PT Hansae Indonesia Utama yang berlokasi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cilincing, Jakarta Timur, semakin tak jelas. Industri yang memasok bahan pakaian untuk produk H&M, POLO, Catherines, Lane Bryant, dan Sunday tersebut memiliki lima pabrik yaitu PT Hansae 1, 2 , 3, 5, dan 6A. Namun sejak 2018, pabrik-pabrik tersebut bergantian tutup dengan waktu yang berdekatan. Dan kemudian tersisa dua pabrik yaitu PT Hansae 3 yang tutup pada tanggal 8 mei 2019, dan PT Hansae 6A yang isunya tidak lama lagi juga akan tutup.
Kabar tutupnya Hansae 3 didengar buruh ada 26 April 2019 lalu. Saat itu pihak management memberitahukan bahwa pada 8 Mei 2019 pabrik akan tutup dengan alasan bangkrut. Hal itu juga berbuntut pada mogok kerja. Mogok kerja juga dilakukan mengingat pesanan tiba-tiba dialihkan Pemindahan ini mengingat Upah Minimum Regional (UMR) di Jakarta yang kini mencapai Rp 3,8 Juta. Sedangkan di Jawa Tengah hanya Rp 1,6 Juta. Padahal, buruh mengaku telah diberi target yang tidak masuk akal. Misalnya, tak jarang buruh harus pulang pukul 21.00 hingga 22.00 WIB. Namun, mereka harus datang pagi hari untuk kembali bekerja.
Senin, 7 Mei 2019, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dan pihak pabrik kembali bernegosiasi. Namun tak ada hasil pasti bagi buruh. Ratusan buruh yang menduduki pabrik mendesak perusahaan membayar pesangon para buruh sesuai masa kerja, bukan sesuai dengan masa pengangkatan karyawan. Mereka baru setahun belakangan diangkat menjadi karyawan tetap. Namun, sebenarnya mereka bukanlah karyawan baru. Masa kerja mereka rata-rata antara lima hingga delapan tahun. Namun, selama itu, statusnya karyawan kontrak.
Mereka juga tak ingin peristiwa saat penutupan PT Hansae 5 kembali terjadi. Sebab, saat Hansae 5 tutup, pemberian pesangon pada buruh hanya berasarkan masa kontrak pengangkatan. Oleh karena itu, kini mereka sedang khawatir jikalau nasib serupa akan berganti menimpa mereka. Sebab, Hansae terkenal buruk dalam rekam jejaknya memperlakukan para buruh. Apalagi saat ini kebutuhan lebaran juga mendesak.
Oleh karena itu, FBLP menuntut pembayaran pesangon sesuai dengan yang tertera pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 beserta uang THR. Namun perusahaan tetap dengan pendiriannya yaitu membayar upah satu kali pesangon dari masa pengangkatan. FBLP sempat menurunkan tuntutannya menjadi 75% dari satu kali pesangon, yang terhitung dari masa kerja. Namun, negosiasi pada akhirnya berujung deadlock. Buruh tetap menolak tawaran perusahaan, sebab jika dihitung dari penetapan karyawan tetap, maka banyak sekali pesangon buruh yang akan terpotong atau tidak dibayarkan oleh perusahaan.
Selain menuntut uang pesangon buruh Hansae, dibayar sesuai ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 beserta uang THR. FBLP juga juga membangun solidaritas dari berbagai elemen mesyarakat karena ketidakadilan pada buruh tidak bisa dibenarkan dengan alasan. Sehingga tutupnya Hansae 3 ini tak semulus pabrik-pabrik sebelumnya. Sebab, serikat terus berjuang mendapatkan hak-haknya. Bahkan tidak jarang beberapa serikat dan organisasi lain seperti Perempuan Mahardhika, dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) turut terlibat dalam solidaritas ini. Sehingga proses tutupnya pabrik tidak mudah. (Mohammad Setiawan)