Trade Union Right Centre (TURC) baru meluncurkan buku “Ekonomi Informal Di Indonesia: Tinjauan Kritis Kebijakan Ketenagakerjaan” Jumat (24/07/2020) lalu. Dalam peluncuran tersebut, kami juga mengimbanginya dengan diskusi secara daring yang diisi oleh tiga orang narasumber yang juga terlibat dalam penulisan buku tersebut, diantaranya Indrasari Tjandraningsih peneliti Akatiga, Fathimah Fildzah Izzati peneliti politik LIPI, dan Mohammad Setiawan selaku Program Officer Informal Division TURC. Acara ini dimoderatori oleh Andi Misbahul Pratiwi Peneliti dan Pengembangan (Litbang) TURC yang berperan juga sebagai editor buku tersebut.
Kegiatan ini (turut) didukung Pemerintah Australia dengan Pemerintah Indonesia melalui program MAMPU, Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan dengan tujuan untuk mengadvokasi kebijakan ketenagakerjaan yang selama ini belum mengakomodasi dan mengakui hak-hak pekerja informal. Buku ini meninjau secara kritis kebijakan ketenagakerjaan yang ada di Indonesia dikarenakan adanya kerentanan berlapis yang dialami oleh perempuan pekerja di sektor informal akibat tiadanya hukum dan kebijakan ketenagakerjaan yang memadai untuk melindungi mereka. Sehingga buku ini menyajikan berbagai riset kebijakan terkait status pekerja informal di berbagai sektor, mulai dari bentuk dan/atau jenis kerja di sektor informal yang paling konvensional hingga kontemporer.
Dalam diskusi peluncuran buku ini, terdapat tiga pokok bahasan utama terkait sektor informal di Indonesia, termasuk pengenalan praktik dan tantangan kebijakan bagi pekerja informal, informalisasi dan kerentanan para pekerja industri kreatif, dan perlindungan dan pendampingan pekerja rumahan.
Dalam paparannya, Indrasari Tjaningsih membahas Pekerja Informal dan Informasi Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia: Praktik dan Tantangan Kebijakan. Ia menjelaskan bahwa kegiatan informal merupakan suatu cara untuk melakukan sesuatu yang dicirikan mudah masuk, bersandar pada sumber daya lokal, usaha milik keluarga, beroperasi skala kecil, padat karya dan keterampilan diperoleh di luar sistem formal sekolah, serta tidak diatur. Hal ini lekat dengan ciri UMKM, dimana ia banyak pelonggaran, menyerap banyak tenaga kerja-terutama masyarakat ekonomi lemah di lokasi sekitar tempat produksi, jenis teknologi sederhana, produk mengisi pasar lokal, dan tak sedikit produk UMKM juga mengisi pasar eksport.
Adanya informalisasi hubungan kerja di sektor informal terjadi karena adanya fleksibilitas yang menyebabkan ketidakpastian, ketidakamanan, dan kesenjangan di dunia kerja serta pada aspek kehidupan lain. Maka, arah kebijakan perlindungan tenaga kerja sangat memerlukan adanya konsolidasi data nasional terkait total jumlah riil pekerja di sektor informal. Kemudian penting adanya efektivitas jenis dan metode pelatihan. Kemitraan yang setara, pembatasan adopsi informalisasi di sektor formal, perlindungan pekerja yang berkualitas, dan perluasan jaminan sosial untuk pekerja informal.
Pekerja Informal pada sektor industry kreatif juga menarik untuk disimak. Fathimah Fildzah Izzati menyebutnya bahwa informalisasi kerja dan kerentanan para pekerja industri kreatif Indonesia dalam Flexploitation dan Gig Economy. Menurutnya, kini tidak ada standar internasional terkait jenis pekerjaan yang tergolong ke dalam pekerja industri kreatif. Hal ini disebabkan oleh adanya perdebatan teoritis yang mempermasalahkan definisi kerja komunikasi dan kebudayaan yang mempengaruhi definisi kerja kreatif. Sehingga persinggungan kerja-kerja dalam industri ini merupakan tolak ukur penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan industri kreatif.
Di Indonesia sendiri, industri kreatif sangat didukung oleh pemerintah. Gerakan 1000 Startup Digital misalnya. Namun sayangnya, dukungan yang sama tidak diterima oleh pekerja di dalam industri ini. Sebab, permasalahan utama di sektor industri kreatif adalah maraknya informalisasi kerja. Masifnya kerja-kerja yang bersifat temporer, ketidakpastian penghasilan, hubungan kerja, ketiadaan keamanan kerja, dan ketiadaan jaminan perlindungan sosial bak hantu bagi pekerja industri kreatif.
Jika ditilik kebelakang, sebenarnya faktor utama penyebab informalisasi kerja di sektor kreatif adalah flexploitationdan gig economy. Flexploitation sendiri terjadi ketika bekerja mengandalkan ‘passion’ dengan tiga mode kerja. Pertama, Post-fordism dimana produksi komoditas tidak lagi dihasilkan secara masal. Kedua specialty, keahlian khusus menjadi andalan utama yang dimiliki oleh pekerja/buruh. Ketiga piece wage system, upah diberikan berdasarkan hasil kerja. Hal ini mendorong pekerja untuk bekerja secara berlebihan dan lembur tanpa upah. Pekerja industry kreatif juga harus dihadapkan pada maraknya penangguhan upah dan pembatalan kerja secara tiba-tiba. Sebab, pekerja kreatif tidak memiliki komoditi selain keahlian tenaga kerjanya sendiri. Sehingga pasar kerja mereka terbatas.
Lebih lanjut, Fildzah memberikan beberapa rekomendasi untuk menyikapi hal tersebut diatas. Pertama, ia menyarankan agar regulasi terkait ekonomi kreatif atau industri kreatif harus melindungi pekerja industri kreatif secara luas. Termasuk para pekerja lepas atau freelancer. Kedua, beleid mengenai upah minimum, yang memenuhi standar kehidupan layak bagi para pekerja lepas juga diperlukan. Ketiga, revisi UU Ketenagakerjaan harus dapat memperbaharui perkembangan di dalam industri kreatif (termasuk gig economy) sekaligus melindungi pekerja industri kreatif secara bersamaan.
Perlindungan hukum tersebut juga harus mampu mencakup pemenuhan hak-hak pekerja serta penyediaan mekanisme perlindungan sosial bagi pekerja yang belum dijamin dalam berbagai kebijakan dan regulasi di Indonesia. Oleh karena itu, Omnibus Law RUU Cipta Kerja harus dibatalkan pengesahannya karena tidak melindungi kelas pekerja secara keseluruhan, dan peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang telah mengatur soal kesehatan mental pekerja perlu dibuktikan manfaatnya di tingkat implementasi. Pada akhirnya, sangat dibutuhkan perlindungan aktif dari pemerintah dan para penyelenggara negara lain terhadap kebebasan berserikat di Indonesia.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh TURC sejauh ini adalah berkaitan dengan Perlindungan dan Pendampingan Pekerja Rumahan. Seperti yang dipaparkan oleh Mohammad Setiawan, program officer divisi informal TURC menyebut, jika dilihat berdasarkan kompilasi data MAMPU (data kolektif dari TURC, Yasanti, dan Bitra), sebaran pekerja rumahan di beberapa provinsi di Indonesia dimana mayoritas berada di Medan, Sumatera Utara. Yakni berjumlah 1900 pekerja rumahan. Lokasi kedua terbanyak berada di Jawa Timur dengan 1200 pekerja rumahan. Sisanya ada 305 pekerja rumahan yang tersebar di DKI Jakarta, 305 di DI Yogyakarta, 226 di Jawa Tengah, 188 di Jawa Barat, dan 155 orang pekerja di Banten. Angka ini tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah riil pekerja rumahan yang ada karena sebagian pekerja rumahan tidak terdata.
Data dari ILO dan MAMPU juga menunjukkan bahwa pekerja rumahan aktif bekerja di sektor pengolahan makanan, pengolahan minuman, pengolahan tembakau, tekstil, pakaian jadi, kulit (barang kulit dan alas kaki), furniture, manufaktur lain, pengolahan bambu, kayu, dan rotan.
Kondisi pekerja rumahan sangat rentan karena mereka tidak secara langsung menerima pekerjaan dari pemberi kerja, biasanya melalui perantara/pemborong. Ditambah lagi tidak adanya kontrak kerja yang jelas dan tertulis. Belum lagi pekerjaan bersifat musiman dan tidak menentu kapan mereka akan memperoleh pekerjaan, tidak adanya alat pelindung diri saat bekerja, dan tidak adanya mekanisme penyelesaian konflik kerja.
International Labour Organization (ILO) telah mengesahkan Konvensi ILO 177 tahun 1996 tentang Kerja Rumahan. Namun hingga saat ini, Indonesia belum menandatangani maupun meratifikasi Konvensi ILO 177 tahun 1996 tentang Pekerja Rumahan. Sehingga, pekerja rumahan di Indonesia tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas dalam Undang-Undang maupun perundang-undangan yang berlaku.
Pekerja rumahan jauh lebih menderita dibandingkan dengan pekerja sektor informal lainnya. Mereka juga tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas karena Indonesia belum menandatangani ratifikasi Konvensi ILO 177 tahun 1996 tentang Pekerja Rumahan.
Sejauh ini TURC telah melakukan pendampingan pekerja rumahan di beberapa wilayah. Misalnya di wilayah Jakarta dan Tangerang, pekerja rumahan dibina membentuk koperasi, pelatihan pemetaan produk, pelatihan hidroponik, dan akses bantuan sosial. Di Sukabumi, pembentukan koperasi, pemetaan produk makanan, akses bantuan ke pemerintah Desa atau Kabupaten. Sementara di Cirebon, TURC melakukan pendampingan pada pengembangan koperasi, pelatihan digital marketing, dan akses pendanaan. Kemudian di Solo Sukoharjo, pembentukan koperasi, pelatihan pembuatan produk makanan, akses bantuan permodalan ke Pemerintah Daerah.
Apa yang dilakukan oleh TURC tak hanya pada tataran pendampingan. Pada tahun 2018 TURC bersama para akademisi menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI tentang Perlindungan Pekerja Rumahan. Langkah ini diambil sebagai langkah advokasi kebijakan, terkait pentingnya Indonesia memerlukan Permenaker tentang Perlindungan Pekerja Rumahan. Hal itu bukan tanpa alasan, TURC melihat ada tiga alasan utama mengapa permenaker ini menjadi penting.
Pertama, Permenaker ini menegaskan hubungan kerja dalam kerja rumahan. Kedua, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Perlindungan Pekerja Rumahan akan memberikan dampak nyata kepada setiap pemangku kepentingan dalam sistem kerja rumahan, yakni kepada Pemerintah, pengusaha dan pekerja. Ketiga, pembentukan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Perlindungan Pekerja Rumahan akan menjawab permasalahan hukum yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan dalam sistem kerja rumahan. (Siti Mahdaria)