
Fahri Hamzah membuat cuitan di Twitter dengan gaya bahasa yang seakan menyindir setelah insiden kapal tenggelam di perairan Tanjung Rhu, Johor, Malaysia, yang mana menimbulkan berbagai persepsi, salah satunya adalah persepsi merendahkan para masyarakat lokal yang pergi ke luar negeri untuk menjadi babu, sedangkan pekerja asing mendominasi dunia kerja dalam negeri.
Sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Fahri sudah meminta maaf, namun sebagian masyarakat menafsirkan secara berbeda, sehingga perasaan merendahkan para buruh migran ikut timbul.
Melalui pernyataan Fahri Hamzah tersebut merefleksikan persepsi para pembuat UU mengenai pekerja migran, terutama pekerja rumah tangga, bahwa pekerjaan tersebut hina yaitu hanya mengharapkan belas kasihan, bukan karena ingin mendapatkan hak kerja seperti pekerja pada umumnya.
Pernyataan tersebut juga mencerimankan bahwa pekerja rumah tangga bukanlah pekerjaan yang patut dihargai karena tidak membutuhkan keterampilan tinggi. Padahal kehadiran pekerja rumah tangga merupakan konsekwensi dari globalisasi, yaitu karena bertambahnya kebutuhan domestik, sehingga perempuan ikut turun tangan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, bukan sekedar ekspresi aktualisasi diri. Sayangnya, hal ini dipandang rendah oleh negara, seakan-akan isu tersebut bukan lah urusan publik, hanya urusan pribadi.
Dengan kondisinya yang rentan dieksploitasi, maka sudah seharusnya para anggota DPR memiliki keberpihakan atas isu pekerja rumah tangga. Namun dengan adanya cuitan tersebut, maka tercermin kurangnya perhatian pembuat UU. Sudah seharusnya mereka memiliki perspektif yang dilandasi asas filosofis (memuat norma & justifikasi), sosiologis (memberikan kepastian) & yuridis (kepastian & keadilan) untuk buruh migran dalam membuat UU.
Dibanding memberikan pernyataan tidak produktif, sudah saat DPR memberikan dorongan kepada masyarakat, yang terdiri dari:
- Revisi UU 39 yang tidak kunjung disahkan sejak 2010
- Payung hukum untuk memastikan perlindungan bagi tenaga kerja, termasuk mengesahkan Konvensi ILO 189 mengenai Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga
- Menghentikan paradigma komodifikasi & diskriminasi pekerja migran yang tercermin pada Roadmap Zero Domestic Workers 2017 yang ditindaklanjut dengan Kepmen 260 tahun 2015, tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah
Menyikapi situasi diatas, Jaringan Buruh Migran yang beranggotakan 28 anggota yang ada di dalam dan di luar negeri menyatakan :
- Meminta Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk memeriksa Fahri Hamzah terkait pelanggaran kode etik pasal 9 ayat 2 Peraturan DPR No 1 tahun 2015 tentang Kode Etik. Dalam pasal tersebut dikatakan “Anggota dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya tidak diperkenankan berprasangka buruk atau bias terhadap seseorang atau suatu kelompok atas dasar alasan yang tidak relevan baik dengan perkataan maupun tindakannya”.
- Meminta pemerintah dan DPR untuk :
- Serius dalam membahas isi revisi UU 39/2004 di tahun 2017 sesuai dengan prinsip perlindungan secara menyeluruh berdasarkan Konvensi PBB 1990 dan CEDAW.
- Memasukkan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia (RUU PPRT) kedalam Prolegnas Prioritas agar RUU tersebut dapat segera dibahas dan disahkan sebagai bentuk pengakuan terhadap pekerjaan rumah tangga (PRT)
- Meminta Pemerintah dalam hal ini Kemenaker untuk :
- Segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT dan meratifikasi Konvensi ILO No 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan
- Mengevaluasi kembali kebijakan Roadmap Zero Domestic Workers 2017 serta Kepmen 260 tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah yang semakin Memperkuat Pemiskinan Perempuan dan memperbesar peluang terjadinya trafficking.
Ditulis oleh: Risky Ramanda