Labour Discussion : Review Pengawasan Ketenagakerjaan di Indonesia
Pada hari Jumat, 23 Agustus 2018, TURC mengadakan diskusi terkait “Review Kebijakan Pengawasan Ketenagakerjaan” di kantor TURC, Benhil – Jakarta Pusat. Dikusi ini menghadirkan beberapa pembicara, yakni; Prof. Payaman Simanjuntak, dan tim peneliti Litbang TURC. Sedianya ada dua pembicara lain dari perwakilan Apindo dan unsur Serikat Pekerja dalam Tripartiet Nasional, tetapi sayangnya keduanya berhalangan hadir. Diskusi ini juga dihadiri oleh kawan-kawan dari serikat pekerja, akademisi, CSO terkait, dan LBH Jakarta. Acara ini diselenggarakan sebagai respon TURC atas kondisi pengawasan ketenagakerjaan yang carut marut sehingga melahirkan kondisi hubungan industrial yg rentan pada pelanggaran hak-hak normatif pekerja.
Dalam pemarapan materi, Hafidz Arfandi dari tim Litbang TURC mengawalinya dengan membahas studi yang dilakukan TURC pada 2017 di lima wilayah industri (Batam, Serang, Tanggerang, Bekasi, Jakarta, Bandung dan Surabaya) ditemukan bahwa di semua wilayah tersebut serikat pekerja mengeluhkan tidak berjalannya pengawasan perburuhan sehingga banyak hak normatif pekerja yang dilanggar. Di sisi lain, upaya protes serikat pekerja atas pelanggaran hak-hak normatif justru melahirkan reaksi balasan dari perusahaan baik berupa PHK maupun pemberangusan serikat.
Dalam paparannya, Prof. Payaman Simanjuntak, yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen pengawas di era 90-an, mendukung penuh perlunya reformulasi tata kelola hubungan industrial di Indonesia, terutama dengan memperkuat posisi sentral LKS Bipartit sebagai pengawas internal. Karena banyak persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan di level bipartiet dengan negosiasi Serikat Pekerja dan Menejemen perusahaan. Meskipun, peraturan perundang-undnagannya sudah cukup baik pelanggaran masih sering terjadi. Hal ini disebabkan faktor menejemen sangat menentukan pelaksanaan kebijakan ketenagakerjaan di dalam perusahaan, selama menejemen memahami dan mau terlibat biasanya persoalan ketenagakerjaan bisa diselesaikan dengan mudah.
Beberapa rekan dari kalangan akademisi, serikat pekerja CSO terkait juga turut hadir dan memberikan banyak tanggapan terkait diskusi ini. Diantaranya Oky Siagian, dari LBH Jakarta, yang melihat bahwa pengawas di beberapa daerah kondisinya sangat buruk dan perlu desakan dengan aksi demontrasi hanya untuk mengeluarkan nota pemeriksaan.
Menurut kalangan akademisi, Endang Rohani dan Samuel Gultom dari Labsos UI, melihat perlu menjadikan konvensi ILO 81 yang sudah diratifikasi sebagai acuan untuk mengevaluasi pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia. Hal lain yg patut disayangkan, perubahan kebijakan yang tidak dilakukan dengan basis riset yang memadai menunjukan perlu penataan ulang kebijakan ketenagakerjaan yang lebih profesional dan kredibel. Selain itu menurut padangan serikat pekerja, Hermawan dari Konfederasi Serikat Nasional (KSN) dan Jamal dari Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI), keduanya sependapat bahwa buruh tidak bisa pasrah hanya menanti pengawasan, kekuatan diakar rumput perlu dimobilisasi untuk mendesak ketaatan perusahaan, dan banyak lagi respon lainnya yang menanggapi carut marutnya pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia ini.
Melihat hal di atas persoalan pengawasan ternyata bukan hanya soal otonomi daerah yang menarik kewenangan pengawasan ke pemda, melainkan lebih karena tiga hal; Pertama, soal paradigmatik pengawasan yang masih terjebak pada model birokratis, sehingga menegasikan peran serikat pekerja dalam LKS bipartiet sebagai pengawas internal di tingkat perusahaan. Kedua, Tata Kelola pengawasan yang tidak memadai diantaranya model pengawasan masih mengandalkan relasi personal pengawas dan kepala unit pengawasan dengan pelapor dan perusahaan, padahal dalam skema pengawasan modern di segala lini selalu mengandalkan model impersonal, artinya, ada prosedur putus-putus antara pelaporan, pemeriksaan, penindakan hingga eksekusi. Hal ini diperlukan untuk mengatasi pelanggaran kode etik pengawasan. Selain itu, tata kelola pengawasan belum berjalan sehingga masih mengandalkan kebijakan personal pimpinan bukan berdasarkan sistem yang memadai, sebagai contoh sistem wajib lapor seharusnya bisa dibuka dan dijadikan acuan pelaksanaan pengawasan. Ketiga, banyaknya masalah pengawasan kenapa tidak pernah diangkat jadi diskursus publik baik oleh serikat pekerja maupun pemerintah.
Ketiga persoalan di atas menyebabkan kemandegan dalam melahirkan terobosan kebijakan pengawasan. Buktinya, Kementerian dan Dinas Ketenagakerjaan hanya mampu melakukan pengawasan di 262 ribu perusahaan skala besar, menengah dan kecil dengan jumlah pekerja 13 juta orang, padahal sensus ekonomi 2016 menyebutkan ada 26,7 juta perushaan di Indonesia dengan 70 juta orang pekerja. Artinya, kapasitas birokrasi pengawasan ketenagakerjaan kurang dari 1% dari perusahaan yang ada dan hanya 18% mengcakupi total pekerja di perusahaan.
Penguatan LKS Bipartiet memang perlu intervensi negara dengan memberikan dukungan pelatihan dan pembinaan kepada mereka yang duduk di LKS Bipartiet baik dari unsur buruh maupun perusahaan. Penataan ulang, peran LKS Bipartiet juga perlu dengan merevisi Keputusan Menteri No. 32 tahun 2008.
Tawaran solusinya ada dua jalan, pertama mendorong realisasi pembahasan RUU sistem pengawasan ketenagakerjaan di DPR, atau kedua, merevisi aturan turunan tentang pengawasan dari perpres hingga permennya. Titik berat revisi kebijakan tersebut adalah pada pelibatan lks bipartiet dalam skema pengawasan. Tantangannya, LKS Bipartiet yang ada baru sekitar 16 ribu saja, jauh dari jumlah perusahaan yang ada, belum lagi persoalan klasik dimana tidak mudah menyinergikan peran lintas dirjen atau bidang di Kementerian atau Dinas, mengingat Pembinaan LKS Bipartiet ada di Dirjen / Bidang Pembinaan Hubungan Industrial sedang Pengawasan berada di bawah Dirjen / Bidang Pengawasan dan K3, maka dibutuhkan keseriusan dari Menteri Ketenagakerjaan yang nanti terpilih pasca pemilu 2019 untuk merombak ulang unit-unit kerjanya agar bisa memperbaiki tata kelola hubungan industrial di Indonesia.
Ada beberapa hal yang perlu dikerjakan bagi perbaikan pengawasan; pertama, menyusun peta kerawanan perusahaan (kategorisasi Merah, Kuning, Hijau) sehingga pengawas paham mana yang perlu penanganan intensif mana yang cukup dilakukan pembinaan dan sosialisasi saja. Kedua, diperlukan mekanisme penempatan pengawas yang fleksible, tidak hanya di ibu kota provinsi tapi bisa dimobilisasi di kawasan industri dan bisa saling melakukan perbantuan, Ketiga, perlu peningkatan kompetensi pengawas dan PPNS, serta pendekatan khusus kepada gubernur, dikarenakan domain pengawasan sekarang berada di bawah kendali Gubernur.
Harapannya dengan diadakannya diskusi ini, dapat menjadi ruang kolaborasi untuk mendorong efektivitas hukum untuk menciptakan kondisi perburuhan Indonesia yang lebih baik. (HAF)
Materi dapat didownload melalui: