MADE IN DAGENHAM
Pemutaran Film Made in Daggenham : Refleksi Peran Serikat Buruh dalam Gerakan Buruh
Dalam rangka memperingati hari buruh sedunia atau May day, Trade Union Rights Centre (TURC) menyelenggarakan kegiatan pemutaran film dan diskusi pada tanggal 28 April 2016 di Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Kegiatan ini dimulai pukul 17.00 WIB dan sebelum film ditayangkan peserta yang hadir terlihat antusias. Hal itu terlihat dari jumlah peserta yang hadir dan juga semangat mereka untuk menonton filem tersebut. Acara ini dihadiri oleh beberapa federasi serikat buruh seperti FSBI, PPMI 98, PPMI-SPSI dan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) serta beberapa mahasiswa dari Universitas Indonesia dan Atmajaya.
Acara ini dibuka oleh Andriko Otang, selaku direktur TURC, yang menyampaikan orasi singkat kepada peserta yang hadir. Ia mengatakan bahwa “ Hak-hak dari para buruh harus di perjuangkan sehingga tidak terjadi diskriminasi atas buruh. Dalam penutup orasinya, ia kemudian meneriakkan Hidup Buruh…..!!! untuk memotivasi buruh agar tetap semangat berjuang dalam memperoleh haknya. Setelah Otang selesai melakukan orasi, sesi selanjutnya adalah pemutaran filem Made In Daggenham. Film ini bercerita tentang Daggenham yang merupakan sebuah kota yang berada di Inggris dengan populasi penduduk cukup banyak yang bekerja sebagai buruh pabrik. Salah satu pabrik besar yang mempekerjakan buruh di Daggenham adalah Pabrik Ford. Pabrik Ford merupakan produsen mobil terbesar ke-4 di Eropa dengan memperkerjakan 55.000 laki-laki dan 187 perempuan. Pada tahun 1968, pabrik Ford mampu memproduksi 3100 mobil setiap harinya.
Dalam hal pemenuhan hak buruh, ternyata pabrik Ford masih belum memberikannya dengan layak. Oleh karena itu, salah satu buruh yang bernama Rita mencoba untuk menuntut haknya ke pabrik Ford. Ia memperjuangkan haknya untuk mendapatkan upah yang sama dengan buruh laki-laki karena selama ini terjadi diskriminasi dalam pemberian upah antara laki-laki dan perempuan. Dalam upaya memperjuangkan haknya, Rita juga berkonsolidasi dengan serikat buruh agar suaranya semakin kuat. Langkah yang dilakukan olehnya adalah dengan melakukan demonstrasi ke jalan sebagai cara untuk menyampaikan aspirasi ke pemerintah. Aksi tersebut ternyata membuahkan hasil. Rita diberikan kesempatan untuk bertemu dengan Perdana Menteri Inggris untuk mendiskusikan tentang upah pekerja perempuan di pabrik Ford. Dalam diskusi itu, Rita menyampaikan keluhannya bahwa upah yang diterima pekerja perempuan hanya sebesar 40% dari upah laki-laki. Dari hasil diskusi tersebut, kemudian disepakati bahwa upah pekerja perempuan menjadi 92% dari upah laki-laki. Keputusan itu kemudian disahkan dan masuk menjadi pasal pengupahan dalam undang-undang di Inggris. Aturan mengenai penyetaraan upah ini tidak hanya berlaku di Inggris saja, tetapi juga di Eropa.
Setelah pemutaran film selesai, Bayu Munianto, Ketua Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), memberikan percikan kata-kata penyemangat kepada peserta yang hadir dengan mengatakan bahwa “semangat para buruh merupakan tolak ukur dalam memperjuangkan hak-hak dan kewajiban serta untuk memberikan dampak yang sangat nyata bagi serikat pekerja dan serikat buruh yang lain.” Tidak hanya Munianto saja yang mencoba untuk membakar semangat para hadirin, tetapi Ridwan Monoarfa, mantan dewas BPJS, juga turut menyampaikan pendapatnya untuk memotivasi para buruh. Dalam pernyataannya ia mengatakan bahwa penguatan anggota dalam serikat harus ada. Selain itu, ia juga sedikit mengulas sedikit hak-hak buruh. Ia mengingatkan pula agar serikat buruh terus berupaya mengonsolidasi buruh yang belum bergabung ke dalam serikat. Setelah sesi diskusi selesai, maka berakhir pula kegiatan pemutaran film tersebut.
Rally Mukti Bistolen