TURC Logo White Transparent
Svg Vector Icons : http://www.onlinewebfonts.com/icon
Search
Search
Close this search box.

Menjawab Minimnya Partisipasi Perempuan Dalam Serikat Buruh Perkebunan Kelapa Sawit

Merespon persoalan minimnya partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam serikat buruh, maka Trade Union Rights Centre (TURC) kemudian melakukan pelatihan sensitivitas gender untuk serikat pekerja/buruh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan. Pelatihan tersebut berlangsung pada 25-26 Oktober 2019 lalu di Aula Kecamatan Kelumpang Hulu, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pelatihan ini diikuti sedikitnya oleh 25 anggota dan pengurus dari berbagai serikat buruh di PT Eagle High Plantation (EHP), PT Sinarmas, dan PT Minamas.  

Andi Pratiwi dari TURC bertindak sebagai fasilitator. Ia mengajak para peserta untuk terlebih dahulu mengidentifikasi kerja perempuan di dalam rumah, komunitas, dan ditempat kerja/kebun. Identifikasi tersebut dimulai dari bangun tidur hingga malam hari. Andi juga membagi para peserta dalam kelompok, hal itu dengan tujuan agar peserta dapat secara aktif berdiskusi dan menyusun hasil identifikasi.

Dari proses identifikasi tersebut, kemudian ditemukan bahwa kerja perempuan pekerja/buruh di dalam rumah sangatlah banyak. Diantaranya adalah mencuci, memasak nasi, menyiapkan bekal bekerja, mengurus anak, menyapu rumah dan lain sebagainya.

Namun, sejauh temuan yang muncul masih menunjukkan bahwa kerja domestik masih dilakukan oleh perempuan saja. Hal itu bukan tanpa sebab, menurut para perempuan pekerja/buruh menyatakan bahwa hal itu terjadi karena suami yang tidak ikut membantu. Masalah lainnya adalah persoalan air dan listrik dari perusahaan yang terbatas.

Kegiatan perempuan pekerja/buruh diranah komunitas atau kegiatan sosial kemasyarakatan, ialah mengaji, olahraga zumba dan voli, dan terlibat dalam PKK. Kartina, jsalah seorang juru catat atau sering disebut kerani dari PT Sinarmas menyebut bahwa di wilayah kerjanya, kegiatan PKK cukup aktif sehingga ia pun ikut serta dalam berbagai kegiatannya. Pernyataan lain dikeluarkan oleh Sri Harti dari PT EHP. Selama ini ia aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan seperti kelompok pengajian dan olahraga zumba.

Dari identifikasi dapat diketahui, bahwa kegiatan sosial masyarakat perempuan berbeda beda antara masing-masing perusahaan  dan divisi atau lokasi tempat tinggal. Namun, meski berbeda-beda kegiatan yang mereka lakukan, mayoritas pekerja/buruh perempuan menyatakan bahwa kegiatan sosial kemasyarakatan ini sangat bermanfaat bagi kesehatan jiwa mereka. Sebab, hal itu bisa menjadi sarana untuk menghilangkan jenuh dari rutinitas harian.

Saat identifikasi masalah di tempat kerja Andi mengelompokan peserta berdasarkan pekerjaan mereka masing-masing. Yaitu pembrodol, kerani, dan perawatan. Kelompok pembrodol mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dalam pekerjaan mereka. Diantaranya adalah,  tidak ada jaminan sosial, status kerja sebagai buruh harian lepas selama bertahun-tahun, tidak diberikannya cuti haid, tidak disediakannya alat kerja dan alat pelindung diri (APD).

Kelompok ini juga menyebut ada masalah lainnya, seperti upah rendah, klinik perusahaan yang tidak menyediakan obat-obatan secara lengkap, dan jumlah hari kerja yang hilang atau tidak tercatat. Dimana hal tersebut berdampak pada upah yang mereka terima.

Masalah yang dihadapi oleh pembrondol juga dialami dikelompok kerani. Yaitu seputar  ketersediaan obat-obatan di klinik, cuti haid kerap kali sulit diambil dan  jaminan sosial. Namun, yang mengejutkan adalah kerani ditingkat divisi mengaku sering menemukan kasus tunggakan BPJS kesehatan oleh perusahaan. Saat mau menggunakan BPJS yang ia miliki, justru tak aktif. Sebab iurannya belum dibayar oleh perusahaan.

Namun, ada catatan penting di kelompok kerani ini. Saat perempuan kerani menstruasi, mereka harus lapor terlebih dahulu ke klinik untuk dipastikan kebenaran kondisi haidnya. Kemudian mereka dianjurkan untuk beristirahat di klinik dan diberi obat pereda rasa sakit. Bila kondisinya membaik maka mereka diwajibkan untuk bekerja kembali.

Ada masalah yang paling mencolok di kelompok pereawatan. Tidak disediakannya alat pelindung diri berdampak serius kepada kesehatan mereka pada masa mendatang. Salah seorang perempuan yang bekerja pada divisi perawatan PT EHP menjelaskan bahwa mereka hanya sekali diberikan baju pelindung untuk kerja penyemprotan. Sehingga setelah baju itu sudah tidak layak pakai, mereka hanya menggunakan baju seadanya ditambah dan masker.

Sebenarnya, mereka para perempuan perawatan ini berharap perusahaan memberikan insentif susu, ketika setelah melakukan penyemprotan dan pemupukan pohon kelapa sawit. Hal itu sebagai penetralisir racun dalam tubuh. Pasalnya, setelah penyemprotan mereka kerap kali merasa mual dan pusing. Dugaannya mereka terpapar zat kimia dari obat semprot dan pupuk.

Andi menyudahi proses identifikasi. Ia melanjutkan dengan menjelaskan bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan di ruang domestik dan publik. Misalnya stereotipe gender atau pelabelan secara negatif berdasarkan jenis kelamin, beban ganda, penomorduaan dan marginalisasi. Bentuk ketidakadilan gender tersebut mengakibatkan perempuan kerap kali berada di posisi rentan atau miskin. Akibatnya, mereka terjerat dalam lingkaran kekerasan berbasis gender.

Identifikasi masalah tak berhenti di ruang domestik saja. Andi mengajak untuk mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam berpartisipasi di serikat buruh. Hasilnya dapat diketahui bahwa selama ini masih minim teman sesama perempuan didalam rapat serikat, akses transportasi yang murah dan aman bagi perempuan untuk keluar dari kebun ke tempat pertemuan serikat, kurangnya percaya diri perempuan, dan rendahnya pendidikan.

Pada hari kedua pelatihan, kini ada tambahan peserta. Yaitu pengurus anggota dan pengurus serikat di tiga perusahaan, baik laki-laki maupun perempuan. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman tentang keadilan gender yang sama bagi anggota serikat. Pelibatan laki-laki dalam pelatihan ini juga dalam rangka mendorong serikat buruh perkebunan kelapa sawit yang ramah perempuan. Pemahaman tentang bentuk-bentuk ketidakadilan gender dan konteksnya di ranah domestik dan publik diberikan.

Konsep yang mendasar adalah perbedaan berdasarkan jenis kelamin dan pembedaan berdasarkan jenis kelamin. Konsep ini menjelaskan bahwa perbedaan adalah bersifat kodrati dan tidak dapat dipertukarkan. Misalnya menstruasi, hamil, dan melahirkan. Sedangkan pembedaan adalah bersifat sosial atau dibentuk secara budaya, seperti memasak, cuci baju, dan stigma bahwa perempuan lemah, sedangkan laki-laki kuat.

Selain menjelaskan konsep tersebut secara gamblang, Andi juga mengajak peserta untuk mengidentifikasi hambatan yang dihadapi perempuan untuk aktif berserikat, tawaran solusi dari serikat untuk mengurangi masalah serta hambatan perempuan, dan rencana tindak lanjut dalam bentuk penyusunan program sederhana untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam serikat.

Secara umum, apa yang telah dilakukan TURC dalam pelatihan ini berlangsung sangat interaktif dan partisipatif. Meski sebenarnya masih ditemukan berbagai masalah dalam ruang kerja domestik perempuan.

Misalnya pertama, sejauh ini pembagian kerja didalam rumah tangga, antara laki-laki dan perempuan harus diupayakan karena perempuan buruh juga berkontribusi terhadap ekonomi keluarga. Kedua, hak-hak perempuan sebagai pekerja perlu diupayakan dan diperjuangkan melalui serikat. Ketiga sebagai yang terakhir adalah, soal keterlibatan perempuan dalam serikat buruh adalah terkait signifikansinya dalam konteks hak-hak normatif pekerja perempuan. (Wean Guspa Upadhi)

Penulis

Trade Union Rights Centre

Tags

Bagikan artikel ini melalui:

Dapatkan Informasi Terbaru Seputar Isu Perburuhan!