaker tersebut yang terhitung sejak bulan Desember 2012, justru menambah rentetan penderitaan TKI. Terbukti sidak yang dilakukan KPK dan lembaga lainnya di Terminal II Soetta dengan temuan adanya pemerasan terhadap TKI yang menduga ada keterlibatan oknum instansi. Kemenakertrans memang melibatkan beberapa instansi seperti BNP2TKI, Angkasa Pura II, Polisi bandara, Otoritas Bandara, serta Imigrasi yang sejak penerbitan Permenaker menyatakan siap mendukung untuk pelayanan pemulangan TKI mandiri. Dalam hal ini berarti Kemenakertrans memang sejak awal melibatkan beberapa instansi negara.
Jika menelaah Permenaker No.16 Tahun 2012 tersebut pelaksannya memang melibatkan aparat terkait, bisa dilihat dalam Pasal 5 yang menjelaskan bahwa kepulangan TKI mandiri wajib melaporkan kepada BNP2TKI untuk mengetahui identitas TKI, dan pada Pasal 7 menjelaskan BNP2TKI setelah melakukan pendataan identitas kemudian melaporkan kepada aparat terkait guna memastikan keselamatan TKI sampai daerahnya. Sedangkan dalam Pasal 8 menjelaskan pelayanan pendataan dan koordinasi bagi kepulangan TKI secara mandiri dilarang untuk dipungut biaya. Butuh penjelasan siapa aparat terkait tersebut dan apa tugas serta wewenangnya kalau memang faktanya justru tidak memberikan perlindungan terhadap TKI.
Dengan demikian adanya Permenaker No.16 Tahun 2012 tersebut, memang justru membuka peluang untuk leluasanya oknum-oknum melakukan pemerasan terhadap TKI dan juga tidak ada kontrol atau monitoring terhadap siapa saja yang berwenang dan bagaimana pelaksanaan dilapangannya.
Oknum Yang Terlibat
Berdasarkan laporan hasil sidak KPK dan instansi lainnya terdapat keterlibatan oknum TNI, POLRI, preman bahkan juga diduga BNP2TKI, dan tidak menutup kemungkinan masih banyak instansi lainya karena pemulangan TKI dikelola banyak pihak sperti TNI, Polisi, Angkasa Pura, Kemenakertrans, BNP2TKI serta perusahaan swasta.
Sedangkan menurut kepala kepolisian Resor Bandara Soetta Komisaris Besar CH Pattopi penjelasannya yang dimuat diberita tempo.online tertanggal 06 Agustus 2014, menurutnya oknum memanfaatkan situasi bandara yang sepenuhnya mereka kuasai karena bebas keluar masuk bandara. Seperti keberadaan penyewaan mobil (rent car) bandara dan angkutan resmi bandara tetapi masih menggunakan plat hitam ini sama dengan taksi gelap dengan menggunakan jenis avanza, xenia dan lain-lain.
(Perlu diketahui, bahwa Keputusan adanya rent car di bandara Soetta merupakan keputusan Kementerian Perhubungan Darat yang membagi transportasi taksi dibandara meliputi pelat kuning dan hitam).
Tidak menutup kemungkinan masih banyak instansi lainnya yang terlibat, berdasarkan hasil laporan Migrant Care sebagai lembaga yang fokus pada isu Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, bahwa adanya keterlibatan anggota DPR yang mempunyai Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJKTI) yaitu menurut catatan Migrant Care ada enam anggota DPR yang mempunyai PJTKI. Bahkan ada pula anggota DPR yang memiliki perusahaan travel pemulangan TKI, padahal melalui perusahaan travel inilah modus terjadi pemerasan TKI dengan dikenakan tarif yang sangat mahal.
Anggota DPR Pemilik PJTKI
Menurut laporan data migrant care dan ditambah temuan oleh KPK berdasarkan berbagai data serta telah dikaji terkait pengelolaan kepulangan TKI, memang ada beberapa anggota DPR yang memiliki PJKTI dan travel.
Kenapa menjadi perhatian penting juga terhadap kepemilikan PJTKI ini, karena berdasarkan keberadaan PJTKI tersebut bisa menghambat reformasi birokrasi dalam hal penempatan dan perlindungan TKI. Bahkan bagi anggota DPR selaku pembuat regulasi bisa saja terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan oknum tertentu untuk memanfaatkan mengambil keuntungan dari pelaksaaan penempatan TKI dan tidak menutup kemungkinan mempengaruhi pembuatan peraturan UU terkait TKI itu sendiri.
Peran PJTKI dijelaskan dalam UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Bahwa peran PJTKI yaitu untuk menentukan rencana kerja penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, melakukan pelatihan kerja dan memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan TKI. Maka dapat diartikan bahwa PJTKI memiliki keterikatan dengan TKI sejak awal kontrak perjanjian hingga akhir sebagai TKI, dan dapat dikatakan pula bertanggungjawab atas perlindungan sesuai peraturan hukum yang berlaku bagi para TKI. Dalam UU No.39 Tahun 2004, bagi PJTKI yang mendapatkan skorsing diantaranya apabila tidak mengurus kepulangan TKI.
Berdasarkan fakta keterlibatan oknum-oknum dari berbagai instansi, menurut Migrant Care terdapat pola abuse of fower yang lebih sistemik, terstruktur dan masif. Menurut Said Zainal Abidin sebagai ahli manajemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, abuse of fower adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri ataupun untuk orang lain. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi. Sebuah variasi lain dari abused of power adalah apa yang dapat disebut sebagai penyalahgunaan institusi (abuse of institution), yaitu pemanfaatan organisasi menjadi kendaraan pribadi.
Pemangku negara saja melakukan tindakan penyalahgunakan atas wewenangnya dan lagi lagi rakyat yang menjadi objek kepentinganya. Hukum menjadi tumpul dan sesat, yang salah menjadi benar, yang benar menjadi salah. Kondisi seperti ini merupakan kesesatan publik. (Rah)