Di tengah-tengah ribuan massa buruh yang mengular sepanjang Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, terselip miniatur rumah yang berjalan di tengah-tengah hiruk pikuk mobil komando dan bendera-bendera serikat buruh yang biasa menjadi ciri khas perayaan dari Hari Buruh Internasional. Miniatur rumah yang kira-kira panjangnya sekitar tiga meter itu, diatapnya bertuliskan “BURUH TANPA PABRIK”. Bagian kirinya terbentang spanduk besar dengan tulisan “PEKERJA RUMAHAN ADALAH PEKERJA”, dan disisi kanannya bertuliskan “SAHKAN PERMENAKER PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAHAN”.
Rumah itu dijinjing oleh barisan perempuan. Beberapa dari mereka berjalan sambil menggendong anak didekapannya. Dipimpin oleh seseorang yang memegang megaphone, mereka berjalan membawa rumah itu sambil menyanyikan sebuah lagu yang berisikan lirik-lirik tentang nasib dan kondisi kerja pekerja rumahan. Miniatur rumah itu sebagai representasi dari tempat kerja para pekerja rumahan.
Mereka adalah buruh tanpa pabrik, yang tersembunyi dari rantai pasok industri. Mereka tergabung dalam Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI), berkumpul untuk menyatukan suara menuntut hak-hak mereka sebagai buruh dan pengakuan dari Pemerintah.
Pekerja Rumahan dalam Trade Union Rights Centre: Geliat Pekerja Rumahan Dalam Industri Padat Karya adalah individu yang terlibat dalam proses produksi sebuah industri, yang biasanya dilakukan di rumah pekerja itu sendiri atau di tempat yang bukan diberikan oleh pemberi kerjanya. Hal itu dilihat dari tiga hal, dimana seseorang bisa disebut pekerja rumahan. Pertama, pekerja yang mengerjakan produk yang diperoleh dari industri/pabrik. Kedua, mereka membantu sebagian penyelesaian sebuah produk yang diperintahkan oleh pemberi kerja. Ketiga, walaupun produk yang dikerjakan sama seperti apa yang dikerjakan pekerja pabrik, namun mereka tidak bekerja didalam pabrik, melainkan rumah mereka masing-masing atau rumah perantara.
Pekerja Rumahan Tuntut Pengakuan dan Perlindungan Hukum
Selama ini, pemahaman tentang pekerja rumahan seringkali disamakan dengan pekerja mandiri atau UMKM. Meski, pada kenyataannya pekerja rumahan memiliki hubungan kerja dengan pemberi kerja yang meliputi: upah, perintah, target waktu dan ketentuan lainnya yang bisa dikatakan hampir sama seperti buruh pabrik. Karena bekerja di dalam rumah, pekerja rumahan seringkali tidak diakui sebagai pekerja dan dianaktirikan dalam regulasi. Mereka tidak mendapatkan hak-hak ketenagakerjaan selayaknya pekerja pada umumnya. Nyatanya, walaupun ada perbedaan tempat kerja, proses produksi yang mereka lakukan sama seperti pekerja di pabrik.
Salah satu pekerja rumahan, Muhayati menyatakan bahwa ia selama ini mengerjakan seluruh pekerjannya di rumahnya. Perusahaan tidak membayar segala beban produksi yang dikeluarkan, seperti listrik, air, dan juga perawatan tempat kerja. Ia menerima pekerjaan menjahit sarung tangan bayi dan kaki bayi dengan upah Rp 30.000 per 10 lusin.
“Rumah kami seperti gudang. Perusahaan ya gak mau tahu, semua ditanggung oleh pekerja itu sendiri”,kata Muhayati.
Fenomena pekerja rumahan ini sebenarnya sudah umum terjadi di Indonesia dan di negara-negara berkembang dengan upah rendah. Khususnya pada industri padat karya, yang mengandalkan buruh murah sebagai upaya memenangkan kompetisi di pasar bebas. Hal ini membuat Industri Padat Karya dalam menekan biaya produksi menggunakan skema Putting Out System, sebuah skema produksi komoditas yang melimpahkan proses produksi ke industri skala rumahan untuk mengefisienkan rasio beban produksi.
TURC sebagai pusat studi dan advokasi perburuhan, sudah hampir 4 tahun mendampingi pekerja rumahan dalam kerja-kerja advokasi hak-hak ketenagakerjaan dan peningkatan kapasitas pekerja rumahan. Pada tahun 2018 lalu, TURC bersama tim legal drafter mengajukan draft Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Perlindungan Pekerja Rumahan yang berisikan aturan-aturan yang melindungi pekerja rumahan bagi setiap pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja rumahan untuk melindungi pekerja rumahan.
Seorang pekerja rumahan lainnya Yeyet asal Sukabumi, yang turut serta membawa teman-teman pekerja rumahan di kotanya untuk aksi turun ke jalan, menyampaikan harapannya agar pekerja rumahan mendapatkan perlindungan dari Pemerintah.
“Pada Mayday ini kami berharap, untuk segera disahkan Permenaker tentang Pekerja Rumahan untuk melindungi seluruh pekerja rumahan di Indonesia. Supaya hak-hak pekerja rumahan dapat segera dirasakan oleh kami. Karena kami sebagai pekerja rumahan tidak ada yang melindungi. K3 nya pun kami tidak mendapatkannya”,ungkap Yeyet dengan semangat
Perayaan Mayday tahun ini, diikuti sekitar 30 orang pekerja rumahan yang berasal dari wilayah Jakarta Utara, Tangerang, dan Sukabumi. Mereka semua turun ke jalan untuk memperjuangkan beberapa tuntutan yaitu:
- Menuntut pemerintah untuk segera memberikan regulasi khusus yang melindungi Pekerja Rumahan;
- Menutut pemerintah memberikan perlindungan sosial ketenagakerjaan kepada Pekerja Rumahan;
- Menuntut pemerintah untuk segera menghentikan praktek-praktek bisnis yang tidak menghargai Hak Asasi Pekerja Rumahan;
- Menuntut pemerintah untuk segera membuka akses kerja layak (decent work) bagi Pekerja Rumahan.
Penulis : Evania Putri.