Trade Union Rights Centre (TURC) bekerja sama dengan CARE International Indonesia, dan Institute KAPAL Perempuan mengadakan Sekolah Buruh Perempuan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kegiatan ini dilaksanakan melalui program BUKA (Bersama Untuk Keadilan). Dimana fokus dari program ini adalah untuk meningkatkan kapasitas dari anggota di serikat pekerja sektor garment di Sukabumi dan di Bandung nantinya, untuk dapat meningkatkan kapasitas dalam melakukan negosiasi dan penyusunan-penyusunan perjanjian kerja bersama (PKB) dengan berbasiskan data.
Program ini merupakan model gagasan baru yang dibentuk untuk memberikan peningkatan kapasitas dan pendidikan alternatif bagi anggota serikat pekerja. Baik itu pengurus maupun anggota serikat pekerja. Sehingga harapannya para siswa sekolah dapat memiliki kemampuan untuk menganalisis data-data lapangan yang terjadi di sekitar tempat kerjanya, misalnya bagaimana kondisi kerja mereka di pabrik.
\”Jadi kita berharap supaya teman-teman yang ikut peserta sekolah bisa menggunakan data tersebut sebagai bahan advokasi yang nanti akan digunakan oleh serikat pekerja dengan perusahaan,\” kata Andriko Otang, selaku Direktur Eksekutif TURC.
Sekolah buruh ini terdiri dari dua topik utama yakni Kelas Riset dan Kelas komunikasi. Mengenai kelas riset, kelas tersebut lebih banyak membahas bagaimana para siswa bisa tahu apa itu yang dinamakan data, data publik, bagaimana mengolah data publik, hingga menyajikan data publik. Kedua, kelas komunikasi. Kelas komunikasi ini lebih kepada memberikan pemahaman dan tehnik-tehnik bagaimana menyajikan data yang sudah diperoleh kepada target atau stakeholder yang memang menjadi sasaran advokasi. Selain itu, kelas komunikasi juga membahas bagaimana strategi advokasi melalui media sosial berbasiskan data riset.
“Dua hal ini sebenarnya yang jadi titik tolak. Khususnya kita berharap supaya data-data atau advokasi yang dilakukan oleh teman-teman yang berbasis data itu bisa memberikan kontribusi terhadap peningkatan kondisi kerja buruh perempuan, khususnya di Kabupaten Sukabumi,” ungkapnya.
Saat ini pendidikan kritis kesetaraan gender penting bagi buruh perempuan, karena problem ketidakadilan gender sangat berlapis di berbagai macam level. Problem ketidakadilan gender yang terjadi ditempat kerja itu tidak lepas kontribusinya dari persoalan ketidakadilan gender yang terjadi sejak didalam keluarga bahkan di komunitas, sehingga hal itu menjadi persoalan struktural yang harus diselesaikan.
Hal tersebut menurut Otang dapat ditempuh dengan cara atau metode pendidikan berfikir kritis. Karena kemampuan untuk berfikir kritis dibutuhkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi bahwa memang terjadi ketidakadilan di berbagai macam level sejak didalam keluarga.
“Oleh karena itu, dengan Pendidikan kritis ini harapannya temen-temen mampu mendorong atau menyusun strategi yang efektif menyelesaikan berbagai macam persoalan ketidakadilan gender dari keluarga, komunitas, serikat pekerja didalam organisasinya atau bahkan ditempat kerja. Karena hal ini merupakan problem yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya,” jelas Otang.
Senada dengan Otang, Misiyah selaku Direktur Institut Kapal Perempuan juga menyebut bahwa pendidikan kritis gender penting bagi buruh perempuan. Karena problem-problem yang khusus dirasakan oleh buruh perempuan tidak dialami oleh buruh secara umum. Problem-problem khsusus ini belum banyak menjadikan perhatian didalam masyarakat.
Dimana sebagian masyarakat menganggap hal tersebut bukan persoalan perburuhan. Upaya untuk melakukan pendidikan keadilan gender adalah mengungkap hal yang belum pernah terungkap. Mengatakan hal yang biasanya tidak dianggap penting diatas permukaan supaya menjadi perhatian banyak orang.
“Apa sih persoalannya, buruh perempuan yang spesifik misalnya kekerasan seksual, kemudian kesulitan di organisasi, rendahnya akses didalam kepemimpinan dan didalam pengambilan keputusan,” kata Misiyah.
Misiyah menambahkan bahwa paling tidak pendidikan kritis ini dapat mendorong perubahan dalam empat aspek. Pertama, adalah perubahan perspektif yang berarti perubahan atas kesadaran bahwa yang selama ini tidak dianggap sebagai masalah itu adalah sebuah masalah yang juga problem struktural. Kedua, adalah perubahan budaya. Jadi perubahan budaya itu adalah perubahan cara hidup didalam sehari-hari berkomunitas maupun berserikat, budaya-budaya yang demokratis dan tidak mendiskriminasi perempuan.
Ketiga, adalah perubahan komitmen setelah dia sadar dia punya budaya keinginan untuk melakukan perubahan, dia berkomitmen untuk melakukan sesuatu. Jadi, dia sadar dia punya aksi dan bisa merefleksikannya. Keempat, adalah perubahan politik. Politik itu merupakan sebuah upaya perubahan didalam mempengaruhi keputusannya. Sehingga keputusan-keputusan ini berkeadilan sosial dan berkeadilan gender.
Ia juga menyatakan bahwa para siswi sekolah ini yang notabenenyanya adalah buruh perempuan, kini telah nampak beberapa perubahan yang terlihat. Pertama, menurutnya adalah perubahan tentang sensitifitas. Para siswi kini sudah sangat bisa mengidentifikasi problem-problem perempuan dan juga penyebabnya.
Kedua, siswi juga sudah mulai bisa melakukan pemetaan dari problem-problem-problem itu dia berasal dari masalah apa, dan memecahkan solusinya. Ketiga, menurutnya tentang solidaritasnya yang kian tinggi.
“Antar mereka sudah menjadi sebuah komunitas, sudah menjadi sebuah support group yang nantinya akan bisa membuat mereka saling membantu jika mereka ada masalah-masalah.\”
Satya Budi Utama atau lebih akrab dipanggil Tommy, selaku Progam Unit Senior Manager Care International Indonesia juga berharap, mereka yang notabenenya anggota serikat bisa berkontribusi dalam serikatnya masing-masing. Baik dalam kegiatan penyusunan strategi bagi para serikat buruh, untuk melakukan maupun mencapai kesepakatan kerja bersama dengan pihak manajemen perusahaan.
Sampai dengan saat ini, sekolah ini telah melaksanakan sekitar lebih dari lima kali sesi untuk masing-masing jurusan. Salah satunya adalah sesi yang mengulas evaluasi materi sensitifitas gender. Sesi tersebut dilakukan selama dua hari penuh pada 29-30 Juni 2019 di Resort Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat.
“Tentunya ini tahap yang sangat penting buat kami untuk melihat sebenarnya sejauh mana materi yang disampaikan oleh para fasilitator yang diidentifikasi oleh rekan-rekan TURC itu bisa memberikan peningkatan kapasitas pada para peserta sekolah buruh,” kata Tommy.
Selain itu, menurutnya juga untuk melihat apakah sudah ada dampak yang bisa terukur dari para peserta pendidikan. Sebab, hal ini adalah sesuatu yang akan terus dilihat dalam waktu dekat. Dalam proses bagaimana mereka bisa melakukan atau mempraktekan apa saja yang sudah diajarkan di sekolah riset maupun sekolah komunikasi.
Salah satu peserta Sekolah Buruh Perempuan, Maulidiana, yang juga merupakan ketua serikat Federasi Hukatan, membagikan pengalamannya mengikuti kegiatan ini. Ia merasa senang sekali dapat masuk sekolah buruh perempuan, karena dapat menambah banyak teman, koneksi, serta ilmu-ilmu pengetahuan dari apa yang dipelajarinya di Sekolah Buruh Perempuan ini.
\”Harapannya setelah ikut sekolah ini, saya bisa mengaplikasikannya ke teman-teman serikat buruh terutama di pabrik saya\”, ungkap Maulidiana.
Ia dan teman-temannya juga berharap, semoga kedepannya buruh perempuan bisa lebih maju lagi, dan tidak adanya penindasan di pabrik-pabrik.
(Wean Guspa Upadhi)