Menganyam sebenarnya bukanlah pekerjaan pilihan bagi mereka, mereka mengerjakan karena tidak ada pilihan lain yang mungkin untuk dikerjakan. Lahan persawahan tidak lagi luas membentang di tanah pedesaan karena justru pabrik-pabrik yang saat ini telah banyak berdiri, mau berjualan pun tak punya modal, dan ketika bekerja di kantoran menjadi sebuah kemustahilan mengingat pendidikan hanya bermodal ijazah sekolah dasar.
Berdasarkan data kependudukan di Desa Kertasari menunjukkan bahwa lebih dari 50% penduduknya hanya berpendidikan setingkat SD dan SMP. Rendahnya kualitas pendidikan menjadikan mereka kesulitan mengakses pekerjaan. Persaingan di dunia kerja saat ini sangatlah ketat mengingat besarnya ketersediaan lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan besarnya jumlah pencari kerja. Kompetisi yang semakin ketat menuntut pencari kerja diharuskan memiliki kompetensi yang tinggi yang secara formal ditunjukkan dengan ijazah kelulusan. Syarat kerja di Pabrik saja paling tidak memiliki ijazah tamat SMA sederajat. Sementara menjadi pekerja rumahan tidak ada suatu persyaratan khusus, asalkan mau bekerja dan ada pekerjaan, disitulah kemudian mereka mendapatkan pekerjaan.
Bermodalkan keterampilan menganyam, sebagian besar penduduk Desa Kertasari kemudian mendapatkan lahan pekerjaannya. Bukanlah menjadi seorang pengusaha atau setidaknya pedagang yang bekerja, kemudian menjual produk dan memetik hasilnya, melainkan menjadi seorang buruh tanpa sebuah ikatan yang bekerja di rumahan. Buruh lepas yang mendapatkan perintah kerja dari seorang penge-sub/supplier yang mendapatkan order borongan anyaman dari sebuah pabrik di sekitar atau bahkan perusahaan brand ternama. Upah yang didapat dari hasil seharian menganyam satu kursi berukuran sedang sebesar Rp 40.000 sedangkan untuk kap lampu hias sebesar Rp 15.000. Seminggu sekali mereka menerima upah yang kira-kira besarnya tak lebih dari Rp 300.000 dengan beban kerja yang 8-9 jam per hari, bahkan seringkali mereka harus lembur untuk mengejar setoran. Meski lembur berjam-jam tetapi tak satu rupiah pun upah lembur mereka dapatkan. Upah yang diterima didasarkan pada jumlah anyaman yang dihasilkan.
Pekerja rumahan, buruh tanpa sebuah ikatan, bekerja tanpa kepastian maupun tanpa jaminan keselamatan. Meskipun bekerja di rumah cenderung memiliki fleksibilitas waktu kerja, namun bukan berarti bekerja asal-asalan. Dalam bekerja, pekerja rumahan justru seringkali lebih getol dibandingkan pekerja harian, karena prinsip borongan yang memang memotvasi mereka untuk bekerja semaksimalnya agar memperoleh hasil yang maksimal pula. Beban kerja yang dilakukan kurang lebih sama dengan pekerja di pabrik bahkan resiko yang ditanggung bisa jadi lebih besar, namun hak-hak yang diterimanya tidaklah sama. Minimnya pengetahuan dan kompetensi pekerja rumahan menjadikan daya tawar mereka sangat rendah di hadapan para pengusaha, sehingga seringkali mereka menjadi pihak yang kurang diuntungkan.
Kesadaran pekerja rumahan tentang hak-haknya sebenarnya sudah ada, namun rendahnya daya tawar ini menjadikan mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima dan mensyukuri keadaan. Hal ini seperti yang diugkapkan Bu Baenah:
“Ya saya si tau mbak, kalau upahnya tidak cukup, pekerjaan mereka kan rata-rata hanya menganya, tapi ya mereka cukup-cukupkan. Soal upah bukan saya yang menentukan si ya mbak, tapi yang punya pabrik yang menentukan. Kalaupun pekerja saya tidak mau nanti saya menawar ke bos tapi ya tetap aja susah naiknya alasannya sudah sesuai harga pasaran. Kalau kami tidak menerima ya besok lagi takut tidak dikasi orderan. Mau tidak mau yang tetap harus dikerjakan. Kalau saya si yang penting dapat kerjaan, bisa kerja bayaran lancar itu aja si mbak, lhawong mau kerja yang lainnya juga tidak bisa. Ya disyukurin aja”.
(Baenah, Pengesub)
Menjadi pekerja rumahan di industri anyaman sebenarnya bukanlah sebuah pilihan, tuntutan ekonomi, minimnya aksesibilitas terhadap pekerjaan lain yang kemudian menjatuhkan pilihan pada pekerja rumahan. (FK)
Gambar penganyam tutup keranjang rotan
Sumber dokumen pribadi (30 juli 2016)