Ada dua permasalahan utama Dalam sistem pengupahan di Indonesia. Pertama, standar upah ditentukan berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yg sejak 2012 ditentukan berdasarkan 60 komponen yg rigid, tetapi KHL hanya sebagai patokan dasar dari tingkat upah terendah. Hal itu melihat dimana KHL mengasumsikan kebutuhan buruh dapat diatas atau dibawah KHL sesuai keputusan kepala daerah setelah mempertimbangkan saran Dewan Pengupahan Kabupaten atau Kota (Depekab).
KHL sendiri diasumsikan sebagai dasar upah paling bawah dimana perhitungannya diasumsikan untuk pekerja laki-laki lajang. Sedangkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) ditentukan seharusnya untuk pekerja dengan masa kerja 0 tahun atau platform batas bawah upah. Meski nyatanya, UMK seringkali sebagai komponen penentu upah pokok efektif pada mayoritas perusahaan.
Kedua, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sebenarnya juga telah mengatur tentang kenaikan upah tahunan yang ditentukan dengan formula, inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi. Dimana KHL hanya ditentukan lima tahunan, selebihnya menganut formula baku. Dalam hal ini, serikat pekerja merasa perannya dalam dewan pengupahan diminimalisir hanya 5 tahunan.
Meski demikian, konsep PP No 78 Tahun 2015 bukanlah konsep yg kaku. Beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) justru memilih menaikan upah diatas dari apa yang telah diatur dalam PP No 78 Tahun 2015. Hal itu didasarkan pada dua alasan. Pertama, penyesuaian nilai KHL. Kedua, kebutuhan yang meningkat di daerah tersebut, sehingga upah dirasa tak lagi cukup.
Ada persoalan yang muncul saat penentuan KHL. Ketimpangan nilai KHL untuk daerah industri dan non industri. Meskipun sebenarnya harga komoditas relatif sama. Pun jika berbeda, hanya pada harga sewa rumah atau kamar kos, sisanya relatif sama. Maka, akibatnya muncul ketimpangan upah yang cukup mencolok antara daerah industri dan non industri. Hal ini, pada akhirnya akan berujung pada ancaman relokasi industri dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal kepada pekerja.
Mengapa hal ini bisa terjadi, sebab selama ini survei yang dijadikan dasar penentuan KHL tidak memiliki petunjuk teknis yang jelas. Siapa yg bertanggung jawab atas survei, dan dimana letal survei dilakukan tak pernah ada rilisan yang jelas. Beberapa rekan serikat pekerja dibeberapa daerah yang serikatnya tidak dominan, maka dewan pengupahan tidak berjalan semestinya sehingga penentuan upah hanya berdasar asal sepakat antara pemerintah dan asosiasi pengusaha setempat.
Data yang ada menunjukan bahwa pada penentuan upah minimum 2019, Kabupaten Kerawang, Jawa Barat menempati upah minimum tertinggi yaitu Rp 3,9 Juta. Sedangkan, upah minimum provinsi hanya Rp 1,5 Juta. Hal itu masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kota Cilegon, Banten dimana upah minimum terbesar Rp 3,6 Juta. Meskipun UMP hanya Rp 2 Juta saja. Di Jawa Tengah, dengan UMP Rp 1,4 Juta, UMK Semarang mencapai 2.3 juta.
Di Kepulauan Riau Kota Batam memiliki upah minimum tertinggi 3.9 juta sedangkan upah minimum provinsi hanya 2.5 juta. Hal ini menyebabkan terjadinya aglomerasi penduduk di kawasan-kawasan industri dikarenakan keingin mereka untuk mengejar pekerjaan dengan pendapatan tinggi. Di sisi lain, para pekerja dibayangi ancaman relokasi perusahaan yang akan menyebabkan PHK massal sebagai pilihan pragmatis pengusaha untuk menurunkan beban biaya tenaga kerja.
KHL Sebagai Proteksi
Dalam upaya menata ulang sistem pengupahan, konsep KHL sebagai proteksi sosial bagi standar upah pekerja perlu ditetapkan dengan pola yang lebih sederhana sehingga para pihak mudah untuk negosiasi. Formula penghitungannya adalah, KHL cukup dibagi dua komponen saja. Komponen pangan dan komponen non pangan.
Komponen pangan ditentukan dengan menghitung kebutuhan konsumsi makan dalam sehari dikalikan 30 hari. Maka, jika di suatu daerah konsumsi sehari dihitung sebesar Rp 50.000, maka komponen pangan dalam KHL nilainya Rp 1,5 Juta. Lalu, komponen non pangan dapat ditetapkan berdasarkan rasio dari komponen pangan. Misalkan kita ambil rasio perbandingan 1:1,5, artinya jika komponen pangan Rp 1,5 juta maka komponen non pangannya 1,5 kali lipatnya atau Rp 2,25 Juta. Sehingga total upah yang diterima pekerja sebesar Rp 3,75 Juta.
Perhitungan komponen pangan bisa ditambahkan upah bagi pekerja berkeluarga dengan penambahan komponen pangan 20-25 persen tanpa menambah rasio non pangan. Itu berarti pekerja yang sudah bekeluarga mendapat tambahan upah Rp 300.000 – 375.000. Hal ini sudah diterapkan oleh beberapa pemda melalui Peraturan Daerah Ketenagakerjaan dengan memberikan tambahan 10 persen pada nilai UMK bagi pekerja yang sudah berkeluarga.
Ratio non pangan juga bisa dijadikan pola negosiasi untuk menentukan UMSK dan upah berdasarkan skala usahanya, misalnya sektor yang memiliki nilai tambah besar didorong untuk menetapkan ratio non pangan mencapai dua kali lipat atau lebih. Sedangkan yang padat karya rationya bisa 1:1 tergantung kemampuan masing-masing sektor usaha.
Kenapa ratio non pangan tidak perlu di rinci? Sederhana saja kita bisa menggunakan data ifls soal konsumsi rumah tangga, berapa persentase sebenarnya tingkat konsumsi non pangan pada keluarga menengah ke bawah dari total konsumsinya?
Beberapa riset menunjukan 40-60% konsumsi kelompok 40% terbawah dihabiskan untuk kebutuhan pangan, artinya jika konsumsi pangannya 1.5jt kita perlu mengalokasikan setidaknya 40% lainnya untuk non pangan dan jika ditambah tabungan minimum paka wajar jika ditetapkan 1:1 sbg standar paling rendah dr ratio non pangan. (Kajian berbasis ifls bisa dilakukan masing-masing pemda utk menentukan ratio yang wajar).
Adapun untuk penentuan upah berdasarkan skala usaha bisa diberi rentang ratio non pangan di masing-masing sektronya, misalnya 15-20% lebih rendah untuk skala menengah dan 30-35% lebih rendah untuk usaha kecil. Namun, pengusaha menengah dan kecil yang hendak mengajukan skema ini wajib memberikan laporan keuangan tahunannya yang diketahui oleh serikat pekerja atau LKS bipartietnya.
Dimana setiap tahun, komponen pangan dan ratio komponen non pangan dapat dinegosiasikan secara terbuka di dewan pengupahan maupun di tingkat sektoral. Dengan begitu proses penentuannya lebih mudah baik bagi kalangan pekerja, pengusaha dan pemerintah. (Hafidz Arfandi)