Kiranya ada sekitar 15 orang buruh perempuan dari berbagai perwakilan SP/SB yang ada di Kabupaten Sukabumi, diantaranya TSK-SPSI, F-HUKATAN, GSBI, OPSI, SPN. Mereka tergabung dalam kelas riset sosial. Mereka berkumpul untuk mengikuti Sekolah Buruh Perempuan di penginapan Iscalton, Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Pagi itu, tepatnya pukul 09.00 WIB cuaca sangat cerah. Seolah mengamini kegiatan sekolah buruh perempuan kali ini. Sekolah buruh perempuan, yang menjadi agenda rutin pada setiap minggu ini merupakan pendidikan alternatif untuk buruh perempuan garmen. Dimana materi yang diajarkan adalah Teknik Riset Berbasis Data Publik Untuk Advokasi dan Negosiasi. Ini merupakan pertemuan lanjutan dari Sekolah Buruh Perempuan pada minggu sebelumnya.
Dengan pelatihan ini peserta diharapkan mampu mengakses dan menggunakan data publik sebagai landasan untuk kepentingan advokasi maupun negosiasi kepada pihak perusahaan. Kelas ini juga menekankan bahwa melakukan riset itu mudah. Sebab, riset pada dasarnya adalah mencari tahu. Aktivitas mencari tahu tersebut, seperti halnya saat mencari tahu resep makanan di internet sebelum memasak, atau bahkan mencari tahu aktivitas keseharian artis favorit, hal itu juga dapat dikatakan riset yang berbasis data publik, atau data yang sudah dapat dikonsumsi khalayak umum. Sehingga keberadaan data publik ini sesungguhnya dapat dimanfaatkan oleh buruh sebagai dasar untuk melakukan proses advokasi dan negosiasi.

Pagi itu, kelas diawali oleh pembuatan pohon masalah. Dalam sesi ini siswa diajak untuk berdiskusi, dan dikelompokan berdasarkan serikat pekerjanya masing-masing. Hal itu bertujuan agar siswa mampu menggali masalah-masalah apa saja yang terjadi di tempat kerjanya, yang didasari oleh faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masalah tersebut. Serta menganalisis dampak-dampak apa saja yang ditimbulkan dari masalah itu, baik dalam aspek dampak ekonomi, sosial,dan psikologis.
Beberapa masalah akhirnya dapat digali dengan mengelompokannya pada prioritas masalah yang terjadi di masing-masing serikat di perusahaan terlebih dahulu. Misalnya, cuti haid, union busting, disfungsi fasilitas pabrik, dan status kerja (PKWTT ke PKWT). Cuti haid, tentu menjadi penting untuk diperjuangkan bagi setiap buruh perempuan. Sebab tak sedikit buruh perempuan yang masih sulit untuk mendapatkan hak cuti haid. Pihak Human Resources Departement (HRD) perusahaan justru menganjurkan untuk beristirahat saja selama satu hingga dua jam, kemudian harus kembali bekerja. Alasannya jelas, perusahaan tidak mau rugi jika ada karyawannya yang tidak bekerja dan dapat menurunkan produktivitas.
Padahal, dengan tidak didapatnya hak cuti haid, akan mengakibatkan dampak-dampak lainnya. Misalnya, kendala fisik ketika tidak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Selain itu juga akan menganggu produktivitas, karena pekerja dipaksa untuk menahan nyeri akibat haid. Hal buruk yang kemungkinan dapat terjadi adalah buruh bisa tak sadarkan diri, sehingga berpotensi terjadinya kecelakaan kerja.

Setelah akar dan dampak masalah diketahui. Kelas kemudian dilanjutkan dengan menggali data-data publik apa saja yang bisa diakses seputar isu cuti haid. Misalnya landasan hukum Undang-Undang Ketenagakerjaan dan juga dilengkapi dengan data-data kesehatan perempuan yang diakibatkan oleh menstruasi. Semua hal yang terangkum dalam pohon masalah ini, diharapkan dapat menjadi acuan yang kuat untuk dijadikan argumentasi, mengapa cuti haid ini perlu untuk diperjuangkan.
Saat semua masalah sudah berhasil terangkum, rasanya tidak lengkap jika tidak menentukan strategi apa yang kira-kira tepat untuk digunakan dalam mengadvokasikan masalah tersebut. Pada sesi selanjutnya, peserta diajak untuk melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Analisis ini digunakan untuk memetakan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman apa saja yang terjadi selama ini terhadap kondisi di serikat maupun di perusahaan mereka masing-masing. Melaui analisis SWOT ini, peserta sekolah menjadi sadar kira-kira apa saja peluang dan kekuatan yang selama ini mereka miliki atau bahkan sebaliknya. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menentukan strategi advokasi apa yang kira-kira tepat dilakukan sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. (Evania Putri Rifyana )