TURC Logo White Transparent
Svg Vector Icons : http://www.onlinewebfonts.com/icon
Search
Search
Close this search box.

Labour Discussion TURC : Membedah Kapitalisme Global dan Dampaknya Bagi Buruh Perempuan

Senin, 29 April 2019, Labour Discussion TURC kembali diselenggarakan dengan mengangkat tema “Kapitalisme Global dan Buruh Perempuan” di kantor TURC, Jakarta. Diskusi ini menghadirkan Thaufiek Zulbahary (Komisioner Komnas Perempuan), Sarah Kennedy (Kandidat Doktoral dari Harvard University), Sumiyati (Serikat Pekerja Nasional dan Komite Perempuan AFWA) sebagai pembicara dan Andi Misbahul Pratiwi sebagai moderator. Diskusi ini dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari buruh industri garmen, serikat buruh hingga akademisi,

Andi dalam pengantarnya menjelaskan bahwa kapitalisme klasik di era industrialisasi telah berubah wujud menjadi kapitalisme global, dimana lokus produksi, pekerja, kebijakan dan sirkulasi bisnis telah melampaui batas-batas negara. Kapitalisme global juga dilanggengkan dengan kebijakan suatu negara, pasar, dan kebijakan organisasi-organisasi internasional yang pro-pasar. Andi Menjelaskan bahwa dalam kelindan kapitalisme global, suara buruh perempuan tidak pernah dilihat dan dipertimbangkan sebagai kebijakan ekonomi, sebab dalam ruang produksi yang selama ini didominasi oleh laki-laki telah mensubordinasi ruang domestik—dimana perempuan dikondisikan dalam kerja-kerja reproduksi sosial.

Sarah Kennedy dalam presentasinya menjelaskan tiga hal yaitu bagaimana kapitalisme berkontribusi terhadap emansipasi perempuan, bagaimana kapitalisme mengeksploitasi perempuan dan bagaimana perjuangan kontemporer untuk menantang devaluasi pekerjaan perempuan. Sarah memulai presentasinya dengan kembali melihat sejarah kapitalisme klasik yang ditandai denngan pemikiran dari Adam Smith tentang pasar.

Sarah menjelaskan, pemikiran Adam Smith mengandaikan sebuah sistem pasar yang besar yang artinya sama dengan insentif besar, dengan demikian manusia perlu menciptakan sesuatu untuk dapat dijual, dengan demikian kapital atau kekayaan dapat diraih oleh masyarakat.

Kemudian di periode 1950an hingaa 1970an mulai berkembang teori modernisasi yang mendorong industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara dunia pertama, hal ini sejalan dengan modernisasi kehidupan sosial, budaya dan politik—termasuk di dalamnya tumbuh ideologi demokrasi liberal yang memperjuangkan hak-hak individu. Pada abad ke-19 muncul pemikiran feminisme liberal yang beranggapan bahwa kapitalisme telah membebaskan perempuan dari patriarki tradisional dan kengerian kerja, melindungi perempuan di ranah domestik dan membuat kondisi rumah tangga semakin baik dengan hadirnya teknologi rumah tangga.

Dengan runtutan sejarah tersebut, Sarah menganalisanya dengan pemikiran dialektis Marx untuk melihat selubung penindasan kapitalisme terhadap perempuan. Berangkat dari pemikiran Marx, peningkatan kekayaan/kapital di masyarakat tidak berarti didapatkan oleh semua individu dalam masyarakat. Lebih jauh, kapitalisme juga mengeksploitasi perempuan melalui subordinasi kerja produksi di ruang publik dan kerja reproduksi di ruang domestik. Di dalam rumah perempuan melakukan kerja-kerja reproduksi sosial seperti memasak, membersihkan, mengasuh anak, merawat, dan seks. Sedangkan di tempat kerja, diskriminasi upah perempuan karena dikotomi kerja publik vs domestik tersebut, perempuan dibayar murah karena dianggap pekerja yang tidak memiliki keahlian dan penghasilan perempuan dianggap hanya “tambahan” dalam keluarga. Lebih jauh, reproduksi sosial kapitalisme bergantung pada tenaga kerja murah dan gratis perempuan di rumah, karena selama ini kerja-kerja reproduksi perempuan di dalam rumah tidak pernah dihitung sebagai “kerja” produktif yang memiliki nilai ekonomi. Sarah menyatakan bahwa, hal tersebut berarti negara telah mendorong kekerasan berbasis gender karena telah \’mendisiplinkan\’ pekerja perempuan. Menurut Sarah, devaluasi \’pekerjaan feminin\’ ini adalah penyebab utama kesenjangan upah gender di ruang publik. Devaluasi pekerjaan perempuan hanya dapat dimungkinkan apabila dikotomi produktif vs non produktif dan publik vs domestik dihapuskan dan menyetarakan kerja-kerja produksi maupun reproduksi sosial.

Thaufiek Zulbahary (Komisioner Komnas Perempuan) memulai presentasinya dengan berangkat dari definisi umum kapitalisme yaitu sebagai sebuah sistem ekonomi dimana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar dan pemilik modal dalam melakukan usahanya berusaha meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Menurut Thaufiek kapitalisme menjadi faktor pendorong dan penarik migrasi tenaga kerja. Dalam sistem ekonomi dan politik yang kapitalis, masyarakat dari wilayah perdesaan adalah kelompok paling rentan terampas ruang hidupnya. Tanah mereka dirampas atas nama pembangunan dan industrialisasi, yang kemudian memaksa petani harus berproduksi dengan ‘menjual’ tenaganya kepada pemilik tanah, sehingga kebutuhan hidup layak mereka tidak terpenuhi. Akibatnya, proses urbanisasi pun terjadi, mereka meninggalkan desa (bermigrasi baik ke kota maupun ke luar negeri) dengan harapan memberi solusi bagi  keterpurukan ekonomi keluarga mereka. Adanya konstruksi gender mendorong perempuan bermigrasi untuk menopang ekonomi keluarga (menjadi PRT, PRT migran, dll). Situasi tersebut memunculkan kerentanan perempuan menjadi korban perdagangan orang.

Lebih jauh, dalam kelindan migrasi kerja, negara justru absen melindungi warga negaranya. Dalam UU No. 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI di Luar Negeri hanya terdapat 8 pasal yang membahas perlindungan terhadap Buruh Migran Indonesia (BMI), selebihnya hanya ‘tata niaga’ penempatan BMI yang diserahkan ke pihak swasta. UU tersebut dianggap tidak memenuhi standar HAM internasional untuk menjamin perlindungan bagi semua TKI. Kendati porsi terbesar dari TKI adalah perempuan, UU ini tidak punya kepekaan khusus pada kerentanan- perempuan. UU ini juga hanya mengakui dan melindungi tenaga kerja yang dianggap \’resmi\’, padahal diperkirakan separuh dari TKI kerja tanpa dokumen resmi di luar negeri.

Menurut Thaufiek, dengan UU yang demikian, alih-alih memfasilitasi hak atas kerja warganya, sebaliknya justru negara berperan aktif membuka keran penempatan BMI ke sejumlah negara tujuan, untuk membuka keuntungan bagi pihak swasta dan meraup devisa dari BMI tanpa dibarengi perlindungan yang jelas terhadap BMI. Dengan kata lain, Negara menjadikan BMI sebagai tumbal untuk meraup devisa. Menurutnya, situasi buruk pekerja migran tidak terlepas dari sistem ekonomi-politik kapitalisme yang terus difasilitasi oleh kebijakan negara yang justru melanggengkan penindasan. Komisioner Komnas Perempuan tersebut, menjelaskan lebih jauh bahwa perempuan pekera migran mengalami kerentanan berlapis dalam proses migrasi, mulai dari tahap pre-departure/sebelum berangkat, on-site (post arrival)/di tempat kerja dan kepulangan. Bentuk kekerasan yang dialami perempuan pekerja migran antara lain, kekerasan ekonomi, kekerasan psikis, kekerasan fisik dan kekerasan seksual, yang didapat dari agen penyalur, majikan, keluarga, bahkan negara—dalam bentuk absennya pelindungan hukum.

Komnas Perempuan telah melakukan berbagai upaya dalam mendorong lahirnya perlindungan hukum bagi buruh migran Indonesia sejak tahun 1999. Komnas Perempuan merasa perlu menyikapi kekerasan yang terjadi pada buruh migran karena mayoritas dari buruh migran Indonesia adalah perempuan yang mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Sepanjang tahun 2015 hingga 2019, Komnas Perempuan melakukan kajian dan advokasi terkait kelindan persoalan perempuan dalam migrasi global yang saling terkait dengan persoalan narkotika dan perdagangan orang. Thaufiek menjelaskan bahwa Komnas Perempuan juga mendorong buruh migran/organisasi migran sebagai aktor yang setara, artinya mereka dapat submission langsung laporan ke PBB dan melakukan penanganan kasus, pemulihan, penguatan kapasitas. Komnas Perempuan juga mendorong Kemlu untuk memperbaiki layanan membuat sistem layanan lebih strategis dan optimal, mengadvokasi pengesahan RUU PRT dan KILO 189, mendorong peneribitan aturan pelaksana UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), RPP Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan PMI.

Paparan selanjutnya disampaikan oleh Sumiyati dari Serikat Pekerja Nasional dan Komite Perempuan AFWA (Asian Floor Wage Alliance). Sumiyati menjelaskan bahwa di level kebijakan sudah ada berbagai kemajuan dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Ia menyebutkan pasca reformasi, lahir Komnas Perempuan sebagai lembaga independen untuk mewujudkan hak-hak perempuan Indonesia, kemudian lahir UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kebijakan afirmatif Pemilu tentang kuota 30% dan sebagainya. Lahirnya kebijakan tersebut dapat dilihat secara positif bahwa hak-hak perempuan diakui dan dilindungi oleh negara. Namun, ia juga mengkritik bahwa kesetaraan gender belum dipraktikan secara penuh dalam bermasyarakat dan bernegara, karena masih banyak praktik ketidakadilan yang dialami perempuan khususnya perempuan pekerja.

Sumiyati menjelaskan bahwa kapitalisme global menekan industri untuk memproduksi barang secara cepat dan menciptakan tren konsumsi pada masyarakat. Sehingga menurut Sumiyati, barang tidak lagi diproduksi berdasarkan kebutuhan masyarakat tetapi industri itu sendirilah yang menciptakan kebutuhan di dalam masyarakat. Hal ini menurutnya sangat berdampak pada penciptaan pola-pola produksi yang eksploitatif guna merauk keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada tahap inilah, kelas pekerja menjadi korban upah murah, jam kerja tak berbatas, perlindungan minim dan secara khusus pekerja perempuan akibat stereotipe kerja feminin vs maskulin.

Sumiyati menceritakan, bahwa AFWA juga berfokus pada isu kekerasan berbasis gender. Beberapa bentuk kekerasan yang dialami pekerja perempuan karena identitasnya sebagai perempuan antara lain, kesenjangan upah, tak ada ruang laktasi, dipecat karena hamil, hingga kekerasan seksual. Berdasarkan penelitian AFWA tahun 2018,  ditemukan fenomena bahwa pekerja perempuan yang alami kekerasan seksual di tempat kerja takut untuk melaporkan kasusnya karena mendapat  ancaman, intimidasi, PHK. Hasil penelitian AFWA juga menunjukkan bahwa perempuan di sektor garmen mengalami kekerasan seksual bukan hanya di lokasi kerja tetapi juga dalam perjalanan menuju tempat kerja. Menurut Sumiyati, kekerasan tersebut tidak berdiri, sebab perusahaan atau pemberi kerja juga tidak menyediakan layanan pengaduan dan penanganan kasus kekerasan tersebut, sehingga perempuan harus menanggung sendiri. Dengan demikian AFWA mendorong pemberi kerja atau dalam hal ini brand turut bertanggung jawab dalam menangani kasus kekerasan terhadap pekerja perempuan. (Andi Misbahul Pratiwi)

Penulis

Trade Union Rights Centre

Tags

-

Bagikan artikel ini melalui:

Dapatkan Informasi Terbaru Seputar Isu Perburuhan!